Oleh Christian Dicky Senda
Saya
rasa pengalaman saya berikut ini jamak terjadi dan sangat manusiawi. Artinya
dimana ada sekelompk manusia pasti motif permasalahan sejenis ini ada. Entah
saya memulainya dari mana dan mengatakan apa ini sejenis motif iri hati atau
bukan. Tentu saya tidak mau menuduh.
Ceritanya
begini.
Sudah
lebih dari 6 bulan saya bekerja sebagai konselor di salah satu SMP swasta
Katolik yang manajemennya dikelola oleh suster SSpS. Kalau saya menyebut diri
konselor anak sekolah namun kebanyakan orang mengenalnya guru BK. Bimbingan dan
konseling.
Jadi
tugas utama saya adalah melakukan aktivitas bimbingan dan konseling untuk
mendukung perkembangan kognitif, psikologi, psikomotorik serta spiritual mereka
sebagai pelajar dan remaja.
Namun
selama 6 bulan bekerja itulah saya menemukan bahwa pengetahuan orang tentang
fungsi dan peran guru BK itu masih minim. Bahkan juga oleh pemerintah daerah
yang membidangi bidang pendidikan. Kondisi ini amat berbeda dengan apa yang
pernah saya rasakan ketika kuliah psikologi dan bekerja di sebuah lembaga
pendidikan anak berbasis alam di Jogjakarta. Di Jogja fungsi dan peran guru BK
atau konselor jauh lebih maksimal. Dan pemahaman orang tua, guru dan dinas
pendidikan tentang fungsi dan peran seorang guru BK pun jauh lebih baik dengan
apa yang saya rasakan di Kupang (mungkin NTT pada umumnya). Perihal yang sama
pula dikeluhkan teman konselor di sekolah berbeda.
Serunyam
apa sih masalahnya?
Tidak
runyam, tapi sedikit mengganggu hehehe.
Begini,
di sekolah saya (secara khusus) rekan guru, kepala sekolah, dan orang tua masih
mempersepsikan guru BK hanyalah guru yang sehari-hari mengurus masalah siswa.
Dan itu terwujud nyata dalam perilaku harian mereka. Para siswa pun sama
demikian. Bahwa imej guru BK yang pasti menyelesaikan masalah dan masalah.
Artinya melihat guru BK hanya dari satu sisi/fungsi yakni memberikan konseling
bagi siswa yang sedang menghadapi sebuah persoalan atau masalah, apapun
bentuknya. Kemudian, abai (atau lupa?) dengan fungsi lainnya sebagai
pembimbing.
Logika
sederhana saya begini, misalkan saya diberi tugas untuk menangangi 150 siswa
dalam 1 semester. Berapa banyak sih siswa yang bermasalah dalam satu semester
dari total siswa itu? Pengalaman saya sih masih seputar jumlah 10 jari tangan
saya. Artinya jika kita memakai persepktif guru BK = guru yang hanya
menyelesaikan masalah siswa, maka dalam 1 semester tersebut saya hanya bekerja
untuk 10 orang itu saja. Perhitungan kasarnya demikian. Lantas, bagaimana
dengan 140 siswa lainnya yang dianggap baik (dan pada kenyataanya memang baik,
oke)? Apa yang harus saya lakukan untuk mereka sebagai guru BK?
Sejak
awal bekerja, saya memilih ‘jalan kreativitas’ untuk terjun, mendekat (biasanya
orang menyebut dengan jemput bola), memahami secara langsung dan bertindak
secara kreatif langsung dengan peserta didik.
Bukannya
berbicara jumawa, tapi saya merasa saya adalah guru muda, punya potensi
kreatif, punya daya inovasi, seorang yang sejak tahun 2006 mendalami ilmu
psikologi terlebih psikologi pendidikan dan perkembangan. Saya rasa kriteria
orang muda harus demikian (apapun latar belakang pendidikannya, tak harus
psikologi) bahwa kreativitas, open minded, daya inovasi adalah modal utama.
