Jumat, 18 September 2009

Warung Tegal dan STEREOTIP GENDER

(untuk CERAH HATI @ http://naked-timor.blogspot.com, mohon maaf tulisan ini ditulis langsung psting tanpa diedit so mohon maaf kalau terganggu karena ada banyak cacat katanya he he)

19.35 WIB. Lokasi: lesehan warteg 12 Bakul Bumijo.
Menunggu ayam goreng dihidangkan. Sendiri. Diam. Merasa. Sementara imajinasi terus menjalar kemana-mana, menelusup lorong dengan seribu pertanyaan di dindingnya atau hanya menemukan pernyataan mengiang: kau seharusnya mengingat setiap 'insight'mu lalu menumpahkan sebagai sebuah tulisan. Lorongmu tak boleh dibiasakan tersumbat.


Marilah merasa. Mulailah bernalar. Lalu teriakan itu lewat corong penamu! Supaya gak akan lupa, tulis saja kalimat kucinya di HP lalu kau tulislah nanti ketika sudah sampai di kos (*andai aku punya netbook mini yang bisa ditenteng kemana-mana...*).

19.45 WIB makanan belum terhidangkan. Pikiran melayang kemana-mana. Andai ada bolpen dan kertas didepan sini kayaknya sudah ada banyak yang harus ditulis (saya lupa bawa buku notes kecil di tas seperti biasanya, red).

Tiba-tiba terpikirkan untuk menulis tentang tragedi berdarah di Gulun Salam Magelang hari Selasa (15/9/2009) lalu, rencana perampokan duit 2M berbuntut kematian 2 pembawa dan 1 polisi pengawal uang tadi. Terkaitkan juga ini pikiran dengan film No cOUNTRY For oLD MEN.

Masih di warteg 12 Bakul Bumijo. Tiba-tiba pikiran dan mata saya kompakan berhenti pada suatu objek: mas-mas bertiga yang sibuk menyiapkan pesanan saya. Sangat telaten nyiapin es jeruk, menggoreng ayam, nyiapin nasi dan lalapannya sekaligus nyiapin pesanan seorang bapak yang menunggu di mobilnya. Yang terpikirkan: Pria. Memasak. Dapur. Memasak dalam kultur patriakhis berstereotip feminin, pekerjaan wanita, pekerjaan rumahan, bukan area 'kekuasaan' laki-laki.


Saya mulai mengaitkan dengan mas-mas penjual makanan lainya. Ke warung BURJO yang hampir 100% pengusahanya berasal dari Kuningan Jabar. Atau Warung makan ala orang Tegal yang bukan lagi monopoli orang Tegal saja. Atau angkringan. Semuanya yang mencolok adalah pria/laki-lak sebagai pekerja utamanya! Sebagai pemasak dan pelayan yang ramah tamah.

Pikiran melayang jauh: 'di Bali, kaum pria punya kedudukan istimewa sebagai tukang masak ketimbang wanita.'

Namun, tidak mungkin untuk sebagian daerah lain.

Teringat dulu ketika bersekolah di Ende dan suatu saat melewatkan liburan di kampung ayah di perbatasan MAUMERE - ENDE. Suatu sore saya iseng turun ke dapur, bercengkrama dengan tante saya yang sedang masak dan mulai terpikirkan untuk memasak sendiri makanan kesukaan. Saya juga tahu sekian kali saya kesana BAHWA tak pernah melihat laki-laki memasak, atau menemani perempuan memasak atau makan di dapur, jarang dan belum pernah saya lihat. Dan ketika om saya mengetahui saya memasak sontak raut mukanya berubah sangat tidak nyaman, kaget dan menegur dengan suara agak meninggi, 'hai, kau aji (adik, red), kenapa lagi disitu. AIH, lepas sudah itu. jangan. jangan!!

Saya cuma bisa bengong dan berlalu dengan diam. Aneh sekali rasanya waktu itu.

Teringat suasana di rumah. Suka makan, terbiasa dibukin makanan enak dan gak jarang juga untuk semua bisa dan sangat boleh terjun ke dapur, MEMASAK! Saya bahkan sering sekali melihat bapak saya memasak atau menemani mama saya memasak dengan begitu perhatiannya.

Oh, itulah stereorip gender. Aturan sosial yang dibuat manusia bukan yang langsung turun dari SURGA. Artinya bisa terjadi bahwa aturan sosial di setiap kelompok masyarakat atau per individu berbeda-beda.

20. 25 WIB waktunya pulang. Entah karena kebetulan, dimulut gang menuju kos, saya embali lagi berpapasan dengan sesuatu yang sepertinya tidak asing lagi di benak saya. SEORANG BAPAK sedang menggendong balitanya dengan kain batik sambil menyuapinya dengan bubur dan kakak perempuan yang kira-kira berusia 5 tahun terus mengamit paha sang Ayah.


Jadi ingat proposal skripsi saya tentang 'gender role conflict of men's...' (dari O'Neill) terutama pada kaum pria yang terlibat dalam kegiatan rumah tangga/domestik, apakah ada konflik-konflik psikologis tertentu? mengingat di luar sana pengaruh budaya patriarkhi di masyakat masih kuat. Sejauh mana si pria mampu meyakinkan dirinya untuk menghindar konflik psikologis berkaitan dengan peran gender juga stereotip gender dari masyarakat sekitarnya?


Jogja, 17 September 2009

1 komentar:

  1. saya tak merasakan beban gender apapun ketika menemani ibu memasak di rumah--sesuatu yang selalu saya lakukan tiap kali mudik. atau menyapu dan mengepel rumah, bercanda dengan bayi kami yang berumur 3 bulan. atau mengupaskan mangga untuk istri yang sedang mencuci piring.

    salam blogger,
    masmpep.wordpress.com

    BalasHapus

Beta tunggu lu pung komentar di sini, danke...