Senin, 04 Mei 2009

Saya, Jamila dan Sang Presiden

Bagi saya film ini adalah karya Ratna Sarumpaet
yang pertama kali saya nikmati. Jujur saya saya baru mengenal sosok beliau ketika beberapa tahun lalu isu RUU Pornografi pertama kali diangkat ke publik. Sayang sekali karya-karya teatrikalnya sama sekali belum saya tonton. Maka kesan pertama saya adalah film ini bagus, jelas apa yang mau diungkap, cara penuturannya pun mudah saya pahami, akting para pendukungnya juga lumayan, secara teknisnya pun ok. Menghibur, mengajak penonton untuk kritis, artinya tidak sebatas menonton, sedih, tertawa lantas lupa segalanya tapi bagi saya pribadi muncul banyak tanya, bahkan hingga diakhir film dikatakan bahwa Negara kita adalah Negara dengan urutan ketiga besar dunia untuk kasus jual-beli manusia! Saya pun paham bahwa dengan kondisi geografis, kemiskinan, mutu pendidikan yang rendah, maka hal seperti ini memang sangat rentan.

Kembali ke film Jamila dan Sang Presiden. Saya harus mengakui kualitas akting Christine Hakim
. Kalau Atiqah Hasiolan sih lumayan. Saya bahkan sangat-sangat menyukai adegan pertengkaran Christine (ibu Ria) dengan Atiqah (Jamila) di dapur penjara. Wah, saya kira itu salah satu adegan terbaik deh dari keseluruhan film ini. Sangat natural dan memancing adrenalin. Salut!

Sedikit mengganggu saya adalah yang pergantian peran Jamila remaja (Eva Celia Latjuba) dengan artis lain di beberapa adegan dan itu tidak runtut. Sebenarnya ini masalah internal ketika produksi belum rampung 100%, Eva Celia secara sepihak memutuskan kontrak lantas hengkang ke Amerika.

Di JSP,

selain mengkritisi penanganan Negara terhadap kualitas hidup rakyatnya (pendidikan, kemiskinan, dsb) sebagai penyebab timbulnya perdagangan manusia
, juga mengaitkan dengan peran pemuka agama yang cenderung menyalahkan PELACUR tanpa mengkritisi kenapa seseorang bisa jadi pelacur jika kita kaitkan lagi dengan kualitas/kesejahteraan rakyat tadi. Siapa sih yang mau jadi pelacur? Bahkan adegan Jamila bertemu pak Kiai di masjid menjelang eksekusi begitu menohok peran institusi agama dalam menyikapi kasus kepelacuran Jamila.

Hal yang sama ketika para kelompok garis keras, dengan atribut agama tertentu, menyalahkan Jamila sang pelacur yang membunuh Pak Menteri, tetapi sama sekali tidak menyalahkan mental bobrok Pak Menteri yang notabene punya hubungan gelap dengan sang pelacur? Kisah ini bahkan sudah ada di dunia nyata para pemimpin/wakil rakyat kita kita dewasa ini.

Pada akhirnya menonton JSP adalah menonton kisah hidup yang sebenarnya nyata ada di Negara kita, entah itu peran Negara atas kasus perdagangan manusia,
radikalisme atas nama agama tertentu, cara pandang terhadap isu pornografi dan pelacuran, hingga bobroknya kualitas personal para pemimpin/wakil rakyat kita. Saya sudah berkali-kali membaca dan mendengar pengakuan langsung Ratna sendiri soal penelitiannya atau studi kasusnya yang lama tentang isu perdagangan manusia, pelacuran, dsb, di Indonesia. Saya kira film ini adalah bentuk lain dari keseriusan, dedikasi dan kerja keras beliau selama ini terhadap isu-isu humanis.

Menonton JSP adalah melihat sisi buram lain dari penghargaan Negara kita terhadap manusia-manusianya, rakyatnya! Bahwa cita-cita sila ke-5 PANCASILA masih jauh dari harapan.


Bumijo Lor 1215, 4 Mei 2009

(Dicky Christian Senda)

foto: www.filmjamila.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Beta tunggu lu pung komentar di sini, danke...