Selasa, 26 Februari 2013

Suka Duka Guru BK: Upaya Eksisetensi Diri dan Serangan Fajar Untuk Anak Kemarin Sore


Oleh Christian Dicky Senda

Saya rasa pengalaman saya berikut ini jamak terjadi dan sangat manusiawi. Artinya dimana ada sekelompk manusia pasti motif permasalahan sejenis ini ada. Entah saya memulainya dari mana dan mengatakan apa ini sejenis motif iri hati atau bukan. Tentu saya tidak  mau menuduh. 

Ceritanya begini. 

Sudah lebih dari 6 bulan saya bekerja sebagai konselor di salah satu SMP swasta Katolik yang manajemennya dikelola oleh suster SSpS. Kalau saya menyebut diri konselor anak sekolah namun kebanyakan orang mengenalnya guru BK. Bimbingan dan konseling. 

Jadi tugas utama saya adalah melakukan aktivitas bimbingan dan konseling untuk mendukung perkembangan kognitif, psikologi, psikomotorik serta spiritual mereka sebagai pelajar dan remaja.
Namun selama 6 bulan bekerja itulah saya menemukan bahwa pengetahuan orang tentang fungsi dan peran guru BK itu masih minim. Bahkan juga oleh pemerintah daerah yang membidangi bidang pendidikan. Kondisi ini amat berbeda dengan apa yang pernah saya rasakan ketika kuliah psikologi dan bekerja di sebuah lembaga pendidikan anak berbasis alam di Jogjakarta. Di Jogja fungsi dan peran guru BK atau konselor jauh lebih maksimal. Dan pemahaman orang tua, guru dan dinas pendidikan tentang fungsi dan peran seorang guru BK pun jauh lebih baik dengan apa yang saya rasakan di Kupang (mungkin NTT pada umumnya). Perihal yang sama pula dikeluhkan teman konselor di sekolah berbeda.
Serunyam apa sih masalahnya?

Tidak runyam, tapi sedikit mengganggu hehehe.
Begini, di sekolah saya (secara khusus) rekan guru, kepala sekolah, dan orang tua masih mempersepsikan guru BK hanyalah guru yang sehari-hari mengurus masalah siswa. Dan itu terwujud nyata dalam perilaku harian mereka. Para siswa pun sama demikian. Bahwa imej guru BK yang pasti menyelesaikan masalah dan masalah. Artinya melihat guru BK hanya dari satu sisi/fungsi yakni memberikan konseling bagi siswa yang sedang menghadapi sebuah persoalan atau masalah, apapun bentuknya. Kemudian, abai (atau lupa?) dengan fungsi lainnya sebagai pembimbing. 

Logika sederhana saya begini, misalkan saya diberi tugas untuk menangangi 150 siswa dalam 1 semester. Berapa banyak sih siswa yang bermasalah dalam satu semester dari total siswa itu? Pengalaman saya sih masih seputar jumlah 10 jari tangan saya. Artinya jika kita memakai persepktif guru BK = guru yang hanya menyelesaikan masalah siswa, maka dalam 1 semester tersebut saya hanya bekerja untuk 10 orang itu saja. Perhitungan kasarnya demikian. Lantas, bagaimana dengan 140 siswa lainnya yang dianggap baik (dan pada kenyataanya memang baik, oke)? Apa yang harus saya lakukan untuk mereka sebagai guru BK?

Sejak awal bekerja, saya memilih ‘jalan kreativitas’ untuk terjun, mendekat (biasanya orang menyebut dengan jemput bola), memahami secara langsung dan bertindak secara kreatif langsung dengan peserta didik.
Bukannya berbicara jumawa, tapi saya merasa saya adalah guru muda, punya potensi kreatif, punya daya inovasi, seorang yang sejak tahun 2006 mendalami ilmu psikologi terlebih psikologi pendidikan dan perkembangan. Saya rasa kriteria orang muda harus demikian (apapun latar belakang pendidikannya, tak harus psikologi) bahwa kreativitas, open minded, daya inovasi adalah modal utama. 

