Selasa, 15 September 2009

The Final Destination: Merunutkan Kembali 'Pecahan' Cerita dibalik Kematian?

Saya bilang ke beberapa teman saya jika saya mau nonton film The Final Destination (yang sedang menduduki posisi puncak di Box Office Amerika minggu ini). Dan mereka seolah seremak menjawab: hati-hati ada banya darah. akan ketemu banyak daging dan darah tumpah ruah dimana-mana. atau 'biasa aja tuh film' atau 'aihh...nanggung banget, masa iya semua pemerannya mati di ending?' atau 'bro, lebih keren secara teknis dari Star Trek (bukankah beda genre?) atau 'siap-siap parno dengan kematian'(om saya di Magelang bernama Parno...yeee apa urusannya coba he he) atau ' jelek ahhh, mending nonton Star Trek!'.

Weleh-weleh belum nonton aja, saya sudah 'parno' duluan dengan begitu bajibunnya komentar atau reaksi teman-teman yang sudah duluan nonton (atau mungkin belu nonton tapi dah komen duluan seolah sudah nonton, ahhh Tuhanlah yang tahu itu semua).

Bebebrapa kali gagal akhirnya kemaren saya benar-benar berada di depan rentetan adegan thriller ala Hollywood. Tapi sungguh saya merasa bahwa kok film ORPHAN yang saya tonton berapa hari lalu lebih sukses mengagetkan saya secara tiba-tiba tanpa permisi ketimbang film FD ini? (*ohh, tunggu dulu, kedua film itu masing2 punya kelebihan, kalo ORPHAN sih karena thriller pikologi, ada banya cerita yang memang bertumpu pada fakta dibungkus dengan sedikit drama, pada ilmu pengetahuan-soal penyakit langka, dunia psikopatnya, dsb sedangkan FD ini mungkin thriller yang bertumpu pada dunia metafisik yang dibungkus teknis/efek visualisasi yang apik sebagai landasan ceritanya, so akan banyak keraguan buat kita orang-orang awam, masa sih, masa sih?)

Oya, ini penilaianku secara subjektif. So, yang sepakat atau gak sepakat dengan kata-kata saya gak usah marah-marah yah he he....kalo komplain boleh tapi gak sok merasa paling benar aja (saya pun harus demikian), so bacalah saja dan sadarilah bahwa yang namanya subjektifitas itu tidak mengenal kata BENAR ATAU SALAH tapi lebih mengenal SEMUA BENAR ADANYA tergantun dari sudut pandang aman kita melihat, dari kacamata siapa?

The Final Destination yang saya pahami adalah menggambarkan dan terus menegaskan ke penonton ' ini lho sejuta kemungkinan yang mungkin, bisa dan biasa mengiringi kematian seseorang. Ada banyak proses yang saling terkait di detik atau menit terakhir menjelang kematian.' Proses kematian yang melibatkan hal-hal sepele atau terlalu sepele (kalau tidak ingin menulis-membacanya sebagai 'terlalu lebayyy' ha ha aheee). Karena selama ini gambaran mental kita adalah MATI karena bunuh diri atau ketabrak mobil tapi pernahkan kita mengulik lebih detail, apa yang terjadi 5 atau 10 menit sebelum si A tertabrak? baik dari sisi si A sendiri atau dari sisi si sopir yang menabrak si A? Ternyata FD punya interpretasi sendiri dalam menggambarkan proses kemarian, bahwa sebatang paku saja bisa mengakibatkan kecelakaan mobil beruntun di arena balap yang memicu kematian ratusan penoton di tribun? atau ulah iseng sang anak main lempar-lemparan batu ke arah taman disaat yang sama seorang bapak sedang memotong rumput dengan mesin, dan tidak ada yang menduga sebelumnya bahwa mesin pemotong rumput akan mengenai batu itu kemudian akan membunuh ibu dari anak-anak 'nakal' tadi?

Hal-hal seperti inilah yang kemudian dianggap kita ahh berlebihan. Berlebihan karena kita tidak terbiasa mengikuti jejak proses kematian seseorang secara detail. Mungkin hanya secara metafisik bagi orang-orang yang punya pengetahuan khsususlha yang bisa mengerti lebih detail soal itu karena mereka selalu disuguhkan yang detail-detail itu. Ini karena kita terbiasa dengan yang kasat mata saja. Bukankah begitu?

Meski secara cerita ini mungkin sudah terlalu basi. Tapi menarik bahwa dibeberapa adegan 'kerumitan proses kematian' itu membuat saya kecele, misalnya ketika kematian si ibu di salon bukan karena kipas yang jatuh atau tabung aerosol yang panas kena alat catok atau si pemotong rumput yang merokok sambil memegang bensin (meski itu secara detil di ulang-ulang sutradara) ternyata bukan itu penyebab utamanya, kembali lagi ke batu! batu yang dipakai anak-anak ibu itu untuk bercanda.

Kedua, ada pertanyaan saya di ending (semoga saya salah bertanya), tentang ending: ketiga-tiganya mati. Pemeran utamanya juga. Benar-benar The Final Destination deh. Menurut saya, Nick (Boby Campo) yang sebelumnya sudah terbiasa memecahkan masalah seputar kematian kok bisa 'membiarkan' kematiannya di akhir film? ketika ada adegan ia melewati para pekerja bangunan menuju cafe dan sudah mendapatkan 'tanda' itu, tapi kok dibiarkan saja, sampai 'tanda' itu benar-benar membunuh dirinya, Lori pacarnya dan Janet di Cafe itu? Hmm...terlalu hollywood mungkin.

Apapun itu seuai taglinenya 'ret in pieces' - beristirahatlah dalam pecahan, makan mungkin hal utama yang harus tetap ditonjolkan adalah kematian dengan 'pecahan-pecahan' tubuh atau dengan teknik ala foto rontgen (maaf sekali saya bukan orang film jadi sok aja he he he), maksudnya dengan gambaran mirip foto rontgen - menonjolkan tubuh yang remuk atau kemasukan benda-benda asing, sehingga kematian2 tragis itu tak ubahnya seperti pecahan kaca, tubuh (tulang dah daging) yang pecah dengan aneh.


Lebih dari itu, saya juga mau bilang, saya tergolong telat mengikuti perkembangan film-film Thriller, so mungkin banyak ungkapan saya diatas sungguh dan sangat-sangat tidak beralasa atau berdasar he he...

Jogjakarta, 15 September 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Beta tunggu lu pung komentar di sini, danke...