Selasa, 05 Maret 2013

Mengkritisi Sekaligus Mengapresiasi CD Tuteh Pharmantara



Christian Dicky Senda


Untuk MudaersNTT.

(sengaja menulis dengan judul ‘mengundang’―mengundang digampar sama yang bersangkutan). 

***

Akhirnya saya punya juga koleksi 3 buku dan 1 keping vcd lagu miliknya Tuteh Pharmantara, suhu saya di dunia persilatan blogger. (meski sampai menulis ini, buku dan vcd-nya belum saya bayar, *tutup muka pake bolu kukus Amanda Jogja, wwkwkwkw pameeeer*
Saya sengaja menulis ini tanpa embel-embel ka’e atau kakak, gak seperti biasanya. Hanya bermaksud menciptakan jarak. Eeaaa. Biar kritik dari saya nancap! *siap-siap mem-bully karya ka’e senior wkwkwkwk*
sumber: christina-mawar.blogspot.com
Buku yang saya maksudnya adalah Curhat Donk (dan selanjutnya akan saya singkat CD, bukannya cd siapa-siapa ini cd-ny Tuteh. Warna putih garis-garis pelangi, eaaa. Maksudnya bukunya berwarna demikian!). CD adalah sebuah kumpulan curhatan konyol yang dibagi ke dalam 4 sub―disebut edisi, masing-masing edisi radio (ditulis ketika Tuteh bekerja sebagai penyiar di radio Gomezone Ende—radionya sedang koma, sodara-sodari!). Berikutnya, edisi rumah (ditulis dengan perspektifnya sebagai ‘anak rumahan’ yang gokil, bersama sang mamatua, keponakan, anak kost, tetangga, saudara, ipar, semuanya gokil. Selanjutnya edisi gadget dan edisi umum (tentang pengalaman penulis sebagai salah satu petualang di ajang Aku Cinta Indonesia yang diselenggarakan detik.com). 
Namanya juga curhatan konyol, jadi bisa dipastikan 27 curhatan itu ditulis benar-benar dengan niatan untuk konyol-konyolan gak lebih apalagi berharap serius. Semua hal atau pengalaman yang dialami langsung oleh penulis di-create dengan otak, nafas, tangan, dan ‘bau’ yang konyoool. (tuh kan, saking menjiwai CD, saya jadi latah menulis review ini dengan gaya Tuteh).
Misalnya begini,  “saya menulis sambil korek tai idong membayangkan karakter Tuteh yang memang seru dan easy going.” Hahahaha... maksud saya adalah di CD, anda akan dengan mudah menemukan selipan kata-kata konyol yang berbeda konteks namun sengaja ditulis dan diberi ‘striketrough’ (dicoret, kayak mau bilang: abaikan! Tapi tetep ngarep minta dibaca) semuanya demi memunculkan kelucuan tadi. Dan memang lucu. Misalnya (lagi) nih, dalam cerita Ari Sihalaso, Tuteh menulis begini, “Suatu malam, saya diajak sohib, sodari, urat nadi saya yang bernama Sisi kanan sisi kiri untuk makam makan malam, temani seorang bule asal Australia..bla...bla”
Atau kalimat ini, “Peran kami (Tuteh dan Waldy, penyiar radio Gomezone) tiap pagi adalah menyuntik energi kepada Gomezoner dengan bermacam cara salah satunya ngelempar rumah Gomezoner pake kipas angin” dan benar saja, saya terhipnotis oleh gaya ini, lantas seperti orang kesurupan dan ngakak sendirian (buku ini saya bawa dan baca disela kegiatan menemani murid-murid kelas IX retreat di Belo. Sudah pasti ada murid saya yang terheran-heran melihat gurunya ngakak di pojokan saat tea break). 
Kedua, untuk menghidupkan suasana konyol, Tuteh sengaja menambah kata-kata dramatis –hiperbolis nan lebayyy bukan saja dengan ‘emoticon’ ̕J atau :p, misalnya pada cerita Panic Attack ketika rumah Ende tiba-tiba saja diserang badai. Ketika sedang badai dan mati lampu, mucullah percakapan lucu berikut, 
“Jangan-jangan tsunami,” kata mamatua. Horor kali ini pikiran mamatua.
“aduh jangan eee... kan belum kawin kita, ma.”
“Yang belum kawin itu kan kau! Mama sudah. Makanya orang suruh kawin itu ikut!”
“Memangnya kawin itu gampang kah?”
“Gampang kalo tidak pilih-pilih!”
*manyun bibir Donald Bebek* 
Angin ribut hujan + hujan deras + listrik padam + nyala lilin ngos-ngosan ngelawan angin = topik kawin. Ngotot. Sempurna. Yang kurang cuma tikar, kopi dan pisang goreng. Emangnya mau piknik? ... saya juga segera sms Indra (keponakan Tuteh) yang lagi belajar ngorok kelompok di rumah temennya.
Aduuuuh Tuteeeh. Niat saya untuk mem-bully masih berlaku gak sih?
Masih dong!
Buku ini menarik. Jika dunia perbukuan di NTT punya banyak sekali buku-buku ‘serius’ semacam buku puisi, cerpen, novel, esei, feature, dll maka Tuteh melengkapinya dengan jenis buku yang lebih ringan dan ngepop. Klop! 
Jika Mario Lawi (sastrawan muda NTT) misalnya menulis dengan kaidah berbahasa yang baku ditambah diksi-diksi indah, maka keindahan tulisan Tuteh tetap pada kejujurannya meramu pengalaman konyol dengan bahasa gaul ibukota tapi sering pula ia memakai ungkapan-ungkapan lokal khas Ende. Dan di CD Tuteh bisa seenaknya menjungkirbalikkan kaidah dan diksi tadi. Namanya juga kumpulan curhat konyol. Dimaklumi.
Di Novel pertamanya Indira Fedel (novel dengan genre yang sama dengan CD) Tuteh mengangkat isu utama Indira yang ngomong kawin/menikah melulu tapiii tetap saja ditipu para lelaki (meski endingnya manis) maka topik yang sama pula masih bisa kita jumpai dalam kisah-kisah konyol di CD. Bayangkan jika kalimat ‘belum kawin’ diulang berkali-kali dalam situasi gawat darurat sekalipun (namun dengan nada dan aura bercadaan?!) Oh Tuteeeh, please deh. Tapi sumpah, di situ letak  kelucunya. Sehingga kehadiran Orlando Bloom sebagai kekasih impian pun masih saja diplesetin juga. 
“Teh, udah dilamar Orlando Bloom?” Huh, namanya juga BLOOM. Coba namanya diganti Orlando Sudah.
Okeh, barusan itu puji-pujian dari Madah Bakti nomor 154 untuk CD. 
Membaca CD memang mengasyikan, namun cuma di awal hingga pertengahan saja. Di edisi Gadget saya kok merasa ‘sihir’ Tuteh mulai memudar hingga akhirnya agak antiklimaks di edisi umum. Kalo menurut hemat saya (karena saya rajin menabung di bank. Ups, jayus gak sih? lol) harusnya urutannya dirubah. Karena apa? Kekuatan CD ada pada mereknya  edisi radio dan edisi rumah. Sehingga akan lebih bagus jika kekonyolannya di taruh di tengah hingga ending CD. Jangan sampai pembaca seperti saya akan membabi buta di dua edisi awal, menguras energi karena ketawa ngakak lalu loyo (membosankan, red) di tengah hingga belakang. 
Rasa-rasanya perlu ada CD pertama, kedua atau ketiga yang harus diembat maling dari tali jemuran. Eh. Maksdunya, saya merindukan ada kelanjutan curhatan konyol lainnya. Secara ia dikelilingi banyak sekali makhluk ajaib. *apalagi para besi berani ituh*
Tuteh lagi manyun. (sumber: http://www.facebook.com/tuteh)
Pada akhirnya saya harus mengakui lagi kehebatan Tuteh yang memang punya sense of humour yang luar biasa. Konon Tuteh juga punya kotak memori dengan kapasitas besar di otak, yang dipersiapkan hanya untuk mengisi cerita dan pengalaman-pengalaman lucu yang ia alami. Di dalamnya bahkan terkandung dua kata ajaib: Menikah dan Orlando Bloom.

