Rabu, 09 Desember 2009

SUATU HARI DI LAPANGAN SANTO PETRUS (Sebuah Cerpen)

By Sipri Senda

Suatu hari di lapangan Santo Petrus. Matahari di ubun-ubun kupola Basilika Santo Petrus. Tapi angin dingin dari selatan Rusia sungguh menggigit hingga ke sumsum. Kukancing rapat-rapat jaket tebalku. Kuperbaiki letak syal di leher. Seketika sekilas bayangan muncul di benakku. Signori Antinori, keluarga sederhana di Pisa yang kini menjadi sahabatku, yang memberi syal ini sebagai hadiah natal buatku, ketika aku membantu pastor paroki mereka merayakan Natal .

Di sini, di lapangan Santo Petrus ini, di antara ribuan peziarah mancanegara, aku berdiri mematung memandang bangunan megah yang bernama basilika. Tiba-tiba mataku tertumbuk pada sepasang mata bola dengan cahaya bintang gemerlap. Tapi ada gayutan kesedihan terselubung. Dia memandangku penuh perhatian. Kucoba tersenyum padanya. Dia mendekat dan menyapaku.

“Padre! Filipino?” tanyanya. Aku menggeleng senyum tanpa kata.

“Cinese?” bola matanya mengungkapkan rasa penasaran. Sikapku masih sama.

“Thailandese?” Aku tetap menggeleng senyum tanpa kata.

“Malaysia?”

“No!” Kataku singkat.

“Singapura?”

“Quasi, hampir. Sedikit lagi.”

“Aha.. Finalmente, akhirnya kutahu juga sekarang. Negeri tsunami, negeri banjir, negeri ko…” ia terdiam sambil menutup mulutnya dengan kedua tangannya.

“Apa kamu bilang? Negeri tsunami, negeri banjir dan negeri ko.. ko.. apa maksudmu?” tanyaku.

“Ah, tidak. Lupakan, aku tidak bermaksud mengatakan sesuatu yang jelek tentang negerimu, Padre.”

“Iya, tapi mengapa kau tahan kata-katamu? Mengapa tidak kaukatakan tuntas?”

“Baiklah. Aku cuma mau katakan negeri korupsi. Padre marah kalau aku bilang begitu?” wajahnya mengandung gurat kekuatiran.

“Tidak. Aku hanya heran, mengapa kau bisa katakan seperti itu.”

“Aku menaruh minat pada perkembangan negara-negara Asia. Tapi, lupakanlah soal itu. Ada hal lain yang penting sekali.” Ia berhenti bicara sambil mengawasi sikapku, apakah aku tertarik pada hal yang akan dikatakannya, sementara gurat kesedihan menggelayut di matanya . Sikapku masih menampakkan keheranan. Ya, bagaimana tidak heran. Baru saja kami bertemu. Belum saling berkenalan. Dia sudah bicara beberapa hal, dan kini akan menyampaikan satu hal yang dikatakannya penting sekali. Aneh. Dari mana dia, mengapa dia mau bicara padaku. Dari mana dia tahu aku pastor? Ah, tadi ketika kuperbaiki letak syal rupanya dia sempat melihat collar yang kukenakan…..

Dia bisa merasakan apa yang berkecamuk di pikiranku. Diulurkan tangannya padaku. Kami berjabat tangan. “Namaku Daniela. Aku tinggal di luar kota. Jauh dari sini. Aku mau bicara dengan Padre karena suara hatiku mengatakan bicaralah dengan orang ini, sejak aku melihat Padre setengah jam yang lalu. Apakah Padre tidak keberatan?” Aku masih diam.

“Betul Padre dari Indonesia?”

“Si, ya. Io sono indonesiano. Namaku Padre Nakfatu.”

“Nak-fa-to? Nama yang aneh. Apa artinya?”

“Ah, apalah arti sebuah nama. Bicaralah. Aku siap mendengarkan.”

“Baiklah. Betul Padre tidak keberatan?” Kujawab dengan senyum tanpa kata.

Aku memang tak bisa mengatakan tidak. Kubiarkan saja peristiwa ini mengalir dalam penyelenggaraan ilahi. Dia bicara banyak dan aku hanya diam mendengarkan dengan penuh perhatian. Begitu asyiknya kami sampai-sampai tidak menyadari orang-orang yang berseliweran. Aku memang larut dalam kisahnya. Begitu selesai bercerita, ia menghela nafas panjang dan menghembuskannya kuat-kuat. Seketika juga mengalirlah dari bola matanya yang kemilau titik-titik kristal bening. Tanpa kata kusodorkan tisu. “Grazie!” suaranya begitu lirih mengucap terima kasih. Ia mengusap air matanya, sementara aku diam merenungi semua yang barusan dikatakannya. Inilah hidup. Aku menangkap getaran kerinduannya yang terdalam untuk memaknai hidup kaya arti. Aku ingat, salib Kristus telah mengalahkan semuanya. Derita Salib menyertakan selalu rahmat Paska. Suaraku lirih terpatah-patah memberikan peneguhan padanya. Apalagi bahasa italiaku masih sempoyongan. Tapi dia mengerti apa yang aku katakan. Kami berpisah ketika mentari telah menggelincir ke barat. Aku pulang dengan tanya memberat di benak. Di kapela San Paolo, kuberlutut di depan si Manusia Tersalib, mempersembahkan semua yang kualami.