Saya
tahu betul imej guru di mata para remaja, sebab saya pernah melalui fase itu
ketika saya betul-betul bosan dengan guru yang kaku, killer, berwawasan sempit,
suka memaksa kehendak dan buruk dalam berkomunikasi interpersonal dengan siswa
(sebab bisanya komunikasi searah, atas-bawah, otoriter). Untuk itu, saya ingin
mengubah imej itu paling tidak dimulai dari diri saya sendiri.
Untuk
itu ketika pertama kali mengajar, saya berusaha keras untuk menjadi guru yang
demikian. Berusaha komunikatif dengan siswa (bahkan boleh gaul namun tentunya
dengan wibawa). Saya cenderung berusaha untuk tidak otoriter namun lebih
mengoptimalkan pola komunikasi: dua arah dan mempersilahkan mereka untuk
berpendapat secara terbuka.
Karena
waktu bertatap muka di kelas terbatas (hanya 1 jam pelajaran/kelas/minggu; 1
jam pelajaran setara 45 menit, jelas waktu yang sedikit.) sehingga saya
memanfaatkan waktu diluar jadwal yang diberikan kurikulum untuk mengoptimalkan
proses bimbingan dan konseling. Untuk siswa yang punya masalah saya bahkan
memprioritaskan untuk home visit. Lalu bagaimana dengan para siswa yang sudah
oke dan tidak punya problem?
Saya
ciptakan kegiatan yang bersifat fun, memancing kreativitas dan daya inovasi
(ada manfaatkan saya belajar Psikologi Pelatihan dulu). Bagi saya penting,
sebab dengan kegiatan tersebut bukan saja kreativitas mereka yang tergali namun
juga meminimalisir perilaku negatif yang mungkin saja bisa dilakukan (baca:
upaya preventif).
Saya
membentuk kelompok jurnalisme pelajar yang mengelola mading, blog sekolah, dan
majalah elektronik (saya beruntung punya pengalaman jurnalistik sejak SMA
hingga kuliah, dan saya adalah blogger). Terutama untuk blog dan media sosial
lainnya (facebook, twitter, dll) pelan-pelan saya rubah perspektif mereka bahwa
media sosial bukan tempat untuk saling memaki, tapi bisa menjadi wadah untuk
mempromosikan karya tulis, foto dan desain grafis kita.
Saya
mengajak mereka bikin film pendek (meski dengan pengetahuan yang minim karena
pernah kuliah di jurusan Periklanan meski tidak selesai. Dulu sempat belajar
menulis skenario iklan, bikin storyboard dan syuting lalu mengedit). Hasilnya
kami posting ke media sosial Youtube, lumayan mendapat sambutan. Mereka menjadi
bangga dan senang. Konsep diri mereka menjadi positif.
Saya
mengumpulkan siswa yang punya minat sastra lalu mengajak mereka mengikuti
pertemuan sastra antar komunitas di Kupang, mengapresiasi cerpen dan puisi
mereka, dan memberi kesempatan mereka untuk mengirim karya ke surat kabar dan
jurnal. Saya pun diam-diam mencecoki otak mereka dengan buku-buku sastra yang
saya punya.
Dalam
perencanaan, saya akan mengajak mereka membentuk sebuah teater kecil-kecilan.
Saya ingin mereka bermain peran, melatih percaya diri dan bakat seni mereka.
Saya percaya bahwa teater membentuk karakter seseorang. Dan saya rasa itu tugas
saya sebagai guru BK untuk membentuk kepribadian mereka.
Intinya
saya bekerja sembari membuktikan ke rekan guru bahwa beginilah seharusnya
seorang guru BK bekerja. Siswa yang bermasalah perlu mendapat perhatian, namun
mereka yang lain perlu juga untuk dibimbing dan dikembangkan potensi dan
motivasi mereka.
Ketika
proses ini masih berlanjut ada saja kendala atau gesekan yang saya temui.
