Rabu, 15 Juli 2015

Sekami Bikoen dan Masa Kecil di Mollo



Catatan Reflektif dari Pekan Sekami Stasi St. Stefanus Noehaen 
 Saya termasuk beruntung karena punya banyak sekali memori yang baik tentang masa kecil di kampung, tentang Sekami dan berbagai kegiatan seni dan kreatifitas di lingkungan Gereja. Rumah dan sekolah saya persis mengapit Gereja St. Maria Immaculata di Kapan, Mollo Utara. Sekolah SDK Yaswari III seperti rumah dan gereja pun demikian. Tentu saja karena guru dan pastornya asyik. Saya jadi suka membaca karena ada setumpuk majalah dan buku bekas kiriman dari Kupang yang bisa diakses secara bebas oleh anak-anak Sekami di pastoran. Saya mengenang almarhum Romo Agus Parera pastor paroki kami kala itu.

Bahagia rasanya setiap kali paroki kami dikunjungi para suster, frater dan siswa seminari dalam aksi panggilan. Saya kagum dengan cara mereka berkesenian. Mereka bermain teater dengan sangat keren, disamping jago bermain banyak alat musik dan tentu saja suara mereka merdu dalam paduan suara. Ada efek bagi anak-anak Sekami seperti saya. Setiap kali drama Natal dan Paskah menjelang, saat itulah momen yang paling kami nantikan. Mungkin beginilah cara anak-anak di kampung seperti saya mengisi masa kecil dan terima kasih, sejak dulu gereja Katolik di kampung-kampung sudah memainkan peran itu. Ada banyak hal menarik terjadi di kalangan anak Sekami, dan ketika saya besar semua itu menyisakan rasa bangga di dada. Sesederhana itu pengalaman bergiat bersama Sekami memengaruhi sisi psikologis saya. Apakah kita menyadari bahwa hal kecil-kecil seperti ini punya pengaruh bagi kehidupan seseorang di masa dewasanya kelak?

Ini bukan soal semua anak-anak akan menjadi pastor dan suter kelak. Sejatinya ada begitu banyak mimpi besar yang bisa dipancing lewat berbagai aktifitas berkesenian di lingkungan Gereja. Tanpa sadar Gereja mengasah sensitivitas berkesenian, lebih dari itu, seni mengasah dan membentuk kepribadian manusia. Generasi baru yang akan meneruskan Gereja di masa depan.

Ketika saya mendapat kabar bahwa tanggal 6 – 9 Juli 2015 akan  berlangsung kegiatan Pekan Sekami Stasi St. Stefanus Noehaen di Bikoen Amarasi Timur, saya begitu antusias karena turut diundang oleh Romo Alfons, imam yang bertugas di stasi tersebut. Solidaritas Giovanni Paolo tempat saya dan kawan-kawan bergiat, memang selalu memberi dukungan moril dan materil untuk umat di Amarasi Timur. Tentu saja di Giovanni Paolo, kami belajar untuk ‘memberi dari kekurangan.’ Ya, saya begitu antusias! Saya mengingat masa kecil saya dulu sebagai anak Sekami di kampung, maka saya pun percaya pada antusiasme, kegembiraan dan mimpi dari 134 anak Noehaen Uf, Hanana hingga Oemoro yang datang berkumpul selama beberapa hari di Bikoen. Mereka tidur di tenda yang terbuat dari daun gewang, masak dan makan bersama, olahraga, bernyanyi, berdoa dan ikut beberapa kegiatan pelatihan kreatif yang difasilitasi oleh para guru agama, frater dan relawan dari Komsos, juga guru-guru Sekami. Anak-anak hadir dan boleh mengekspresikan diri mereka secara terbuka. Rasanya diri mereka seperti saya sekian tahun silam yang senang berkegiatan di Gereja karena ada banyak aktivitas kesenian di sana, Ada banyak tamu keren dan inspiratif yang kerap berkunjung. Ada dongeng, teater, ada drama musikal, koor dan macam-macam kegiatan kreatif. Mereka yang berkemah di alam terbuka rasanya seperti saya dulu dengan seorang suster dan teman-teman beribadah sekalian piknik di padang Lelokasen di Mollo Utara. Masuk ke dalam dunia spiritual melalui interaksi kita dengan alam semesta.

Barangkali kawan-kawan saya di Solidaritas Giovanni Paolo pun melihat dan merasakan hal yang sama. Beberapa tahun terakhir syukurlah kami bisa merintis sebuah rumah baca sederhana di Noehaen, persisi di samping kapela yang terintegrasi dengan PAUD dan kegiatan-kegiatan Sekami. Beberapa kali ada nonton bareng, kegiatan outbound, dan tentu saja kegiatan rutin membaca buku di akhir pekan. Pastonya pun luar biasa peduli dengan perkembangan anak-anak Amarasi Timur. Romo Alfons namanya.

Memang benar, sebesar atau sekecil apa pun tugas kita adalah membantu mengisi masa kecil mereka dengan hal-hal positif. Saya pribadi tentu saja punya banyak utang budi pada Sekami di Gereja saya dulu dan kiranya gerakan saya bersama teman-teman di Solidaritas Giovanni Paolo adalah upaya sederhana kami untuk turut sertamembangun kepribadian dan iman generasi Gereja berikutnya. Toh semua anak sonde harus menjadi biarawan – biarawati kelak, tapi anak-anak kita sudah dipersiapkan sejak dini benar-benar manusia Katolik seutuhnya. Jangan kita jadi bangga bilang bahwa ada peningkatan jumlah umat Katolik karena keluarga-keluarga Katolik begitu produktif melahirkan anak, tapi selanjutnya, apa persiapan dan peran Gereja dan kita semua untuk ‘menumbuhkan’ mereka? Tentu saja kita tidak ingin menambah masalah bagi dunia ini kan? Kepada umat yang hadir, Romo Sipri Senda (koordinator Giovanni Paolo) berpesan, “ayo sisihkan uang untuk pendidikan anak-anak lewat koperasi.”

Sekali lagi, saya bahagia karena lewat kegiatan seperti pekan Sekami ini, wawasan anak-anak sedang dibuka bahwa ada banyak sekali alternatif mimpi yang bisa mereka raih dalam hidup ini. Tentu saja mereka kelak akan bangga, hidup dalam iman, harap juga kasih sebagai seorang Katolik. Seperti saya kini yang merasa bahagia pernah dibesarkan dalam lingkungan Gereja Katolik yang menyenangkan. Tentu saja kegiatan ini berakhir dengan satu pernyataan dari umat Bikoen, “di Kapela kami belum ada guru Sekami.” Anda punya solusi?

Salam hangat dari Bikoen...



Christian Senda, menulis cerpen, bergiat di Komunitas Sastra Dusun Flobamora dan Solidaritas Giovanni Paolo.







Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Beta tunggu lu pung komentar di sini, danke...