Jumat, 02 Oktober 2009

Ketika Anak Suka Memegang 'Titit'nya...

Suatu siang yang terik di ruangan day care yang dingin karena ber-AC. Di sudut sana ada Aretha, murid Baby Class sedang bermain. Sendirian.
Tiba-tiba seorang ibu, orang tua dari salah seorang murid di sekolah tempat saya bekerja datang dan memberi pertanyaan terbaiknya yang membuat saya kaget, tertantang untuk secepat kilat menjawab pertanyaan itu.

Katanya, 'pak, Senda, anak saya itu, 'M' kok suka megang 'titit'nya yah.

'Maaf, Ma, maksudnya? (mama, red. kami terbiasa memanggil kebayakan orang tua murid dengan sebutan 'papa' dan 'mama'). Saya bertanya lagi karena kurang mendengar kata terakhir yang kemudian ditegaskan lagi oleh sang mama sebagai 'titit'. Ahh, yang beliau maksudkan adalah penis, sebut saja begitu pikir saya dalam hati. Tapi sudahlah yang penting saya tahu maksudnya.

'Oh, itu Ma, sebenarnya hal tersebut umum dan kebanyakan terjadi pada anak-anak atau dalam tahap perkembangan psikoseksualnya, kalau yang saya tahu sih begitu.''

Artinya, dalam ilmu psikologi anak sedang dalam tahap phallic. Tentang phalis ini memang banyak dibahas dalam aliran psikologi : psikoanalisis, salah satu tokoh terkenalnya adalah Sigmund Freud.


'Tahap dimana anak mendapat kepuasan seksual (jadi jangan salah bahwa konsep psikoseksual itu monopoli orang dewasa saja), hanya karena pehamaman mereka masih belum sekompleks orangd dewasa sehingga hal tersebut lebih banyak terjadi adalah sebagai sebuah proses 'bekerjanya alam bawah sadar semata tanpa mereka sadari apa itu sebenarnya...yang penting adalah 'mereka merasa nyaman dan nikmat karenanya. itu saja'.

'Hanya saja, yang akan menjadi masalah jika anak memegang penisnya dalam keadaan tangan yang kotor atau jari-jarinya yang kemungkinana menyebabkan lecet pada permukaan kulit penis. Dan itu semua akan mengganggu kesehatan alat kelamin anak. Itu soal fisik. Kalau berkaitan dengan psikologis, karena yang bekerja itu 'alam bawah sadar' maka tindakan yang mungkin teapt bagi orang tua adalah mengalihkan perhatian anak dari keasyikannya dengan 'alam bawah sadar' ke 'KESADARAN' seutuhnya.

Misalnya, 'Dek, ayo kita cuci tangan yuuukk, kan tadi habis bermain, pasti tangannya kotor' atau 'sekarang waktunya makan, kita bersihin tanagnnya yuuuk..'' atau ada banyak cara untuk mengalihkan hal tersebut, tanpa bertanya ke anak 'Dek, kamu ngapain e dengan tititmu?'. Pasti yang ada adalah reaksi bingung dari anak. Percaya deh, anak tidak akan mengerti itu, lha yang terjadi adalah alam bawah sadar yang juga tidak dimengerti anak kok ditanyain sih? he he...

Sederhana saja. Bukannya membiarkan, membenarkan atau melarang anak atas perilaku itu tapi biarkan sesuatu hal bukan saja berjalan alamiah bagi dirinya tetapi juga tidak membahayakan kesehatannya, tidak mengganggu aktivitas bermainnya atau keceriannya sebagai anak-anak, selama itu semua terpenuhi baik, tak akan ada masalah kok. Jawabana saya tadi pun adalah referensi yang saya tahu dari aliran psikologi Psikoanalisis yang notabene juga mengalami ketidaksetujuan dari aliran-aliran lain dalam ilmu psikologi itu sendiri. Artinya bahwa aliran psikoanalisis percaya dengan salah satu tahap enting bagi psikoseksual anak yang bernama fase 'phallic' itu, yang 'keberhasilan' menempuh tahap tersebut akan mempengaruhi tahap-tahap selanjutnya sehingga membentuk satu ekutuhan kepribadian seorang anak manusia.

Jadi boleh percaya boleh tidak, ini hanya referensi saja. Ilmu pengetahuan sekelas psikologi dan cabangnya psikoanalisa pun pasti ada kelebihan dan kekurangannya.


Jogja, 27 September 2009
Christian Senda/ Magang Konselor anak di Anak Prima Jogjakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Beta tunggu lu pung komentar di sini, danke...