Selasa, 11 Agustus 2009

SEMALAM DI SAN GIOVANNI ROTONDO

(catatan perjalanan Sipri Senda)

Harapan yang terkabul

Sudah lama saya bertanya-tanya pada diri sendiri, kapan saya bisa berkunjung ke San Giovanni Rotondo? Sementara berpikir tentang kemungkinan ke sana, tiba-tiba teman saya Kevin Anak Chundi dari Malaysia menanyakan, apakah mau ikut bersamanya ke San Giovanni Rotondo. Diapun mengatakan bahwa tiket dan penginapan semalam di sana ditanggungnya. Tentu saja tawaran menarik ini tidak disia-siakan. Oke, langsung kami sepakat, tanggal 7-8 Desember 2008. Harapanku akhirnya terkabul, bisa ke makam Padre Pio. Tidak disangka-sangka mendapat tawaran gratis seperti itu. Ah, Tuhan memang baik. Padre Pio memang baik. Rm. Kevin memang baik. Selalu saya refleksikan dalam perspektif iman bahwa Tuhan mengatur semuanya baik pada waktunya. Saya percaya pada penyelenggaraan ilahi, provvidenza divina.



Perjalanan yang lancar

Setelah menulis surat keterangan ke rektor tentang rencana keluar dari collegio selama dua hari, kami berangkat ke Termini. Kami berdua baru pertama kali ke San Giovanni Rotondo. Sama-sama tidak tahu tentang rute perjalanan, tapi kami bermodalkan mulut untuk bertanya. Semua orang yang kami tanyai selalu memberi penjelasan dengan senang hati, tentang di mana kami harus turun, dengan bus mana kami harus menumpang untuk sampai ke tempat tujuan. Saya renungkan pepatah lama yang mengatakan malu bertanya sesat di jalan. Memang benar adanya. Hari ini kami tidak malu bertanya, dan syukurlah, semua berjalan lancar, tidak tersesat sedikitpun. Bahkan ketika tiba, kami tidak tahu di mana letak hotel yang telah dipesan Kevin. Seorang anak muda yang kami tanyai menjawab, dia tahu letaknya, tapi karena tidak ada bus umum yang lewat dekat hotel itu, dia menawarkan diri mengantar kami ke sana karena kebetulan dia mau kembali ke rumahnya dan akan lewat hotel itu. Tentu saja tawaran berahmat ini tidak kami tolak. Semula kami berpikir akan membayar ongkos tumpangan seperti taksi. Ternyata dia mengatakan tidak perlu bayar, karena dia hanya bermaksud menolong, bukan mencari uang. Saya tercengang sekaligus terkesan dengan sikapnya. Sungguh berbeda dengan orang muda lainnya. Apakah ini berkat pengaruh kharisma Padre Pio yang memancarkan kebaikan kepada sesama? Entahlah. Namun jelas bahwa orang suci ini telah mewariskan kesaksian iman dan kasih kristiani yang kuat.



Tomba Padre Pio

Setelah check in di hotel, kami bersiap-siap ke santuario. Syukurlah kali ini pihak hotel mempersiapkan bus khusus yang mengantar para peziarah yang menginap di hotel ini. Kebanyakan peziarah yang lain berasal dari Italia. Ada juga yang berbicara bahasa Inggris, maka Kevin berbincang-bincang dengan mereka. Ternyata mereka orang Italia yang bermigrasi ke Amerika Serikat. Sekarang mereka lagi mudik ke tanah kelahiran dan sekalian berkesempatan berziarah ke santuario Padre Pio. Jadilah kami bersama-sama ke Santuario. Tomba Padre Pio masih dibuka untuk umum. Maka kami masuk bersama rombongan lainnya. Banyak sekali peziarah. Jenazah Padre Pio masih utuh di dalam peti kaca transparan. Kelihatan seperti sedang tidur nyenyak. Sudah puluhan tahun meninggal tapi jenazahnya tidak rusak. Memang betul-betul orang suci. Betapa banyak cerita tentang mujizat yang dilakukan Tuhan melalui doa hambaNya Padre Pio yang kudus. Saya teringat juga tentang kisah bilokasi yang dialami Padre Pio, juga tentang pertemuannya dengan Paus Yohanes Paulus II, yang ketika itu masih sebagai imam studen teologi di Roma. Ketika itu Padre Pio berkata kepada pastor Karol Wojtyla bahwa dia akan menjadi paus kelak. Ternyata memang kemudian pastor asal Polandia itu terpilih menjadi paus tahun 1978 dan menggunakan nama Yohanes Paulus II. Di ruang lain, tersimpan dan terawat dengan baik barang-barang peninggalan Padre Pio. Semuanya memberi kesaksian tentang kehidupannya yang penuh dengan doa dan matiraga yang berkanjang. Kamarnya kecil dan sederhana, terdiri dari tempat tidur, meja untuk menulis, kursi dan tempat berlutut di mana dia menghabiskan waktu berjam-jam untuk berdoa seraya berlutut di depan salib. Di kamar inilah dia menghembuskan nafas terakhirnya. Padre Pio, orang kudus dari San Giovanni Rotondo, meninggalkan teladan iman yang kokoh, hidup doa yang berkanjang, amal kasih yang tulus tanpa pamrih.



