Aku bukan
hujan malam ini. Aku hanya desiran angin yang mengabarkan titik-titik air
kepada manusia yang berharap kedamaian saat mereka lelah. Hanya angin dengan
titik-titik air, bukan hujan malam ini. Aku hanya angin yang mengandung air
berharap jatuh di pipimu tengah malam ini. Sesuatu yang kadang
meninggalkan noda hitam di bawah bingkai
matamu (karena riasan wajah atau karena keraguanmu). Mungkin
pula karena aku bening dan dingin yang mudah mencerna noda meski aku
bukan hujan yang berwarna abu-abu dipendar bohlam-bohlam raksasa jalanan.
Seperti baju putih yang kotor penuh titik-titik hitam karena dibiarkan lembab
tanpa ketidakpastian saat kaki melangkah dan tanpa sadar
terperciki sandal. Perbedaan kita, ketidakpastian itu.
Aku seperti
angin yang berair, yang terbiasa menari tanpa kata-kata. Maksudku, aku menari
seperti kata-kata yang berhembus bagai angin yang berair. Maksudku, aku hanya
penari yang kata-katanya bagai angin yang berair. Aku bukan hujan malam ini
melainkan angin yang mengabarkan titik-titik air dari malaikat kepada segala
ruh yang bersemayam di hatimu, di dinding kamarmu.
Dalam tanah, dalam mulutmu, dalam dekapan jari-jarimu.
‘Ruh selalu mengandung tatacara yang jujur, N...’
Aku menyebut namamu, meski hanya dengan inisial. (Aku terlalu menjaga
perasaanmu).
Meski kadang
kita lupa bagaimana caranya berbuat baik. Bagaimana ketidakjujuran
membuat kita kerdil dan
dipisahkan dari rona cinta. Sungguh. Aku bukan hujan malam ini.
Aku hanya angin yang mendesirkan partikel-partikel ruh, tanpa membuat anak manusia mengelak seperti babi buta yang tak tahu bersyukur. Aku hanyalah angin yang ingin mencium rupawanmu.
Kau bahkan
lebih sejati dari sebuah tembok benteng penjajah yang
terbiasa memendarkan ruh perlindungan dan ketentraman. Dan itu juga alasan aku menyukaimu. Kau mirip ibuku.
***
Kau bilang suatu saat waktu akan mempertemukan kita. Kau yang menyebut diri
gadis senja dan memanggilku hujan. Meski harus kuralat lagi, aku buka hujan, melainkan
angin yang mengandung air. Titik-titik air. Angin yang berair.
Kau lantas diam saja dan membiarkan angin yang berair sepertiku
terus-terusan cerocos. Karena sebenarnya kau tahu bahwa kecerewetanku akan
menemukan titik-komanya sendiri, yakni pancaran mata dan senyuman dan tahi
lalatmu. Senja sempurna yang hampir aku miliki. Dan berusaha memahami perbedaan
kita seikhlas-ikhlasnya.
Ah, apakah kau sudah
menjadi milikku?
Darahku mendesir pada alirannya, dan ia bercahaya pada tahtanya. Degup ini
pasti punya makna. Seperti senyumnya yang mekar menggeliatkan anginku dengan
titiktitik air, lalu itu menjadi pantas dan alamiah untuk kawin jadi pelangi.
Jadi rona-rona cinta.
***
“Kak, jadi kita ke pantai, melihat senja?”
“Jadi dong. Lelaki mana sih yang akan menolak jika ia ditawari dua
kesempurnaan senja sekaligus?”
“Dua kesempurnaan senja?”
“Iya. Kamu dan senja pantai Kelapa Lima”
Lalu kau membuang senyum malumalumu jauh dariku tanpa lupa mendaratkan dua
tiga cubitan ke pinggangku. Kita tertawa. Dan aku mengira senja akan ada lebih
dari sekali dalam hari-hariku.
Senja memang datang lebih dari sekali pada hari ini. Dan ketika hampir
dekat dengan senja terakhir, kita sudah berduaan dengan semestinya di bibir
pantai yang asin. Melihat senja, melihat dirimu sekaligus melihat keraguan yang
ditarik wakdu dengan cepat. Menciptakan bayangan tersamar di belakang
pulau-pulau seberang.
“Kak, apa bisa kita akan terus menciptakan situasi seindah ini?”
“Maksudmu apakah perasaan kita akan abadi?”
Senjamu mendadak meredup dalam sebuah anggukan kepala yang teramat pelan. Segera
kutopang dagumu, berharap tak ada lagi gelombang redupan selanjutnya.
“N... lihat mataku...”
Tapi senja seutuhnya telah lenyap. Meninggalkan banyak bayang-bayang
keraguan yang menghitam. Aku mengumpat dalam hati, kenapa secepat itu lukisan
alam ini hilang dari pandangan mata.
“Bisa kita bicarakan di rumah saja?”
Aku tahu, kau butuh banyak cahaya. Di pantai ini, dengan situasi tanpa
senja lagi, bayangan hitam akan dengan mudah mencuri dan memanipulasi perasaan
kita.
“Aku akan memasak makanan spesial buatmu, sayang...”
(bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beta tunggu lu pung komentar di sini, danke...