Tulisan ini hanyalah sedikit perspektif saya pribadi
sebagai orang NTT yang pernah kuliah dan menetap lebih dari 5 tahun di
Jogjakarta. Tanpa mengurangi rasa hormat saya pada keempat korban yang ditembak
dalam Lapas Cebongan. Saya berdoa untuk mereka semoga diberi tempat yang layak
di sisi Tuhan dan diampuni segala dosa dan salah mereka. Juga bagi keluarga
keempat korban, agar diberi kekuatan dan ketabahan.
Menurut berita yang saya baca di TEMPO, bahwa pada hari Selasa 19 Maret 2013, telah
terjadi pengroyokan oleh empat orang warga asal NTT kepada seorang
prajurit Kopassus (Alm Sertu Santoso) di
Hugos (tempat hiburan malam di Jogja). Almarhum Heru tewas setelah ditikam
dengan pecahan botol di bagian dadanya.
Menurut Tempo keempat pengroyok adalah Hendrik
Angel Sahetapy alias Deky (31), Adrianus Chandra Galaga (33), Yohanes Juan
Mambait (38 tahun, disebutkan sebagai mantan polisi yang menjadi terpidana
karena kasus narkoba), dan Gamaliel Rohi Riwu (29). Sabtu 23 Maret 2013 dini
hari, giliran keempat pelaku yang sedang dititipkan di Lapas Cebonganlah yang
ditembak mati oleh 18 orang tanpa identitas (yang diduga sebagai serangan
balasan dari teman-teman Sertu Heru). Saya belum mengetahui motif pembunuhan di
Hugos. Mungkin ada masalah pribadi.
Tapi pada akhirnya, kita seolah dipaksa untuk
menerima benang merah yang tidak bisa kita terima.
***
Sejak lama kasus per kasus yang dilakukan oleh oknum
yang kebetulan orang NTT, pada akhirnya juga turut merusak nama baik NTT.
Tahun 2012, terjadi juga kasus penusukan terhadap seorang mahasiswa Kalimantan (suku
Dayak) oleh pelaku asal NTT. Dan sempat terjadi ketegangan antara kedua pihak.
Tahun 2005, pertama kali saya ke Jogja untuk kuliah,
saya pun banyak mendegar cerita atau pun merasakan langsung salah paham, adu
mulut hingga yang lebih serius yakni tindakan kekerasan antar oknum anak muda
asal NTT dengan masyarakat dari daerah lain. Sekali lagi kita harus garis
bawahi, ini ulah OKNUM. Hanya saja yang membuat saya miris bahwa
kejadian-kejadian seperti itu sudah sering terjadi sehingga meskipun hanya
dilakukan oleh satu dua orang saja, tapi akibatnya sungguh luar biasa besar.
Paling tidak dari segi persepsi saja, orang Jogja atau daerah lain akhirnya
terlanjur menggeneralisir keadaan, bahkan semua orang NTT ya tabiatnya buruk.
Mahasiswa NTT itu dianggap keras kepala, susah diatur, pemabuk, suka dugem di
diskotik, suka berantem dengan mahasiswa dari daerah lain, bla bla bla...banyak
sekali. Duh.
Ada pengalaman menarik. Saya pernah ditolak oleh tuan
rumah ketika saya hendak mencari kos hanya karena saya dari NTT. Suer, saya
serius. Waktu itu bapak itu bertanya, masnya asal mana? Saya jawab, Kupang. Oh,
NTT yah, lanjutnya, aduh gimana ya mas ya, saya kapok punya anak kos dari timur
(timur baginya merujuk ke NTT, Maluku dan Papua, red). Pusing saya ngurus
masalah tiap hari karena mabuk lalu berantem. Saya boleh membela diri dan
menyatakan bahwa itu hanya oknum, bahwa tidak semua mahasiswa asal NTT
bertabiat buruk, tapi tetap saja bapak itu menolak saya.
Sebenarnya hal yang jadinya malah merugikan
mahasiswa NTT lainnya ini, juga dialami oleh rekan-rekan dari wilayah timur
Indonesia. Pertama, apa benar bahwa karakter kita orang Indonesia Timur, ya
gitu deeeh, berwatak keras (kepala?
Kedua, kecenderungan mahasiswa asal Indonesia Timur
adalah sikapnya untuk hidup berkelompok, dan secara terbuka agak menunjukkan
keekslusifan etnis/adat istiadat. Daerah lain memang punya asrama mahasiswa
sendiri, kerap berkumpul dan bikin acara makrab, tapi yang membedakan adalah
bagaimana kita bisa membuka diri, membuka pergaulan dengan orang lain diluar
suku kita. Saya percaya, pergaulan yang luas tanpa sikap ekslusif dan
premordialis, akan menjadikan kita tidak mudah curiga, dendam apalagi murka
dengan orang lain yang berbeda pendapat dengan kita. Pergaulan yang luas bukan
saja membuka wawasan, cara berpikir, tetapi juga akan melatih kemampuan kita
berempati dan memberi respek dan kesan yang positif bagi orang lain. Pergaulan
yang luas memungkinkan kita untuk belajar dan mengenal karakter banyak orang,
adat istiadat dan keyakinan orang lain. Dan pasti rasa solidaritas atau setia
kawanlah yang paling berkuasa. Kita akan dengan mudah menghargai dan mengerti
orang lain yang BERBEDA dengan kita.
Saya sangat percaya proses itu. Makanya ketika
kuliah di Jogja, saya bergaul dengan sesama mahasiswa NTT, tapi lebih lagi saya
harus gaul dengan banyak-banyak orang. Itu prinsip saya.