Pengakuan saya atas kehebatan Tuteh yang lain adalah bahwa saya mendadak latah untuk menulis review ini (meski dengan agak maksa bukan terpaksa) menggunakan gaya kepenulisan Tuteh di CD. *Hayooo cd siapa yang mau ditulis kae Tuteh?*
Saya menulis review ini ditemani lagu Falling in Love-nya Tuteh dan Noel. Masih ada 3 utang yang belum saya lunasi, pertama menulis review CD lagu Notes (Noel Tuteh side project), nulis review kumpulan cerpen, puisi dan prosa pendek Tuteh, 3.Tiga (di buku ini, Tuteh menunjukkan sisi lainnya, menulis buku serius!), dan yang terakhir adalah membayar buku-buku dan cd lagu. Dan gak ngarep juga sih ketiganya digratiskan.


***

Christian Dicky Senda. Blogger di Flobamora Community. Penikmat sastra, film, psikologi dan kuliner. Konselor di SMPK St. Theresia Kupang. Menulis buku Cerah Hati (kumpulan puisi) dan Kanuku Leon (kumpulan cerpen, segera terbit). Bergiat di MudaersNTT (kelompok menulis online) dan Komunitas Sastra Dusun Flobamora. Menetap di Kupang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Beta tunggu lu pung komentar di sini, danke...