Rabu, 01 April 2009

Benarkah Sumber Air Sudah Makin Dekat?

(membicarakan krisis air di NTT dan pemanasan global)

‘Sekarang sumber aer su dekat, bisa bantu mama ambel aer buat mandi adik, beta sonde terlambat ke sekolah lagi..’ kira-kira begitulah penggalan kalimat iklan produsen air mineral ‘Aqua-Danone’ dari Perancis, dengan bintangnya adalah anak-anak dan masyarakat sebuah desa di pedalaman kabupaten TTS, Pulau Timor. Hmm, kebetulan sekabupaten dengan kampung saya. Saya tahu di daerah tersebut memang sumber air sangat sulit, ketimbang di kampung saya, di Mollo yang notabene masih banyak hutan yang juga banyak menghasilkan air yang mengalir hingga ke wilayah Atambua.
Air memang menjadi penting bagi manusia. 75 % tubuh kita terdiri atas air.

Global warming kini menjadi isu penting pasalnya menjadikan disebagian belahan dunia kekeringan tapi dibagian wilayah lain kebanjiran akibat air laut pasang. Lagi-lagi air. Air memang bisa menjadi hal baik tapi juga bisa menjadi masalah jika saja terjadi ketidakseimbangan dalam proses alamiahnya. Sudah dipastikan bahwa terjadinya ketidakseimbangan itu karena ulah manusia itu sendiri.


Iklan Aqua tadi mengingatkan saya, ketika awal datang ke Jogja pertengahan tahun 2005, saat itu sedang memanasnya isu persawahan para petani di Klaten yang tiba-tiba kekeringan. Ternyata penyebabnya adalah beroperasinya pabrik Aqua di sekitar tempat tersebut yang dalam sekian detik menyedot berjuta liter air dari sumber mata air di Klaten itu. Akibatnya sawah petani kering. Konon perusahaan itu menyedot air lebih dari kecepatan yang ditentukan Pemda.

Berbicara air di Negara kita, saya jadi ingat UUD 45 pasal 33 yang selalu saya hafal sejak SMP, ‘bumi, air dan kekayaan alam dilindungi oleh Negara dan dipergunakan sebaik-baiknya demi kesejahteraan rakyat banyak…’ namun pada kenyataanya, kebijakan-kebijakan yang diambil pemerintah kita selama ini sudah jauh dari dasar Negara kita itu. Selalu yang diuntungkan segolongan orang saja, dan lebih parah lagi jika yang diuntungkan adalah orang-orang yang bukan warga Negara Indonesia.

Saya mendengar cerita bahwa kekerngan panjang di Gunung Kidul akibat ratusan ribu pohon ditebang habis dan kayunya diekspor ke luar negeri. Akibatnya ketika hujan air tak mampu dibendung atau diserap karena tiada hutan, tiada pepohonan lagi.

Terkait dengan masalah ini, saya berpikir kenapa di propinsi NTT yang tergolong kering itu pemerintah tidak mendorong masyarakat untuk banyak menanam pohon guna membantu penguapan terjadi dan hujanpun bisa turun lantas terserap oleh akar-akar yang bisa memunculkan sumber-sumber air.

Ternyata masalah air bukan saja di NTT yang notabene kering, di Jawa saja masalah serupa kini menghantui. Kepadatan penduduk memicu lahan hutan diganti pemukiman atau lahan serapan air menyempit juga karena munculnya pemukiman-pemukiman baru. Di Wirosari, Jateng, masyarakat bahkan harus membeli air Rp. 30 ribu setiap harinya. Air tanah di Jawa pun ternacam menurun volumenya setiap tahun.




Bahaya sebenarnya sudah kelihatan di depan mata kini. Tapi belum banyak orang yang peduli. Ledakan penduduk tak dipungkiri mendatangakan banyak persoalan, salah satunya adalah dengan memperbesar isu pemanasan global itu. Banyak hal memang yang mesti dilakukan dari diri sendiri.

Jika NTT yang tidak sepadat penduduk di Jawa seharusnya bisa mulai tergerak untuk banyak menanam pohon dan terus menanam pohon. Saya rasa masyarakat lokal masih punya sense kearifan lokal seperti itu. Hanya saja perlu dukungan atau dorongan dari pemerintah juga.


Tangan kita selamatkan bumi kawan…

(Jogjakarta, 1 April 2009)
*Foto dari: http://us.oneworld.net dan http://ariefcz.blogspot.com/)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Beta tunggu lu pung komentar di sini, danke...