Selasa, 22 September 2009

Inside Mollo Utara: Kapan Kota Multikultural!

Kapan, ibu kota kecamatan Mollo Utara. Saya tidak tahu sejarah yang pasti tentang keberadaan kota kecil nan sejuk ini awalnya dulu. Kapan yang saya tahu adalah kota yang sangat dingin dan berkabut pada musimnya, juga kering kerontang sulit air. Semua pada musimnya: jeruk, sayur mayur, bawang putih berlimpah, labu siam/labu jepang dimana-mana.

Kapan yang saya tahu adalah kota kecil dengan beragam macam orang dengan suku dan latar budaya yang berbeda. Saya tahu bahwa sejak dulu para misionaris Gereja yang membawahi pendidikan sekaligus membawa para guru-guru dari kabupaten TTU, BELU dan Flores untuk datang kesana, jadilah ada orang-orang Belu, TTU dan Flores di Kapan.

Hal yang sama untuk sama saudara dari tanah Sabu atau Rote. Konon mereka adalah kaum 'papalele' atau pedagang sejati yang mencoba mencari peruntungan ke Kapan yang melimpah hasil alamnya. Nenek dan kakek saya pernah bilang, sejak tahun 50 -60an mereka sudah membuka usaha warung nasi (karena nenek saya asli Jawa makan sudah dipastikan jago masak he he he). Dan banyak sekali papalele bersuku Sabu atau Rote dari Kota Kupang mampir ke Kapan. Mereka yang kemudian menetap dan membentuk warna tersendiri bagi Kota Kapan. Mereka yang kini membentuk suatu komunitas besar dan memiliki peranan besar dalam percaturan ekonimi lokal di Kapan, di Kampung Sabu, dimana Pasar Barunya Kapan berada.

Di Kapan pula, entah sejak 'kapan', kaum beretnis Tionghoa pertama kali datang. Mereka mungkin sudah jauh-jauh hari ada mendahului saudara-saudara dari Flores, TTU, Belu, Bugis, Sabu atau Rote? Entahlah. Saya belum mengetahui catatan sejarah mereka. Namun yang pasti mereka sendiri pun sudah menentukan warna menarik dari kota kecil ini. Maka lahirlah sebutan 'KAMPUNG CINA' tempat sebagian besar mereka menetap. Sudah lama sekali. Mereka juga adalah pedadang2 sejati. Mereka juga yang kini bukan Tionghoa murni karena keputusan bijak mereka juga untuk menikahi orang-orang pribumi (yang kata ibu saya, adalah para 'CINA TOTO').

Saya tak tahu sejarah datangnya para pedagang ulet dari tanah Bugis ke Kapan, namun yang saya tahu kini adalah mereka yang orang Kapan kenal sebagai 'paman' dan 'bibi' adalah para pedangang sejati yang mampu menerobos ke pasar-pasar tradisional di segala penjuru Mollo Utara.

Hal yang tak boleh dilupakan juga buat para sesepuh semacam Opa Kebang yang asli Alor, ahh masih banyak lagi. Termasuk (mungkin) bapak saya juga, anak Flores asli yang memutuskan berkarya sebagai polisi muda di Kapan, dulu. Hingga kini. Hingga nanti.

Hal menarik tentang Kapan jugalah yang sudah dirajut nenek dan kakek tercinta saya yang bermarga Kamlasi (Kamlasi yang sejatinya juga adalah pendatang dari tanah Amanatun, ksatria yang punya misi khusus menghantarkan seorang rakyat dari kerajaan Mollo yang berkuasa pada waktu itu. Ksatria yang kemudian menikah dan memilih untuk menetap di tanah Mollo, menjadi bagian dari Mollo dan penentu generasi-generasi berikutnya, generasi Kamlasi, termasuk saya didalamnya, thanks Jesus!).

