Kamis, 04 April 2013

Kekuatan Baru Itu Bernama Socmed


Sebuah Catatan Refleksi Aksi ‘Dari Soe Untuk Rokatenda’


Rokatenda. Memori masa kanak saya telah menyimpan kata itu dengan baik sekali. Generasi yang pernah menikmati hidup di era 90-an khususnya di NTT rasanya tahu dan ingat dengan sebuah tarian yang populer di awal dekade tersebut, ya tarian Rokatenda. Di Timor, tarian Rokatenda bahkan lebih duluan tenar sebelum Sajojo apalagi Poco-poco, kala itu. Ketika kelas 2 SD, saya pernah masuk juga ke dalam tim penari Rokatenda pada saat upacara Hari Pendidikan Nasional sekecamatan Mollo Utara. Cieeeh.
Hal kedua, yang turut membantu mengabadikan memori saya tentang Rokatenda, bahwa dulu setiap kali ingin berlibur ke kampung Bapatua di Flores, kami sering menumpang ferry bernama Rokatenda.
Di tahun 2013, belasan tahun setelah kejayaan tarian Rokatenda dan ferry yang sama telah butut dan masih saja ‘dipaksa’ beroperasi, secara mengejutkan memori manis itu seolah dipaksa keluar dari kantong emasnya: Gunung Rokatenda di pulau Palue meletus! OMG, pada saat itu juga saya baru tahu bahwa gunung Rokatenda letaknya di Pulau Palue itu. Selama ini saya mengira bahwa gunung tersebut berada di Flores Timur. Oalaaah.
Gunung Rokatenda meletus ketika saya dan Sandra Olivia Frans, teman blogger dari SoE juga Romo Patris Allegro Neonub (rohaniwan sekaligus blogger) sedang berada di Ende guna mengikuti serangkaian acara ulang tahun ke-4 Komunitas Blogger NTT. Tanggal 3 April, beberapa jam sebelum kami terbang pulang ke Kupang, dalam perjalanan menikmati jagung rebus di km 14 Ende, kami mendapatkan kenyataan bahwa hujan siang itu terlalu aneh; mata tiba-tiba perih tanpa sebab dan bodi motor seperti disiram terigu—memutih.
Rupanya itu tanda persahabatan yang sedang dikirimkan Rokatenda buat saya, teman masa kanaknya. (Saya lebay ah. Btw, kemana perginya penyanyi Bobby Tunya yang setahu saya menyanyikan lagu tentang Kelimutu yang memang paling pas untuk mengiringi kami menari Rokatenda. )
Setelah kejadian itu, saya baru tahu bahwa dua bulan sebelumnya, tanda tentang ketidaksehatnya Rokatenda sudah dikirimkan ke warga Palue.
Dan sejak meletus di awal Februari itu, kondisi pengungsi memang makin genting saja. Mengkhawatirkan maksud saya.
Pertama, Pemkab Sikka sebagai penanggungjawab utama sebab secara administratif Pulau Palue berada dalam wewenang kabupaten Sikka dan juga Provinsi NTT secara umum, rupanya terlampau sibuk pada prosesi Pilkada (Bupati maupun Gubernur). Sehingga kita bisa melihat sendiri, respon pemerintah begitu lamban. Bahkan ketika ada korban berjatuhan di kamp pengungsian, bapak-bapak yang terhormat itu malah sibuk mengklarifikasi, tepatnya membantahbahwa tidak benar ada jatuh korban di dalam kamp pengungsian.
Kedua, Rokatenda rupanya kurang mendapat posisi yang layak dalam ruang pemberitaan media cetak dan elektronik, lokal maupun nasional. Bisa jadi karena problematika Rokatenda kurang terasa ‘wow’ jika kita bandingkan dengan peristiwa korupsi, bawang mahal, Pilkada hingga kasus Lapas Cebongan. Ketika akhirnya berita Rokatenda hanya muncul sekian detik di running text Metro TV, dikiranya membantu. Nyatanya tidak. Masyarakat dibiarkan berada dijalur ketidaktahuannya, dan serta merta membiarkan saudara se-nusa tak tahu apapun yang terjadi di Utara Flores sana.
Problemnya memang demikian, tapi apakah memang akan berakhir begitu saja tanpa ada tindakan apa-apa?
Tentu akan dijawab TIDAK bagi kalangan Blogger, terkhususnya para Blogger NTT.
