Selasa, 16 Juli 2013

tentang senja dan angin yang mengandung air


Aku bukan hujan malam ini. Aku hanya desiran angin yang mengabarkan titik-titik air kepada manusia yang berharap kedamaian saat mereka lelah. Hanya angin dengan titik-titik air, bukan hujan malam ini. Aku hanya angin yang mengandung air berharap jatuh di pipimu tengah malam ini. Sesuatu yang kadang meninggalkan noda hitam di bawah bingkai matamu (karena riasan wajah atau karena keraguanmu). Mungkin pula karena aku bening dan dingin yang mudah mencerna noda meski aku bukan hujan yang berwarna abu-abu dipendar bohlam-bohlam raksasa jalanan. Seperti baju putih yang kotor penuh titik-titik hitam karena dibiarkan lembab tanpa ketidakpastian saat kaki melangkah dan tanpa sadar terperciki sandal. Perbedaan kita, ketidakpastian itu.
Aku seperti angin yang berair, yang terbiasa menari tanpa kata-kata. Maksudku, aku menari seperti kata-kata yang berhembus bagai angin yang berair. Maksudku, aku hanya penari yang kata-katanya bagai angin yang berair. Aku bukan hujan malam ini melainkan angin yang mengabarkan titik-titik air dari malaikat kepada segala ruh yang bersemayam di hatimu, di dinding kamarmu. Dalam tanah, dalam mulutmu, dalam dekapan jari-jarimu.
‘Ruh selalu mengandung tatacara yang jujur, N...
Aku menyebut namamu, meski hanya dengan inisial. (Aku terlalu menjaga perasaanmu).
Meski kadang kita lupa bagaimana caranya berbuat baik. Bagaimana ketidakjujuran membuat kita kerdil dan dipisahkan dari rona cinta. Sungguh. Aku bukan hujan malam ini. Aku hanya angin yang mendesirkan partikel-partikel ruh, tanpa membuat anak manusia mengelak seperti babi buta yang tak tahu bersyukur. Aku hanyalah angin yang ingin mencium rupawanmu.
Kau bahkan lebih sejati dari sebuah tembok benteng penjajah yang terbiasa memendarkan ruh perlindungan dan ketentraman. Dan itu juga alasan aku menyukaimu. Kau mirip ibuku.
***
Kau bilang suatu saat waktu akan mempertemukan kita. Kau yang menyebut diri gadis senja dan memanggilku hujan. Meski harus kuralat lagi, aku buka hujan, melainkan angin yang mengandung air. Titik-titik air. Angin yang berair.
Kau lantas diam saja dan membiarkan angin yang berair sepertiku terus-terusan cerocos. Karena sebenarnya kau tahu bahwa kecerewetanku akan menemukan titik-komanya sendiri, yakni pancaran mata dan senyuman dan tahi lalatmu. Senja sempurna yang hampir aku miliki. Dan berusaha memahami perbedaan kita seikhlas-ikhlasnya.
Ah, apakah kau sudah menjadi milikku?
Darahku mendesir pada alirannya, dan ia bercahaya pada tahtanya. Degup ini pasti punya makna. Seperti senyumnya yang mekar menggeliatkan anginku dengan titiktitik air, lalu itu menjadi pantas dan alamiah untuk kawin jadi pelangi. Jadi rona-rona cinta.

***
“Kak, jadi kita ke pantai, melihat senja?”
“Jadi dong. Lelaki mana sih yang akan menolak jika ia ditawari dua kesempurnaan senja sekaligus?”
“Dua kesempurnaan senja?”
“Iya. Kamu dan senja pantai Kelapa Lima”
Lalu kau membuang senyum malumalumu jauh dariku tanpa lupa mendaratkan dua tiga cubitan ke pinggangku. Kita tertawa. Dan aku mengira senja akan ada lebih dari sekali dalam hari-hariku.
Senja memang datang lebih dari sekali pada hari ini. Dan ketika hampir dekat dengan senja terakhir, kita sudah berduaan dengan semestinya di bibir pantai yang asin. Melihat senja, melihat dirimu sekaligus melihat keraguan yang ditarik wakdu dengan cepat. Menciptakan bayangan tersamar di belakang pulau-pulau seberang.
“Kak, apa bisa kita akan terus menciptakan situasi seindah ini?”
“Maksudmu apakah perasaan kita akan abadi?”
Senjamu mendadak meredup dalam sebuah anggukan kepala yang teramat pelan. Segera kutopang dagumu, berharap tak ada lagi gelombang redupan selanjutnya.
“N... lihat mataku...”
Tapi senja seutuhnya telah lenyap. Meninggalkan banyak bayang-bayang keraguan yang menghitam. Aku mengumpat dalam hati, kenapa secepat itu lukisan alam ini hilang dari pandangan mata.
“Bisa kita bicarakan di rumah saja?”
Aku tahu, kau butuh banyak cahaya. Di pantai ini, dengan situasi tanpa senja lagi, bayangan hitam akan dengan mudah mencuri dan memanipulasi perasaan kita.
“Aku akan memasak makanan spesial buatmu, sayang...”
(bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Beta tunggu lu pung komentar di sini, danke...