Rabu, 02 Desember 2009

Name. Nama.

Apalah arti sebuah nama? Mungkin itulah kenapa aku harus menuliskannya dua kali.

22 Desember 1986, siang, beberapa jam setelah aku lahir, Ayah pergi ke kantor camat yang biasa mencatat dan menerbitkan akta kelahiran, untuk mendaftarkan putera kedelapannya. Aku. Christianto Senda. Sayang sekali karena kelupaan Ayah menyertakan kata ‘Dicky’ yang seharusnya mengawali kata Christianto dan Senda, begitu cerita Ibu kepadaku, sepuluh tahun lalu, saat aku di bangku SMP. Jadinya, tak ada kata ‘Dicky’ di akta kelahiranku.

Kelak, dua puluh tiga tahun kemudian, aku membaca lembar usang berwarna kuning tua, dengan tanda tangan Pieter Oematan, camat kotaku waktu itu, aku malah menyadari bahwa keluargaku lebih mengenal ‘Dicky’ ketimbang Christianto.

Nama adalah juga doa. Mungkin itulah kenapa aku harus menulis namaku ini dengan jelas, Christianto Senda. Ada beberapa dasar yang menjadi alasan kenapa harus Christianto bukan Petrus, Albertus atau Gaudensius, atau sekian banyak nama-nama baptis yang ada. Kata ibu, nama itu pemberian dari kakek, seorang pensiunan tentara KNIL di jaman Belanda menjajah Indonesia, seorang kakek kolot yang sangat kami cintai. Tak ada perkiraan ketika aku harus lahir di bulan Desember, dekat dengan hari Natal, Christmas. Tapi jika aku adalah putera kedelapan yang diwanti-wanti dokter Sonar (seorang dokter yang baik hati di kampungku) bahwa itu sudah terlalu cukup. Tak baik bagi wanita paruh baya untuk mengandung lagi, katanya. Padahal mungkin Ayahku ingin mempunyai anak lagi setelah aku. Soal ini aku bahkan belum sempat menanyakan itu lagi kepada beliau.

Chrsitianto. Christmas day. Yesus Kristus. Orang Kristen. Mungkin itu maknanya. Sedangkan pilihan akhiran ‘anto’ atau ‘to’ tak ubahnya adalah sebagai sebuha pertanda akhiran nama ala orang Jawa, suku Nenekku, isteri tercinta Kakekku. Sebuah penghormatan kecil untuk wanita Jawa kebanggaan kami. Wanita yang membiarkan dirinya jauh terasing selama puluhan tahun dari keluarganya, bahkan terlalu jauh. Mungkin hanya cinta kami yang selalu memenangkan hatinya.

Dicky. Apalah arti kata itu? Aku pun tak tahu. Mungkin saja nama itu terlalu keren untuk ukuran tahun 80an? Atau karena Ibuku begitu menggemari aktor kawakan Dicky Zulkarnaen? Untuk ini, juga belum aku tanyakan lebih lanjut. Entah ingin memulai dari mana. Ayah. Ibu. Atau kakal lelakiku yang waktu itu sedang menempuh tahun pertamanya di seminari, karena yang kutahu bertahun-tahun kemudian, ia selalu mengirimkan surat-surat dengan pertanyaan, ‘apa kabar Dicky kecil?’. Mungkin dia harus mempertanggungjawabkan hal itu. Apa aku harus menelponya sekarang? Oh, rasanya tidak dulu.

Terlalu biasa mungkin karena akhirnya kita selalu mengaminkan ungkapan ‘apalah arti sebuha nama’ padahal bahwa nama selalu punya cerita, selalu punya sejarahnya sendiri dan itu menarik untuk diketahui. Lantas sebagian orang menimpali dengan ungkapan lain, ‘nama adalah doa’ mungkin hanya untuk sekedar mendukung pernyataan aku tadi, nama adalah juga sejarah yang menarik untuk diketahui. Sehingga ketika aku harus memikul sekian banyak nama sapaan sepanjang hidupku, ah, tentulah menarik, minimal untuk diri saya sendiri. Aku menghargai sejarah. Aku menghargai proses. Aku dimata orang lain mungkin terlalu melebihi kekuatan diriku sendiri.