Saya ingat beberapa saat pasca letusan, seseorang pendatang (saya yakini ia pendatang, seorang Jawa) secara tiba-tiba berkicau tentang nasib Rokatenda dan serta merta ikut ‘menyeret’ kalangan muda, para tuan tanah yang bisa saja dianggap kurang aware pada sekelilingnya. Twitwar itu tak berlangsung lama, tetapi itu sekaligus menjadi alarm bagi para Blogger NTT.
(Terlepas dari cerita tali temali rafia yang saya sangkut pautkan di atas, mungkin saja tidak tepat, bahwasannya teman-teman Blogger di Ende memang sudah punya impian untuk berbuat bagi Rokatenda).
Dan tak lama kemudian, dari Ende kota kecil nan bersejarah itu, saya melihat semangat bergelora, memang bukan sebagai tandingan kepada siapapun, tapi niat bersolidaritas memang sejatinya selalu ada di dalam hati siapapun. Entah cepat atau lambat ia mekar.
Kak Tuteh, dkk FC Ende beraksi. Mereka berkicau tentang Rokatenda. Seminggu kemudian mereka nekad meluncur langsung ke kamp pengungsian. Mereka kembali dan membawa setumpuk fakta yang mencengangkan, hal-hal yang tak saya jumpai dalam pemberitaan media massa. Rokatenda memang butuh kepedulian kita. 
Maka lahirlah aksi #1MugBeras For Rokatenda khusus bagi warga kota Ende. Mereka bahkan dengan sukarela menjemput langsung beras-beras yang ingin diberikan oleh warga Ende. 
Di Timor saya memang belum punya partner blog yang sesolid teman-teman FC di Ende. Tapi saya punya kawan sejati, Sandra Olivia Frans. Sebelumnya saya sempat 'mati langkah' karena planning untuk berkonsolidasi dengan kawan-kawan muda di Kupang
Dari Soe Untuk Rokatenda (sumber: Sandra Olivia Frans)
batal karena satu dua hal. Tapi obrolan saya dan Sandra menyelamatkan semangat saya dari keterpurukan. ‘Ayo, Dicky, kita buat di Soe saja...”
Oke, rupanya aksi untuk Rokatenda memang harus dimulai dari kota kecil yang dingin dan agak kuper, bernama SoE. Maka tercetuslah ide untuk berbuat ‘sesuatu’ untuk Rokatenda di Soe.
Di Soe, ada sekelompok anak muda kreatif dan punya banya mimpi besar, Komunitas Uno namanya. Uno memang lahir juga karena sebuah rasa solider. Yang tentunya tak pernah lepas dari permainan kartu Uno setiap kali kopdar.
Dari teman-teman Uno, saya pun berkenalan dengan kakak-kakak calon Pendeta yang rupanya punya mimpi besar juga. Kak Imelda Tunliu (dan pacarnya, maaf saya lupa namanya) dan kak Sherly Leo (yang menyertakan juga temannya kak Iren).
Sabtu 30 Maret 2013, sehari setelah wafat Isa Al Masih, kami kopdar di rumah Sandra. Suguhan kacang rebus dan puding coklat buatan Nike Frans (saduarinya Sandra) mengantar semangat bersolidaritas kami kepada pokok mimpi yang sama. Tentunya kopdar ini diawali dengan keluh kesah yang panjang sebagai para alumnus perantauan, entah Jogja, Malang atau Salatiga. Ujung-ujungnya satu: sebagai pelajar perantau harus punya prinsip, wawasan harus luas dan hormati perbedaan. Itu dulu, PR sebagai sesama perantau. Tapi kini? Ketika semua sudah kembali mengabdi di tanah kelahiran prinsip, wawasan dan rasa humanisnya mau diapakan? Terlalu banyak kesenjangan antara das sollen dan das sein di depan mata kita.
Hari itu juga terdeklarasilah Forum Soe Peduli. Sebuah forum yang mencoba merangkaul semua anak muda TTS untuk sama-sama berdolidaritas. FSP bukanlah sebuah komunitas atau lembaga resmi. FSP hanyalah wadah untuk menyatukan segala kelompok dan komunitas atas nama solidaritas. Titik. Seperti cinta kasih, solidaritas itu bahasa universal. Apapun anggaran dasar/anggaran rumah tanggamu, jika kita berbicara solidaritas, AYO BARENG-BARENG! Diam-diam kami belajar dari betapa solidnya orang muda di Ambon. Danke kaka Almascatie, dkk.