Sama halnya saya percaya bahwa tidak semua orang
Indonesia Timur berperilaku buruk di Jogja. Tapi benar kata pepatah, nila
setitik rusak susu sebelanga. Sebab luar biasa buruk kesan yang ditinggalkan
oleh satu dua orang saja.
Ada teman saya mengeluh, katanya, mudah mengenali
orang Indonesia Timur bukan saja dari ciri fisik (kulit gelap, keriting atau
struktur tulang wajah yang khas) tapi juga karena kebiasaan bertindik,
pearching, suka memodif knalpot yang bikin ribut di jalanan, tidak bayar kos,
mabuk dan suka putar musik keras-keras. Saya mengerti maksudnya. Itulah kesan
yang tanpa sadar kita buat dan tinggalkan bagi orang lain. Dan semua itu
memberi ruang persepsi bahwa dari Indonesia Timur ya begitu, identik dengan
preman dan anarkis. Tak bisa dipungkiri. (Sedihnya lagi, terkadang kasus
kekerasan juga terjadi antara sesama warga Indonesia Timur. )
Saya yakin keempat korban bukanlah preman, mereka
pastilah orang baik hanya saja memang bekerja sebagai security di lokasi hiburan malam yang memang rentan dengan keadaan bersitegang. Sekali lagi kejadian itu mungkin karena masalah pribadi
dan balas dendam.
Akan tetapi jika sebelumnya persepsi tentang
Indonesia Timur sudah jelek (dengan alasannya sendiri-sendiri) dan ada kejadian
Hugos-Cebongan ini lagi, maka kita tak bisa menyalahkan orang yang kemudian
akan mengaitkannya persepsi mereka sebelumnya.
Untuk teman-teman MuDAers NTT:
Saran saya, mari kita introspeksi diri, mawas diri.
Bukan saja teman-teman asal NTT saja yang saat ini masih berada di Jogja,
tetapi juga saya yang pernah tinggal di Jogja. Mungkin kita (artinya termasuk
saya juga) pernah punya perilaku dan sikap yang telah menimbulkan keresahan
bagi orang lain dan lingkungan? Kita yang terlalu egois, yang menganggap diri
benar dan menyalahkan orang yang berbeda pendapat dengan kita? Ayo kita rubah.
Ada baiknya kita buka wawasan. Jogja itu Indonesia
mini. Ada begitu banyak warga segala suku dan bangsa ada di sana. Harusnya
kondisi itu menjadi potensi dan kesempatan bagi kita untuk merubah pola pikir,
menambah wawasan, dan memperluas jaringan (link) pertemanan dan nantinya pekerjaan.
Boleh hidup berkelompok dengan teman-teman sekampung, tapi jangan pola pikir
kita seperti bapak-bapak di kampung. Kita adalah pribadi-pribadi intelek (sebab
kita mahasiswa) yang punya kesempatan emas bisa kuliah dan bekerja di Jogja.
Jangan sampai, kita jauh-jauh kuliah ke Jogja, tetapi sikap dan otak kita tak
jauh beda dengan teman kita (yang misalnya karena alasan tertentu menjadi
tukang ojek) di kampung. Jangaaan.
Kita harus rubah pola pikir. Bahwa supaya EKSIS tak
perlu dengan merubah penampilan menyeramkan supaya kita ditakuti dan disegani.
Ada banyak jalan lain, aktiflah berorganisasi, gali kemampuan diri, gaul,
kreatif dan punya daya inovatif. Memang kenyataan bahwa uang saku dari orang
tua kita kelewat sedikit jika dibandingkan uang bulanan teman kita dari daerah
lain, tapi kan ada banyak pekerjaan paruh waktu yang bisa dilakukan. Tapi yang
halal yah. Hehehe.
Terima kenyataan kita salah, kalau benar kita salah.
Kita kan paling suka ngotot meski sudah jelas-jelas salah he-he-he.
Untuk orang tua, sering-seringlah mengontrol
anak-anakmu di tanah rantau. Untuk pemprop NTT, asrama mahasiswa di
Tegalpanggung Jogja itu yang benar untuk didiami mahasiswa atau untuk yang
sudah bekerja ya?
Sekali lagi kasus Hugos-Cebongan tidak mewakili NTT
seutuhnya. Saya kasihan dengan ribuan mahasiswa asal NTT yang akhirnya menjadi
was-was karena ikut tersangkut dengan kejadian ini. Takut keluar kos, dll.
Untuk satu dua orang oknum yang biasanya suka buat onar, please, stop ya.
Kasihan nama Flobamora akhirnya jadi rusak.
Siapa menabur benih baik,
ia akan mendapat tuaian yang baik pula. Iya to kaka?
****
Christian Dicky Senda.
Blogger, penikmat sastra, film dan kuliner. Bekerja sebagai konselor di SMPK
St. Theresia Kupang. Bergiat di Komunitas Sastra Dusun Flobamora, Komunitas
Blogger NTT dan kelompok menulis online, MuDAersNTT.
NB: rasa salut luar biasa
saya sampaikan untuk Sultan Jogja. Luar biasa respon beliau, sangat cepat,
tepat dan mendinginkan suasana. Beliau itu paling perhatian dengan mahasisa
Indonesia Timur.
Buat teman-teman, ayo Solidaritasnya juga buat 11 ribu pengungsi Rokatenda yang sedang kelaparan. Infonya bisa cek di Flobamorata atau mention Twitter @Flobamorata.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beta tunggu lu pung komentar di sini, danke...