Dua bulan berlalu, selepas kuliah kusempatkan diri berjalan-jalan lagi di lapangan Santo Petrus sembari berharap kubertemu lagi dengan Daniela. Tapi dia tidak ada. Aku pulang, meringkuk diam dalam permenungan yang tak kunjung selesai tentang seseorang yang tiba-tiba muncul di hadapanku dan berlalu tanpa meninggalkan jejak. Betapa aneh hidup ini. Tiba-tiba telpon kamarku berdering. Suara sobat kentalku di seberang telpon. Dia bicara singkat saja, “Minggu besok, kau buat apa?”

“Tidak buat apa-apa. Tidak ke mana-mana juga. Ada apa?”

“Bisakah kau menggantikanku misa di Tre Fontane?”

“Certo, tentu saja, come no, mengapa tidak. Sudah hampir 4 bulan aku tidak pernah ke sana .”

“Grazie. Arrivederci, sampai jumpa. Ciao.”

Minggu. Matahari bersinar cerah. Tapi angin dingin seakan berlomba adu kekuatan. Dengan jaket tebal membungkus tubuhku yang rentan pilek kala dingin, aku menuju stasiun metro, kereta bawah tanah Cornelia, meluncur ke stasiun Termini, lalu berpindah kereta linea B menuju Laurentina, di mana terdapat santuario Tre Fontane. Menurut tradisi, di tempat inilah Santo Paulus dibunuh dengan cara dipenggal kepalanya. Kepala sang martir melenting tiga kali di tanah, dan di tempat lentingan itu muncullah 3 sumber air ini sehingga tempat ini disebut Tre Fontane.

Sebagian umat telah hadir. Ada juga satu dua peziarah dari luar Italia. Kudengar mereka berbicara dalam bahasa Inggris. Langsung aku ke Sakristi, mengenakan pakaian misa dan menuju altar. Dalam misa ini kuingin mendoakan Daniela yang entah sekarang berada di mana.

“Nel nome del Padre e del Figlio e dello Spirito Santo…” kubuka perayaan dengan tanda salib. Sambil mengucapkan “Il Signore sia con voi, Semoga Tuhan besertamu”, mataku mengitari seluruh umat yang hadir. Aku tersentak sejenak. Kulihat Daniela di bangku belakang bersama seorang lelaki dan 3 anak kecil. Sekilas aku tersenyum lalu mengucapkan kata pengantar singkat tentang tema perayaan. Dalam homili kupaparkan sekilas permenungan seputar penyelenggaraan ilahi, la provvidenza divina. Tuhan mengatur semuanya baik pada waktunya. Dalam salib ada sukacita paska. Dalam Ekaristi, si Manusia Tersalib yang telah begitu banyak menderita untuk kita, menunjukkan kasihNya sehabis-habisnya dengan memberikan Tubuh dan DarahNya menjadi santapan keselamatan bagi kita. Dalam salib, tak ada yang tidak bisa ditanggulangi. Salib Kristus tanda kemenangan. Berbahagialah orang yang berjalan bersama salib Kristus….

Usai misa, kubertemu Daniela dan keluarganya. Ia memperkenalkan suaminya, Luigi, serta ketiga anaknya Giovanni, Francesco dan Elena. Dalam waktu singkat, ketiga malaikat kecil ini telah menjadi sahabat akrabku. Mereka berceloteh rupa-rupa hal dan kutanggapi penuh perhatian. Si kecil Elena yang mungil-cantik dengan lidah cadelnya tak berhenti bertanya padaku dan kukatakan semua yang ditanyakannya seputar diriku. Daniela dan Luigi hanya bisa memandang sambil tersenyum.

“Padre, grazie tante, terima kasih banyak,” kata Daniela lirih dengan mata berkaca-kaca. Aku memandangnya dan berkata, “Berterimakasihlah pada Tuhan. Ia mengatur semuanya baik pada waktunya. Percayalah pada penyelenggaraan kasihNya.” Luigi terlihat diam merenungi sesuatu. Kutangkap gelombang kecamuk rasa dalam nubarinya. Bagaimanapun ia tengah menapaki perjalanan penemuan diri kembali. Kudoakan dia juga secara khusus. Aku percaya Roh Kudus akan membimbingnya. Paling tidak untuk saat kini, ia telah mengambil sebuah keputusan besar yang mengantarnya merayakan Ekaristi lagi setelah bertualang mencari kepastian makna hidup yang tidak ditemukannya di aneka tempat petualangan. La provvidenza divina……

“Kalau ada kesempatan, datanglah ke rumah kami. Luigi telah mendapat pekerjaannya kembali dan kami bisa menyewa apartemen di dekat sini.” Suara lirih Daniela itu mengandung kegembiraan dan kebanggaan atas suaminya yang telah berubah. Aku berjanji suatu hari nanti akan berkunjung ke rumah mereka.

Ketika mereka keluar dari Santuario ini dan pulang, aku memandang mereka dengan hati penuh syukur. Sebuah keluarga muda yang belajar memaknai hidup melalui pergulatan salib. Tuhan mengatur semuanya baik pada waktunya bagi mereka yang percaya kepadaNya…. Kuangkat tanganku dan kuberkati mereka. Masih sempat kudengar celoteh riang ketiga malaikat kecil, sahabat-sahabat cilikku yang baru, Giovanni, Francesco dan Elena.

Betapa indah penyelenggaraan Tuhan. Semua ini berawal dari SUATU HARI DI LAPANGAN SANTO PETRUS.***



Roma, Februari 2007

Rm. Sipri Senda

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Beta tunggu lu pung komentar di sini, danke...