FSP lahir pada saat itu juga dengan aksi perdananya gerakan seribu rupiah, ‘Dari Soe Untuk Rokatenda’. Terima kasih untuk kak Sherly, kak Imel, kak Iren, Sandra, Josua, Nike, Joce, dan Angel yang bersedia menjadi sukarelawan penggalang dana geser. Kak Sherly dan kak Imel yang punya link ke dalam lingkungan Gereja bahwa bersedia untuk menggalang geser di Gereja Efata dan dari teman-teman pemuda gereja. Dari dunia maya pun, kaka admin nan misterius @SeputarSoe di Twitter yang setia meretweet apapun pergerakan Dari Soe Untuk Rokatenda. Kakak admin @SeputarSoe bahkan bersukarela menggalang donasi dari teman-temannya di lingkungan ‘Paris’ aka Pasar Inpres Soe.
Langkah yang diambil teman-teman di Soe ini terbilang kecil bila dibandingkan dengan apa yang sudah dilakukan Ambon Bergerak dan teman-teman Blogger se-Indonesia (atas nama pribadi). Seminggu kemudian, gerakan sejenis melakukan gerakan sporadisnya. Kupang Bagarak, solidaritas blogger Bali, teman-teman mahasiswa di Salatiga, dsb.
Menarik melihat fenomena ini.
Kalian yang mungkin kurang yakin dengan apa yang saya bilang disini, silahkan follow akun Twitter FC @Flobamorata dan kalian akan melihat sendiri betapa kuat dan dahsyatnya ‘bersuara’ di Social Media. Untuk kebaikan genderangnya besar juga lho. Dalam 5 hari terkumpul dana belasan juta untuk pengungsi Rokatenda. Teman-teman menyebutnya ‘modal jualan kecap.’ Tapi maksudnya di sini bahwa kita semua punya peranan penting untuk ‘meneriakkan’ sesuatu hal baik di dunia maya. Kebaikan sejatinya akan menyertakan segerombolan kebaikan baru. Yang menabur beni h baik, pasti tuaiannya juga baik. Dalam waktu sehari, terkumpullah donasi 6jutaan dari kegiatan Charity Act- Ambon Bergerak untuk Rokatenda di Ambon. (Melibatkan 23 komunitas anak muda Ambon).
Rokatenda telah membuktikan hipotesis saya pasca menonton film Linimassa 2, tentang bagaimana sebuah media bekerja untuk menyebarkan berita baik maunpun buruk. Jika media mainstream kerap seenaknya mencecoki kepala kita dengan berita yang seharusnya tidak layak untuk kita, maka alternatif berikutnya adalah terjun dan jadilah pewarta kabar baik via sosial media (socmed) yang kini menjamur. Socmed jika dipergunakan untuk kebaikan, nyatanya luar biasa efek domino positifnya. Nonton deh film Linimassa. Bagaimana orang-orang biasa berperilaku luar biasa dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi dengan baik.
Terlalu banyak contoh kongkrit tentang potensi besar socmed untuk perubahan hidup manusia. Teman-teman Flobamora Community via bloggerntt.org dan Twitter @Flobamorata berkali-kali membuktikan itu. Kekuatan baru solidaritas memang datangnya dari social media. Dan ia ada di tangan kita sehari-hari. Siap melakukannya?
Bias-bias baik inilah yang coba saya tularkan juga untuk teman-teman muda SoE. Semoga.


NB: Forum Soe Peduli dikoordinasikan oleh Sandra Frans, segala info dan kegiatan bisa line SMS 085234403030.


Christian Dicky Senda. Blogger, penikmat sastra, film dan kuliner. Bergiat di Flobamora Community dan Komunitas Sastra Dusun Flobamora. Menggagas MudaersNTT (Kelompok menulis online) dan Kelompok Jurnalisme Pelajar Speqsanthers (speqsanthersplus.blogspot.com). Menulis buku puisi Cerah Hati (2011) dan kumpulan cerpen Kanuku Leon (segera).  Kini bekerja sebagai konselor di SMPK St. Theresia Kupang. Twitter @dickysenda.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Beta tunggu lu pung komentar di sini, danke...