Minggu, 10 Maret 2013

Teater Monologia Flobamora: Bahwa Terang Itu Ada


 Untuk MudaersNTT

Hari Sabtu (9/3) jelas saja menjadi  hari penting dalam sejarah seni pertunjukan di NTT. Dimana teater Monologia Flobamora dari naskah sastrawan Gerson Poyk di pentaskan oleh sekelompok anak muda Kupang di Taman Budaya NTT. Tak berlebihan jika saya mengatakan demikian, sebab di nusa Flobamora sangat jarang kita jumpai pertunjukan seni semacam itu. Saya sama sekali tak percaya jika kejarangan tersebut dikarenakan ‘mahal’nya harga sebuah pertunjukan. Entah karena apa, nyatanya apresiasi kita atas pertunjukan seni di NTT ya gak sebaik dan setinggi di Jawa (Jogjakarta misalnya, kota yang pernah saya tinggali lebih dari 5 tahun itu).
sumber: http://www.facebook.com/elcidli

Monologia Flobamora, sebelumnya sudah dipentaskan perdana beberapa waktu lalu pada acara malam penganugerahan Forum Academia NTT (FAN) Award 2012 di Aula Universitas Kristen Artha Wacana Kupang. Ketika itu Gerson Poyk didaulat untuk menerima FAN Award 2012 di bidang humaniora.
MF dibuka dengan nyanyian ratapan ‘Usi Apakaet’ yang begitu menyayat hati. Lagu berbahasa Dawan yang khas, merepresentasikan budaya ‘mkae’ atau menangis meraung-raung sembari meminta pertolongan kepada Tuhan agar dibebaskan dari bencana dalam hidup. Dibawakan oleh paduan suara mahasiswa Evangelis of Artha Wacana Kupang dengan penuh penghayatan. Perfect.
Dipentaskan dua kali, untuk pementasan pertama jam 5 sore dikhususkan bagi pelajar dan wartawan (meski saya tak melihat satupun wartawan meliput, mungkin aroma pilkada lebih menjanjikan), dan pada jam 8 malam, terbuka untuk umum.
MF berkisah tentang seorang ‘kakek tua keparat’ (entah siapa namanya, saya mungkin kurang menyimak, tetapi sepanjang pertunjukkan ia kerap menyebut dirinya demikian), yang mengeluhkan perubahan sosial, ekonomi, juga budaya yang terjadi di tempat tinggalnya. Kemiskinan dan pengangguran rakyat terjadi bersamaan dengan tindak korupsi yang kian merajalela dan terbuka. Si Kakek tua dimainkan dengan cara monolog oleh Abdi Keraf, seorang dosen psikologi berusia 36 tahun. Abdi pada malam itu berhasil menunjukkan kemampuan maksimalnya sebagai seoranga aktor panggung. Ia jelas bukan pemain baru, terlihat dari gayanya bermonolog, Abdi sudah berteater sejak tahun 1995.
                “Tahun 2008, ketika kembali dari Surabaya dan mengabdi di Univ. Nusa Cendana, saya merasa harus mengubur impian saya untuk terus bergiat di dunia teater.”
Abdi punya alasan tersendiri, bahwa ia yang bertumbuh di dunia seni yang begitu hidup di Surabaya dan kini harus kembali ke Kupang, kota yang ‘gersang’ dan ‘miskin’ kegiatan seni. Butuh waktu 4 tahun lebih untuknya bangkit lagi dari tidur, ketika temannya Ragil Sukriwul mempercayakan naskah Gerson Poyk untuk dipentaskan Abdi pada malam puncak FAN Award kala itu. Dan berhasil. Bahkan mendapat sambutan positif dari Gerson Poyk yang kala itu hadir di UKAW.
Abdi Keraf in action! (sumber; https://twitter.com/patrisallegro)
MF kali ini memang terasa spesial karena mengalami perkembangan improvisasi (namanya juga monolog) dan Ragil Sukriwul sebagai sutradara memberi porsi tambahan di tengah monolog: ketika si kakek yang terlalu banyak ‘nyinyir’ sejenak ‘didiamkan’ oleh tarian (yang mengingatkan saya pada film Generasi Biru oleh Garin Nugroho) dari sekelompok anak muda dengan berbagai macam peran, PNS, perawat, anak SMA, pembantu rumah tangga, orang gila, petani, mahasiswa, dll dengan 3 orang pria berselubung kain hitam (apakah sejenis malaikat?) . Tarian tersebut merepresentasikan kehidupan manusia dalam dunia kerja yang terkesan seperti robot. Semua sibuk dengan dirinya sendiri, terpacu dengan waktu dan deru mesin, tiba-tiba menjadi histeria (karena telah menari bersama malaikat) dan merekapun mati! Pada poin ini saya agak kurang menangkap linearitas antara kisah barusan dengan monolog sebelumnya. Saya kehilangan kunci pintu yang menghubungkan peristiwa ‘nyinyir’ dengan peristiwa ‘didiamkan’ tadi. Oke, namun pada kisah ini, saya harus mengapresiasi kerja keras teman-teman mahasiswa dari Komunitas Asik UKAW yang berakting dan menari dengan sangat keren.
Ketika kelompok pekerja muda itu mati, dan jenazah mereka digeret 3 malaikat, monolog kakek tua berlanjut. Namun kali ini ia mengurangi kritikan tapi memberi jawaban. Si kakek tua menghembuskan angin segar, bahwa masih ada kesempatan bagi kita untuk berubah. Mungkinkah masih akan datang lagi malaikat penolong? Si kakek menganjurkan agar kita kembali pulang kepada nusa Flobamora. Tanah ini butuh tangan kreatif, kejujuran dan tanggungjawab besar kita. Ia berteriak keras dan suaranya bergetar, “Pulang.... pulanglah nak...” dan sayup-sayup terdengar paduan suara Evangelis of Artha Wacana menyanyikan lagu Tanah Air. 
Meskipun kita pergi jauh, tanah air memang tak akan mudah dilupakan... bahwa terang itu ada. Harapan kita semua.