Saya tahu betul imej guru di mata para remaja, sebab saya pernah melalui fase itu ketika saya betul-betul bosan dengan guru yang kaku, killer, berwawasan sempit, suka memaksa kehendak dan buruk dalam berkomunikasi interpersonal dengan siswa (sebab bisanya komunikasi searah, atas-bawah, otoriter). Untuk itu, saya ingin mengubah imej itu paling tidak dimulai dari diri saya sendiri. 

Untuk itu ketika pertama kali mengajar, saya berusaha keras untuk menjadi guru yang demikian. Berusaha komunikatif dengan siswa (bahkan boleh gaul namun tentunya dengan wibawa). Saya cenderung berusaha untuk tidak otoriter namun lebih mengoptimalkan pola komunikasi: dua arah dan mempersilahkan mereka untuk berpendapat secara terbuka. 

Karena waktu bertatap muka di kelas terbatas (hanya 1 jam pelajaran/kelas/minggu; 1 jam pelajaran setara 45 menit, jelas waktu yang sedikit.) sehingga saya memanfaatkan waktu diluar jadwal yang diberikan kurikulum untuk mengoptimalkan proses bimbingan dan konseling. Untuk siswa yang punya masalah saya bahkan memprioritaskan untuk home visit. Lalu bagaimana dengan para siswa yang sudah oke dan tidak punya problem?

Saya ciptakan kegiatan yang bersifat fun, memancing kreativitas dan daya inovasi (ada manfaatkan saya belajar Psikologi Pelatihan dulu). Bagi saya penting, sebab dengan kegiatan tersebut bukan saja kreativitas mereka yang tergali namun juga meminimalisir perilaku negatif yang mungkin saja bisa dilakukan (baca: upaya preventif). 

Saya membentuk kelompok jurnalisme pelajar yang mengelola mading, blog sekolah, dan majalah elektronik (saya beruntung punya pengalaman jurnalistik sejak SMA hingga kuliah, dan saya adalah blogger). Terutama untuk blog dan media sosial lainnya (facebook, twitter, dll) pelan-pelan saya rubah perspektif mereka bahwa media sosial bukan tempat untuk saling memaki, tapi bisa menjadi wadah untuk mempromosikan karya tulis, foto dan desain grafis kita. 

Saya mengajak mereka bikin film pendek (meski dengan pengetahuan yang minim karena pernah kuliah di jurusan Periklanan meski tidak selesai. Dulu sempat belajar menulis skenario iklan, bikin storyboard dan syuting lalu mengedit). Hasilnya kami posting ke media sosial Youtube, lumayan mendapat sambutan. Mereka menjadi bangga dan senang. Konsep diri mereka menjadi positif. 

Saya mengumpulkan siswa yang punya minat sastra lalu mengajak mereka mengikuti pertemuan sastra antar komunitas di Kupang, mengapresiasi cerpen dan puisi mereka, dan memberi kesempatan mereka untuk mengirim karya ke surat kabar dan jurnal. Saya pun diam-diam mencecoki otak mereka dengan buku-buku sastra yang saya punya. 

Dalam perencanaan, saya akan mengajak mereka membentuk sebuah teater kecil-kecilan. Saya ingin mereka bermain peran, melatih percaya diri dan bakat seni mereka. Saya percaya bahwa teater membentuk karakter seseorang. Dan saya rasa itu tugas saya sebagai guru BK untuk membentuk kepribadian mereka.
Intinya saya bekerja sembari membuktikan ke rekan guru bahwa beginilah seharusnya seorang guru BK bekerja. Siswa yang bermasalah perlu mendapat perhatian, namun mereka yang lain perlu juga untuk dibimbing dan dikembangkan potensi dan motivasi mereka. 

