Selasa, 29 September 2009

CROSSING OVER: Jalan Menuju Status Yang Legal

Menonton film Crossing Over saya langsung teringat akan film Babel(karya Alejandro González Iñárritu) yang menurut saya keren sekali. Mungkin kesamaanya adalah keduanya punya satu benang merah yang jelas yang menyatukan beberapa kejadian unik di beberapa kota di belahan dunia yang berbeda(Babel) atau beberapa tokoh dan kejadian berbeda dalam satu negara (Crossing Over) yang pada akhir film kita bisa melihat bagaimana runtutan cerita itu bisa saling kait mengait. Malah di Crossing Over, konfliknya lebih kompleks dari Babel. Tapi tetaplah secara teknis, gaya bercerita dan akting pemain, eksekusi ala Alejandro terasa lebih memikat hati saya.

Crossing Over, yang bercerita tentang Max Brogan (Harrison Ford), agen Imigrasi dan Pabean (ICE), yang selalu bersimpati pada imigran gelap dan dideportasi. Mitra kerjanya yang keturunan Iran-Amerika, Hamid (Cliff Curtis.- akting yang lumayan keren Bung Cliff!) sedang menantikan naturalisasi ayahnya. Saat keduanya melakukan tugas rutin kepada para immigran gelap, kisah lainnya mengangkat cerita tentang seorang pengacara (Ashley Judd) sedang membantu sebuah keluarga mengadopsi seorang anak yatim piatu dan menangani deportasi satu keluarga dimana anak mereka yang berusia 15 tahun dituduh terkait dengan teroris; seorang pemuda Yahudi (Jim Sturgess) mencoba menyelamatkan pekerjaannya; dan Cole Frankel (Ray Liotta) menggunakan jabatannya - pengawas persetujuan kartu hijau – untuk membantu seorang model cantik asal Australia (Alice Eve) untuk menduduki beberapa jabatan penting.

Menarik bagi saya adalah film ini lumayan berhasil menunjukkan sisi HUMANISnya. Ini tentang warga imigran, mereka yang kebayakan datang dari negara-negara 'dunia ketiga, dunia yang menurut saya adalah ulah politik dan ekonomis Amerika juga. Saya jadi ingat belakangan ini Indonesia menjadi jalur imigran gelap dari Afganistan atau negara-negara yang miskin dan sedang dilanda peperangan, menuju ke Australia yang diyakini mereka bisa membawa perubahan buat masa depan mereka yang selalu dihantui teror perang suku, perang antar negara, perang kepentingan elit politik, perang ekonomi!

Kita bisa melihat juga bagaimana Amerika tidak saya berhasil membuat ketimpangan di belahan dunia lain dengan kebijakan-kebijakannya, disisi lain pengokohan diri mereka sebagai bangsa besar, maju dan sejahtera malah mendorong orang-orang dari banyak negara (tak terkecuali negara-negara dunia ketiga tadi) untuk datang ke Amerika mencoba peruntungan baru. Inilah yang menurut saya awal mula ketimpangan dimulai. Sama halnya ketika saya melihat masalah DKI Jakarta pasca Lebaran, pendatang-pendatang ilegal banyak sekali, mencoba mencari peruntungan baru di Jakarta. Sebenarnya yang bermasalah kan adalah kebijakan pemerintah dalam pembangunan yang sejak dulu tidak merata, timpang disana sini!

Menarik lainnya dalah isu terorisme dan imigran-imigran muslim dari Timur Tengah. Bagaimana perlakuan pemerintah AS kepada mereka pasca tragedi 9/11. 'Sangat paranoid!' kata Denise Frangkal pengacara para imigran gelap ketik menangani kasus keluarga Naila Azad.

Itu adalah konflik-konflik eksternal yang dialami para imigran AS. Ada juga konflik internal yang menarik, misalnya konslik antar kakak beradik dalam satu keluarga, karena ada perbedaan status, ada ayah dan kakak yang menunggu naturalisasi/pengakuan resmi dari pemerintah AS untuk menjadi warga negara sah namun disisi lain sudah ada adik-adik yang karena lahir di AS secara langsung sudah mendapatkan hak sipilnya sebagai warga negara AS. Bagaimana ada kecemburuan sosial antar anggota keluarga (Adegan Farid yang belum ternaturalisasi menembak mati adik kandungnya Zahra yang notabene lahir di AS), ada perpisahan antar anggota keluarga (keluarga Naila, imigran Pakistan), ada kecemburuan sosial antar sesama etnis (adegan aksi penyerangan sekelompok remaja korea yang belum ternaturaliasi ke Korean Town tempat para warga Korea yang sudah ternaturalisasi tinggal. Konflik lainnya, impian menjadi artis Hollywood mendorong seorang wanita Australia rela tidur dengan seorang oknum pejabat Imigrasi atau rela mengurus green card palsu. Atau jalan pintas kongkalikong antara pemudia Yahudi, Gavin (Jim Sturgess - Jude dalam Across teh Universe) dengan seorang Rabi di depan seorang petugas imigrasi untuk mendapat green card. Kompleks.

Saya suka akting Cliff Curtis yang dilematis, punya keluarga yang terpecah belah karena sebuah status 'sudah dinaturalisasi atau belum' disaat yang bersamaan ia adalah seorang agen imigrasi yang sehari-hari mengurus para imigran gelap, padahal adik dan ayahnya belum sah sebagai warga negara AS! Adegan menyentuh ketika ia terperangkap dalam aksi tembak penembak di Korean Town, meyakinkan kebimbangan remaja muda Korea (Yong Kim, diperankan Justin Chon) yang sedang menanti karena sulit mendapatkan naturalisasi sedangkan disisi lain banyak orang Korea yang lain dengan mudahnya mendapat pengakuan itu. Kebimbangan dan ketidakpercayaan pada birokrasi yang mendorong ia terlibat tindakan ala teroris.

Pada akhirnya, menurut saya CO adalah film drama yang secara tema menarik, tapi kurang menggigit daripada Babel. Crossing Over adalah soal imigran gelap. kebijakan Amerika yang dianalogikan dengan jalanan: jalan tol yang bebas hambatan, jalan layang yang saling tumpang tindih, jalan potong/pintas, jalan tikus, jalanan macet (sebagaimana yang sering digambarkan dalam film). JALAN. Jalan yang menuju pada harapan akan kehidupan yang lebih baik tentunya dengan banyak konsekuensi dan pengorbanan sendiri-sendiri. Selamat menonton.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Beta tunggu lu pung komentar di sini, danke...