PS Evanelis of UKAW nyanyiin lagu Usi Apakaet. Merinding! (sumber: Patris Allegro)

***
Teater dan Pelajar Sekolah
Ketika kak Elcid menelpon saya dan mengabarkan tentang rencana digelarnya MF dengan lebih besar di Taman Buday NTT, saya langsung menyatakan diri siap mendukung. Oya, kak Elcid adalah founder dari Forum Academia NTT, seorang muda yang baru saja mendapat gelar doktor dari sebuah universitas di Inggris, seorang yang sangat tidak kikir untuk berbagi pengalaman dan ilmunya! Beliaulah api yang terpercik untuk pelita yang hendak dinyalakan, pertunjukan MF itu sendiri. Dengan dibantu orang-orang hebat seperti Ragil Sukriwil di kursi sutradara, Ever Nenabu di tata musik dan lagu, teman-teman Komunitas Asik UKAW serta PSM UKAW, pementasan MF kali ini jauh menyegarkan, lebih menggetarkan semangat. Tak lupa pula, dia yang menjadi tonggak utama kesuksesan MF, bung Abdi Keraf, the real actor!
Ketika undangan tiba di SMPK St. Theresia, saya langsung mengajak  murid-murid saya untuk nonton. Saya percaya bahwa teater penting bagi remaja. Teater melatih sensitivitas seni dan rasa (afeksi) kita sebagai manusia. Teater turut membangun karakter, makin menonjolkan kepribadian. Hingga yang paling sederhana, teater mengajarkan kita untuk jujur, bertanggungjawab, pantang menyerah dan percaya diri. Nilai penting yang mendasari hidup remaja ideal. Saya pun punya cita-cita untuk bikin kelompok teater kecil-kecilan di sekolah, sebagai bagian dari metode ‘role play’ dalam bimbingan dan konseling bagi siswa. Dan... terjualah 28 tiket di sekolah. Dan murid-murid saya yang pergi menonton adalah mereka yang sudah saya kenali betul kualitas hidup mereka. Remaja-remaja yang punya ketertarikan besar  dalam bidang seni pertunjukan dan sastra. Kepada mereka, saya kerap bilang, “Nak, kamu jago sains saja tidak cukup untuk memenuhi tuntutan zaman ini. Kamu perlu juga membaca banyak buku sastra dan nonton pertunjukkan seni entah teater, tarian atau paduan suara. Sebab itu semua melatih kepekaan rasa/ emosimu. Untuk sukses, kekuatan kognitif saja belum cukup!” Mereka kebanyakan kelas 9 dan bakal melanjutkan SMA di Jawa. Dalam bidang kognitif mereka setara dengan siswa di Jawa, namun diluar itu, mereka butuh berlari kencang. 

***
Menurut saya publik NTT perlu diedukasi dan dilatih selera mereka dengan pementasan-pementasan sejenis ini. Tentu MF memberikan alternatif tontonan dan tuntunan bagi sebagian orang yang percaya bahwa peradaban kita hanya akan berprogres lewat jalan kebudayaan.
Pada akhirnya MF mengingatkan kita bahwa Kupang punya aktor dan sutradara mumpuni. Ada penari dan penyanyi berbakat, ada penulis skenario hebat, kita punya seniman-seniman tulen, namun yang masih kurang adalah penonton yang mencintai seni dengan jujur dan bertanggungjawab.
Apakah kita sudah mencintai seni dengan jujur dan bertanggungjawab? 


****
 Christian Dicky Senda. Blogger, penikmat sastra, film, piskologi dan kuliner. Bergiat di Komunitas Sastra Dusun Flobamora, MudaersNTT (kelompok menulis online) dan Flobamora Community (Komunitas Blogger NTT). Menulis buku puisi Cerah Hati (2011) dan kumpulan cerpen Kanuku Leon (segera terbit). Saat ini bekerja sebagai Konselor di SMPK St. Theresia Kupang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Beta tunggu lu pung komentar di sini, danke...