Rabu, 08 Juli 2009

Jacko: Child Abuse, Inferioritas dan Body Dysmorphic Dissorder

Saya menonton cuplikan prosesi pemakaman Michael Jackson di beberapa televisi nasional yang diberitakan VOA indonesia, melihat sendiri pengakuan almarhum tentang masa kecilnya yang suram.

Di kamar, beberapa koran dan majalah yang berisi berita seputar Michael sudah saya baca berkali-kali. Sudah berkali-kali pula saya melihat betapa kemasyurannya juga sebanding dengan penderitaannya (bahkan lebih berat, jika selebriti dunia harus dituntut untuk memakai ‘topeng’ selama masa karir mereka, agar kesannya mereka adalah manusia yang bukan manusia, manusia yang seolah-olah hanya punya kebaikan tanpa keburukan!). Bagi pribadi Jacko sendiri, tentulah bukan tanpa batu sandungan, bukan tanpa berita kontroversial, bukan tanpa aib yang terbongkar. Manusia sejatinya lebih pandai dari tupai, tapi manusia tetaplah manusia, tak lebih pandai dari Tuhan kan?

Saya mebuka-buka lagi buku-buku psikologi saya. Menarik bahwa ‘kasus’ Jacko ini bisa memberi kejelasan kepada saya yang kadang bingung sendiri dengan teori-teori yang ada karena contoh kasus yang diberikan sama sekali jauh dari kemampuan saya untuk memahaminya. Dan kini, dengan ‘kasus’Jacko sedikit saya bisa menyelami topik-topik seperti ‘child abuse’, ‘self esteem’, body dismorphic dissorder’, dsb.

Jacko sendiri mengakui tentang pengalaman buruknya di masa kecil, kehilangan kebahagiaan layaknya anak kecil pada umumnya karena waktu bermain hampir selalu terlewatkan dengan berlatih dan berlatih. Bahwa sekecil itu, dirinya sudah dipenuhi dengan beban tanggungjawab yang besar, bahkan melebihi kapasitas normalnya anak-anak. Bahwa figur ayah begitu otoriternya, tak terbantahkan, sampai-sampai ada banyak tugas perkembangan masa kanak dan remajanya yang tidak terlewati dengan mulus, alamiah dan normal sebagaimana anak dan remaja lainnya. Saya malah membayangkan anak-anak jaman sekarang yang kebanyakan hidup bak boneka orang tuanya, anak sama sekali tidak diberi kesempatan untuk memilih dan menyesuaikan sesuatu dengan kemampuan – minatnya. Anak hanya sebatas melakukan hal yang diinginkan orang tuanya.. Sampai-sampai anak pun ‘dipaksa’ untuk mendengarkan musik atau memakai baju bukan karena seleranya, tetapi karena selera orang tuanya! Bisa kita bayangkan dampaknya 10, 20 atau 30 tahun kemudian?

Ketika pola asuh orang tua yang sangat otoriter sebenarnya secara langsung proses terjadinya perasaan inferioritas anak dikembangkan. Ketika anak merasa tidak dihargai, tidak diberi kesempatan berbicara – mengungkapkan isi hatinya, ada sikap-sikap orang terdekatnya yang terkesan meremehkan dirinya, ada banyak tanggungjawab yang dilimpahkan. Jika itu terjadi, menurut Karen Horney, psikoanalis kelahiran Hamburg, akan ada perasaan tidak aman juga kecemasan. Ketidaknyamana dan kecemasan tersebut kemudian akan ditanggulangi oleh si anak untuk menanggulangi perasaan-perasaan isolasi dan tak berdayannya. Ada beberapa kemungkinan perilaku selanjutnya. Anak bisa menjadi bermusuhan dan ingin membalas dendam terhadap orang yang menolak atau berbuat sewenang-wenang terhadap dirinya. Atau bisa jadi perilaku alin yang muncul adalah si anak akan sangat patuh supaya mendapatkan kembali cinta yang dirasakannya telah hilang. Atau bisa juga si anak akan mengembangkan gambaran diri/citra diri (lalu menjurus ke gambaran tubuhnya) yang tidak realistik, yang diidealisasikannya, sebagai kompensasi terhadap perasaan-perasaan inferioritasnya.

Bisa jadi mekanisme ini yang terjadi pada diri Jacko. Bukan saja dengan prestasi yang ada orang akan mengakui dirinya, tetapi juga dengan mengembangkan diri ideal/citra diri (meski sebenarnya tidak realistis) diharapkan bisa memberikan rasa percaya diri dan lebih dari itu bisa mendatangkan pengakuan dari orang lain, termasuk dari orang yang dulunya begitu tidak menghargainya. Meski senyatanya self-esteemnya berada dalam taraf terendah. Menurut Karen salah satu strategi yang dipakai anak bisa dipastikan akan menjadi sifat yang kurang lebih akan permanen dalam kepribadiannya!

Lebih parah lagi jika kemudian masalah diatas dipecahkan secara tidak rasional, salah satunya misalnya dengan mengembangkan kebutuhan neurotik akan kesempurnaan dan ketidaktercelaan. Perasaan inferioritas kemudian akan mendorong seseorang untuk takut berbuat salah atau takut dikritik, dengan jalan berusaha membuat dirinya superior, tak terkalahkan dan tanpa cela. Ia akan terus-menerus mencari kekurangan-kekurangan dalam dirinya sehingga kekuraangan-kekurangan itu dapat ditutup sebelum ketahuan oleh orang lain. Dan bagi Jacko, selain terus berkarya dan berprestasi, ia kemudian memilih jalan operasi plastik, untuk menutupi kekurangan dirinya (yang secara irasional dirasakannya, padahal senyatanya tidak, Jacko tidak jelek kan jika berkulit hitam?). Inilah fase seseorang bisa dekat sekali dengan body dismorfic dissorder, karena pemikiran yang salah/irrasional atas tubuhnya.

Kebutuhan diatas jelas bukan solusi yang tepat karena hanya menambahkan konflik-konflik batin yang baru. Makin banyak hal dicapai, maka akan semakin banyak pula hal yang tak terpuaskan. Pencarian kesempurnaan yang sia-sia. Lebih jauh, jika melihat Jacko dari teori Karen maka bisa jadi perilaku Jacko yang makin hari kian tertutup dan suka menyendiri adalah bagian dari kebutuhan untuk independensi, dengan cara moving away from people!

Pada akhirnya kasus Jacko hanyalah sebuah palajarn berarti bagi orang tua dalam mendidik anak, jangan sampai masa kanak dan remaja akan terlewatkan dengan banyak luka/goresan yang tidak disembuhkan. Karena pastinya luka/goresan itu akan terus bertahan dan akan berbahaya jika luka/goresan itu kemudian menjadi bagian dari KEPRIBADIANnya. Kepribadian yang rapuh. Berhentilah menjadikan anak boneka orang tuanya, sehingga orang tua berhak dan bebas memperlakukan anak sebagaimana orang tua memperlakukan dirinya sendiri.

Jogja, 8 Juli 2009

(*suatu siang yang cerah, saya menulis, menarikan jari jemari diatas keyboard laptop, membaca lagi teori-teroi psikologi, mengetik lagi, membaca lagi catatan perjalanan Jacko, lalu menari lagi, dengan jari yang bersih, tanpa ada bekas tinta. yah tak ada noda di jemari saya. He-he-he...cuma mau bilang kali ini saya benar-benar golput!*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Beta tunggu lu pung komentar di sini, danke...