Nenek saya adalah pendatang dari tanah Jawa. Di Kapan, nenek Kamlasi pernah dikenal sebagai pedagang nasi di Pasar Lama kini (rumahnya disamping kali kecil antara rumah pak Sipa dan rumah Bibi Bandri juga Pak Lola), pernah juga tinggal di tanah yang kini ditempati nenek Ana, depan bibi Bandri, samping om Taosu). Lalu dikenal juga sebagai dukun beranak, jago urut anak-anak, jago meracik obat, semuanya. Keberadaan nenek yang kemudian juga mampu merangkul banyak pegawai BRI (dulu) dari tanah Jawa misalnya mbak Dewi, Om Latif (yang kini sudah sukses di BRI SoE). Ada banyak sekali. Nenek Kamlasi juga dikenal dekat sekali dengan orang-orang Bugis di Pasar Lama. Kedekatan inilah yang kemudian menumbuhkan sekian banyak memori manis yang menjadi insprirasi saya untuk menulis catatan kecil ini.

Hal yang menarik jika selama bulan Puasa, orang-orang Bugis yang notabene adalah kaum muslim sering mengirim makanan berbuka puasa ke rumah nenek (dan saya juga sering kebagian makanan itu tentunya). Atau disaan Idul Fitri datang, banyak makanan mengalir ke rumah nenek. Lontong, Opor, boras, hingga es pisang ijo khas Makassar.

Kenangan ini tentunya bukan menjadi monopoli keluarga saya semata. Saya yakin sekali semua warga Kapan pun mengalami hal yang sama.

Saat idul Fitri orang Kapan yang Nasrani tak segan berkunjung ke rumah mereka yang muslim. Begitupun saat Natal. Tradisi unik, setiap kali ada hajatan di keluarga Kristen maka wajib hukumnya untuk menyiapkan tempat memasak khusus untuk paman dan bibi yang muslim, mereka sendiri pula yang mengolahnya. Ini unik dan mungkin hanya ada di Kapan.

Sayang sekali kerukunan ini sempat tercoreng saat tahun 1998an saya kira. Saat itu masih SD. Ketika perang antara agama berkecamuk di Ambon, di Kupang, dimana-mana...tak terkecuali di Kapan. Sasarannya sudah pasti: mereka yang notabene kaum minoritas lagi MUSLIM pula di Kapan, orang-orang Bugis yang budiman itu! Kios dan rumah mereka hancur. Banyak dijarah. Saya ingat sekali saat itu banyak yang mengungsi ke rumah-rumah sesama saudara yang Kristen, tak terkecuali di rumah nenek saya.

Saya pun yakin waktu itu yang bertindak anarkis justru orang-orang luar Kapan yang datang mengacaubalaukan kota Kapan, bukan orang Kapan sendiri. Kebersamaan kita puluhan tahun sepertinya tidak mudah untuk digoyakhkan oleh semangat sempit, picik, nan bejat dan tak bermoral itu. Emosi sesaat yang bobrok!

Saat utu benar-benar kesetiaan, kepercayaan, saling hormat menghormati antara orang Kapan sendiri sedang diuji berat! Dan kita membuktikan itu kita bisa memenangkannya. Buktinya, kaum minoritas Bugis masih bertahan hingga kini di Kapan, berada bersama membangun Kapan.

KAPAN, kota yang sudah memanggil kumpulan para pedangang, guru, penginjil, kaum pekerja hebat untuk datang, lalu menetap dan kini merasa saling memiliki melengkapi sebagai satu keluarga besar, sama saudara. Terima kasih FACEBOOK, lewat media ini ternyata saya bisa juga menjaring semua teman dan saudara dari Kapan, berharap mulai bisa menyusun simpul-simpul yang lebih bermakna dari sebuah pertemuan kembali-persaudaraan, menjadi suatu komunitas yang kelak semoga bisa bermanfaat bagi kejayaan Kapan. Bersama kita bisa saudara/i...Lakukan apa saja sebisa mungkin yang kau punyai, berharap itu bisa juga memberikan kontribusi positif buat kota tercinta kita ini...Jaya terus KAPAN!

(*saya tungu cerita teman-teman sekalian tentang Kapan, disini...sambil terus kita rajut tali persaudraan demi kemajuan Kapan tercinta.*)

Jogjakarta, 22 September 2009
Christianto Dicky Senda/mahasiswa Fakultas Psikologi Univ. Mercu Buana, orang Kapan sejati!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Beta tunggu lu pung komentar di sini, danke...