Kekuatan diri bahwa aku terlahir juga dengan nama ‘Adi’. Adi. Adik. Si adik bungsu. Si anak bontot. Aku selalu mengartikan demikian. Adi hanyalah sebuah panggilan kesayangan yang memang selamanya akan ‘kecil’ pasalnya nama ini sebatas untuk ‘kalangan sendiri’, kalangan keluarga saja. Ayahku bukan saja lupa menyertakan Dicky di akta, tetapi juga punya sejuta kebiasaan untuk memanggilku dengan nama yang berbeda-beda. Kadangkala aku harus menjadi Anto untuknya, Dicky atau Adi baginya. Tapi aku sangat hormat dan bangga padanya. Terlalu mudah untuk menggambarkan ketulusan dan keikhlasa hatinya. Kami anak-anaknya selalu dimenangkan hatinya, oleh beliau.

Singkat cerita, aku merantau, pergi jauh dari rumah, aku punya nama samaran khas ABG puber, Dickerzs. Hanya sebuah inisial untuk idealisme diri yang haus dinanti, haus digenggaman. Masih muda. Arti Dickerzs? Anda yang mengenalku akrab mungkin akan tertawa dengan ini: Dicky dan Iker, yah Iker Casilas, kiper kebanggan Real Madrid. Iker yang terlampau jauh berbeda denganku, namun seorang teman mengatakan itu padaku, yang membuatku merah padam. Masa sih? Seberapa mirip, yah semacam langit dan bumi miripnya, barangkali. Aku bahkan selalu memimpikan momen itu. Mungkin juga aku sedang dalam krisis identitas diri, saat itu. Itu di masa remaja. Sebuah pemakluman.

Pemakluman bagiku juga ketika teman-teman kampus dan kerjaku kemudian mengenalku sebagai Senda, bukan Chris, Anto, Adi, Dicky, Dickerzs apalagi Iker. Senda, sebuah nama keturunan. Marga, lebih tepatnya begitu. Sebuah warisan dari budaya patriarkhi orang Timor, kemenangan bagi seorang anak laki-laki untuk mendapat nama Ayahnya, untuk dirinya, untuk anak lelakinya, cucu lelakinya, dan seterusnya. Senda yang konon berasal dari sebuah kampung tempat suku-suku Ende-Lio, Flores, bermukim. Senda yang dikondisikan oleh perantauan untuk tak saling mengenal satu sama lain.

Kata Senda yang kemudian iseng aku cari di situs jejaring sosial Facebook. Ada banyak Senda, dari Afrika, dari Jepang, dari Jerman. Senda yang kata mereka adalah juga nama mereka, nama turunan dari nenek moyang lelaki mereka. Hmm. Tak sedikit juga Senda dari Flores yang aku temui, aku add dan saling berkomunikasi. Kami bahkan tak tahu harus memulai dari mana untuk merunutkan asal muasal marga Senda mengingat di Flores tidak sebaku di Timor, bahwa semua anak harus punya nama Ayah. Yang ada adalah kakak punya marga yang sama dengan kakek, adik punya marga yang sama dengan Om, atau kakek buyut atau nenek, macam-macam pokoknya. Aku bahkan sampai pada titik antara ‘apalah arti sebuah nama’ dan ‘nama adalah doa atau sejarah’, sekaligus. Sampai kemudian aku menemukan jawaban, nama lebih dari indentitas, nama adalah penghargaan seseorang akan hidup. Barangkali itu menurutku, tak tahu apa menurutmu.

***
23 Oktober 2008
Maria, sepupu dari Flores mengirim SMS, memintaku menamai anak lelaki pertamanya. Aku bahkan rela berletih-letih jongkok di rak buku nama-nama bayi di Gramedia dan dapatlah nama ini: Aryaputra Azarael, putra terhormat yang telah ditolong Allah. Entah marga apa yang meyertai nama yang kuberikan. Kelak, dia akan menjadi satu-satunya anak dari perkampungan di Flores yang mempunyai nama terlalu asing itu, bahkan tak ada tipikal nama baptis ala orang Flores sedikitpun. Tanpa Paulus. Nikodemus. Agustinus.

Putra. Semoga dia pun bisa menghargai hidupnya sendiri, bahkan hanya oleh namanya. Aku yakin itu.


Kaliurang, 26 November 2009.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Beta tunggu lu pung komentar di sini, danke...