Misa konselebrasi

Setelah melihat-lihat gereja baru yang megah, kami ke sekretariat, bertemu dengan suster dari Filipina yang kerja di situ. Kami menanyakan informasi tentang misa konselebrasi besok hari minggu di santuario. Suster menjelaskan bahwa bisa ikut. Datang saja ke sakristi, tunjukkan kartu identitas imam kepada koster, selanjutnya beres, katanya. Urusan misa selesai, maka kami berangkat ke kios-kios sovenir di depan Santuario dan Rumah Sakit untuk berbelanja kenang-kenangan, biarpun tidak banyak, tapi sekurang-kurangnya sebuah rosario.. Jam 8 malam bus tiba, kami kembali ke hotel untuk makan malam dan istirahat karena besok harus bangun pagi-pagi dan langsung check out supaya bisa ikut misa pertama jam 7 pagi. Kami beritahu kepada petugas hotel bahwa besok pagi jam 6 kami check out dan minta tolong diantar ke santurio untuk ikut misa, dan sesudah misa kami akan kembali ke Roma. Pihak hotel mengatakan beres. Pagi jam 5 kami telah bangun dan berbenah. Jam 6 check out. Sopir pun telah siap dengan kendaraan. Jam 6.15 kami diantar ke santuario. Masih setengah jam lagi sebelum misa. Banyak umat mulai berdatangan. Di sakristi kami menunjukkan kartu identitas imam dari Keuskupan Roma, yang kami miliki sejak tahun pertama berada di Roma. Koster mempersilakan kami mengenakan alba dan stola untuk misa konselebrasi. Misa dipimpin oleh seorang imam kapusin. Imam konselebran 4 orang, semuanya peziarah, ditambah satu diakon yang memimpin rombongan ziarah dari Italia utara. Karena ada diakon, maka dialah yang membacakan injil. Umat yang hadir umumnya para peziarah. Setelah misa, kami ke bar, sarapan sederhana, lalu beli lagi sebagian oleh-oleh yang belum sempat dibeli semalam. Jam 9 bus tiba. Kami berangkat 15 menit kemudian. Selamat tinggal San Giovanni Rotondo. Padre Pio, doakanlah kami.



Pulang lewat Napoli

Tiba di stasiun ternyata tidak ada kereta yang langsung menuju Roma. Harus lewat Napoli. Untuk ke Napoli ada bus khusus di depan stasiun. Kami segera berlari ke bus. Ternyata banyak penumpang berdesak-desakan. Kami pun coba berjuang siapa tahu bisa ikut juga sehingga tidak perlu menanti satu jam lagi. Kebetulan ada dua penumpang yang telah telah naik, tapi entah kenapa mereka memutuskan batal berangkat. Mereka menawarkan tiket mereka ke kami berdua. Segera kami beli tiket itu dan naik. Sungguh beruntung. Tiga jam perjalanan ke Napoli. Bus berhenti di stasiun kereta Napoli. Di stasiun kami bertemu dengan dua suster Indonesia asal Bajawa dan Manggarai. Ketika melihat mereka, saya langsung yakin bahwa ini pasti orang Indonesia. Maka saya segera menyapa mereka, Selamat Siang Suster. Mereka terkejut dan heran. Salah seorang bertanya, ini siapa? Romo atau Bruder atau siapa? Saya bilang saya Romo Sipri dari Kupang, dan ini romo Kevin dari Malaysia. Mereka sedang menanti jemputan ke biara mereka. Kami ngobrol sejenak, lalu sayonara, sampai jumpa. Kami segera ke stasiun beli tiket. Masih setengah jam lagi kereta berangkat. Karena sudah siang, jam makan, kami beli pizza dan coca cola, lalu segera naik kereta sambil makan pizza hangat. Ah, lega rasanya setelah berada di kereta. Akhirnya kembali ke Roma. Terima kasih Tuhan, terima kasih Padre Pio. Juga terima kasih sahabatku Rm. Kevin yang baik hati.



Rm. Sipri Senda

Selesai ditulis di Randfontein, Afrika Selatan, 22 Juli 2009.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Beta tunggu lu pung komentar di sini, danke...