Ketika proses ini masih berlanjut ada saja kendala atau gesekan yang saya temui. Sekali lagi ini manusiawi. Sebab saya bekerja dengan sesama manusia. Oke, bukan bermaksud mengatakan bahwa ada yang iri hati, tapi sekali lagi saya bekerja dengan manusia. 

Suatu kali ada yang protes, (meski sebenarnya  ini akumulasi dari berkali-kalinya ia protes), kok guru BK kerjanya begituan? Sekali lagi, rupanya ada yang belum paham atau memang sengaja mempertahankan pemahamannya yang keliru tentang fungsi dan peran guru BK. 

Saya jawab dengan diplomatis. Intinya, kalau saya mau malas, bisa saja saya hanya bekerja jika ada siswa yang datang mengadukan masalahnya, atau ada wali kelas yang melapor atau bahwa saya melihat sendiri siswa A bermasalah. Tapi kalau hanya satu dua orang yang bermasalah, enak sekali dong pekerjaan saya. Tapi justru karena saya merasa sebagai guru BK ada tanggungjawab yang lebih besar, makanya saya berbuat juga sama besarnya. Percaya deh, saya bahkan tidak bermaksud untuk menampakan kejumawaan saya, atau dengan maksud untuk menonjolkan diri. Apalagi jika punya niat untuk menyingkirkan atau mengambil ‘lahan’ para senior. (Yeah, ditempat saya bekerja klasifikasi junior-senior masih nampak! Sudah sering saya dicap ‘anak kemarin sore’ tapi saya cuek saja. Kadang itu adalah ekspresi bawah sadar atas ketakutan atau ketidakberdayaan melihat orang lain ternyata lebih baik, potensial dan populer dari diri kita. Aduh, saya kok jumawa lagi? Hahahaha.)

Sering saya berpikir bahwa saya bekerja dengan niat baik lagi tulus, dan itu sebenarnya menjadi tameng pelindung atas ‘serangan’ orang-orang yang kurang menyukai tindakan baik saya. (sedihnya, anak-anak yang sering berkegiatan dengan saya, diam-diam juga ‘diserang’ di dalam kelas saat pelajaran. Duh, Gusti...).
Rupanya saya sedang dihadapkan pada kondisi bahwa selain bertugas mengkonseling siswa saya pun sebenarnya ditantang untuk bisa mengkonseling rekan-rekan guru saya (oknum sih, cuma beberapa, yang lain oke banget, selalu dukung kegiatan positif dari guru siapapun!) 

Ini bahkan saya anggap sebagai ‘serangan’ fajar yang melatih saya untuk bijaksana dan tahan banting. Cieeehh. Tapi saya tak boleh patah arang. Anak-anak membutuhkan saya. 

Saya menulis ini bukan berarti saya perfect dan lebih baik dari rekan guru yang lain. Di sisi lain saya masih punya kelemahan dan minim pengalaman. Saya tak mau berhenti belajar karena tersendat rasa jumawa saya. Tidak.Tapi saya berkewajiban mendoakan mereka supaya diberi pencerahan sama Tuhan. Amin

Pasir Panjang, 22 Februari 2013


Christian Dicky Senda, Blogger di Komunitas Blogger NTT. Belajar sastra di Komunitas Sastra Dusun Flobamora. Founder MudaersNTT Menulis, kelompok menulis kreatif online. Penulis buku puisi Cerah Hati (2011). Konselor di SMPK St. Theresia, penanggungjawab/editor di Kelompok Jurnalisme Pelajar SMPK St. Theresia Kupang. Penikmat sastra, film, kuliner dan psikologi. Tinggal di Pasir Panjang. Twitter @dickysenda. CP 081338037075.

2 komentar:

  1. inspiratif... salut untuk kreativtasnya bro.. tetap semangat memajukan potensi anak bangsa.

    BalasHapus
  2. Kereen. Saya suka dengan gaya mengajar kamu. Kalo bis say juga ingin sharing dengan kamu :)

    BalasHapus

Beta tunggu lu pung komentar di sini, danke...