Sekali lagi ini manusiawi. Sebab saya bekerja dengan sesama manusia. Oke, bukan
bermaksud mengatakan bahwa ada yang iri hati, tapi sekali lagi saya bekerja
dengan manusia.
Suatu
kali ada yang protes, (meski sebenarnya
ini akumulasi dari berkali-kalinya ia protes), kok guru BK kerjanya begituan?
Sekali lagi, rupanya ada yang belum paham atau memang sengaja mempertahankan
pemahamannya yang keliru tentang fungsi dan peran guru BK.
Saya
jawab dengan diplomatis. Intinya, kalau saya mau malas, bisa saja saya hanya
bekerja jika ada siswa yang datang mengadukan masalahnya, atau ada wali kelas
yang melapor atau bahwa saya melihat sendiri siswa A bermasalah. Tapi kalau
hanya satu dua orang yang bermasalah, enak sekali dong pekerjaan saya. Tapi
justru karena saya merasa sebagai guru BK ada tanggungjawab yang lebih besar,
makanya saya berbuat juga sama besarnya. Percaya deh, saya bahkan tidak
bermaksud untuk menampakan kejumawaan saya, atau dengan maksud untuk
menonjolkan diri. Apalagi jika punya niat untuk menyingkirkan atau mengambil
‘lahan’ para senior. (Yeah, ditempat saya bekerja klasifikasi junior-senior
masih nampak! Sudah sering saya dicap ‘anak kemarin sore’ tapi saya cuek saja.
Kadang itu adalah ekspresi bawah sadar atas ketakutan atau ketidakberdayaan
melihat orang lain ternyata lebih baik, potensial dan populer dari diri kita.
Aduh, saya kok jumawa lagi? Hahahaha.)
Sering
saya berpikir bahwa saya bekerja dengan niat baik lagi tulus, dan itu
sebenarnya menjadi tameng pelindung atas ‘serangan’ orang-orang yang kurang
menyukai tindakan baik saya. (sedihnya, anak-anak yang sering berkegiatan
dengan saya, diam-diam juga ‘diserang’ di dalam kelas saat pelajaran. Duh,
Gusti...).
Rupanya
saya sedang dihadapkan pada kondisi bahwa selain bertugas mengkonseling siswa
saya pun sebenarnya ditantang untuk bisa mengkonseling rekan-rekan guru saya
(oknum sih, cuma beberapa, yang lain oke banget, selalu dukung kegiatan positif
dari guru siapapun!)
Ini
bahkan saya anggap sebagai ‘serangan’ fajar yang melatih saya untuk bijaksana
dan tahan banting. Cieeehh. Tapi saya tak boleh patah arang. Anak-anak
membutuhkan saya.
Saya
menulis ini bukan berarti saya perfect dan lebih baik dari rekan guru yang
lain. Di sisi lain saya masih punya kelemahan dan minim pengalaman. Saya tak
mau berhenti belajar karena tersendat rasa jumawa saya. Tidak.Tapi saya berkewajiban mendoakan mereka supaya diberi pencerahan sama Tuhan. Amin
Pasir Panjang, 22 Februari 2013
Christian Dicky Senda, Blogger di Komunitas
Blogger NTT. Belajar sastra di Komunitas Sastra Dusun Flobamora. Founder
MudaersNTT Menulis, kelompok menulis kreatif online. Penulis buku puisi Cerah Hati
(2011). Konselor di SMPK St. Theresia, penanggungjawab/editor di Kelompok
Jurnalisme Pelajar SMPK St. Theresia Kupang. Penikmat sastra, film, kuliner dan
psikologi. Tinggal di Pasir Panjang. Twitter @dickysenda. CP 081338037075.
inspiratif... salut untuk kreativtasnya bro.. tetap semangat memajukan potensi anak bangsa.
BalasHapusKereen. Saya suka dengan gaya mengajar kamu. Kalo bis say juga ingin sharing dengan kamu :)
BalasHapus