Minggu, 26 April 2009

Kisah Tragis ala Shakespeare dalam Persepakbolaan Indonesia

Apa hubungannya Romeo, Juliet dan Persepakbolaan Indonesia? Aku tiba-tiba bertanya saat masuk gedung bioskop. Saya tahu kisah asli Shakespeare sudah lama menginspirasi banyak orang dalam memaknai cinta sejati, namun jika cinta sejati itu dikaitkan dengan kata Persepakbolaan Indonesia, kok yah perasaan saya pasti akan selalu berteriak protes, aahhh payah! Kerjaanya berantem mulu. Prestasi minim tapi dalam hal prestasi kriminil dalam persepakbolaan, negeri kita jagonya. Sayang memang ketika awalnya saya sudah menggebu-gebu ingin menonton film ini, yang entah mengapa saya merasa saya pasti tidak akan kecewa kok pada akhirnya, namun merasa sangsi justru hendak membeli tiket. Singkat cerita nurani saya yang menang.

...dan Film Romeo and Juliet karya Adibachtiar Yusuf ini pun saya tonton. Film ini sudah diputar perdana di Honglong International film Festival Maret lalu. Dibintangi Sissy Pricilla sebagai Desi si Lady Vikers dari Persib dan Edo Borne (yang wajahnya familiar sebagai bintang iklan rokok) sebagai Rangga seorang Jakmania.

Sepanjang film yang saya ingat terutama adalah bahwa saya dan teman-teman di sekeliling saya selalu tertawa keras dengan isi film ini. Bukan karena tertawa menjelekan tapi ini murni tertawa karena sense of humornya dapat sekali, pas, alamiah dan lucu. Kalo sudah begitu kenapa ketawanya harus ditahan yah? Penggunaan istilah konyol khas Betawi juga khas Sunda ternyata sangat-sangat mengocok perut.

Saya terkesan dengan acting Ramon Y Tungka. Gila. Keren. Lucu. Padahal dulu bagi saya dia itu actor kelas kancut Indonesia, namun disini, di film ini saya harus bilang bahwa dia adalah best supporting actor khusus untuk film ini. Ramon turut menyumbang besar sense of humor sehingga film ini terasa tidak garing.

Namun disisi lain kok perasaan apatis, kecewa dan muak saya muncul lagi. Ini soal pandangan sempit para fans/mania klub-klub bola. Saya berpikir sudah jelas di film ini mengapa kita tidak maju-maju. Saya miris bahkan bahwa saking fanatic nan sempit itu hal-hal sepele yang kebanyakan diluar hal sepakbola kok ikut dicampur adukan! Benar-benar payah. Sama sekali tidak professional, dewasa dan bertanggungjawab. Sampai-sampai perasaan terdalam, nurani terdalam, hak asasi manusia, hak untuk mencintai dan dicintai, hak paling prinsipil dan privasi ikut tergadaikan hanya karena ada rasa fanatisme sempit itu. Kok bisa? yah itulah kenyataan yang ada. Saya berpikir, inilah jika lebih sering memakai otot dan emosi ketimbang menyeimbangkannya dengan akal sehat, pikiran yang rasional. Bahkan jelas bahwa para supporter itu lebih jagi berantem ketimbang bermain sepakbola itu sendiri, sama seperti komentator bola kita yang selalu jago ngomong ketimbang jago bermain bola. <


Secara keseluruhan film ini lumayan. Hanya teknisnya masih agak kacau. Penggunakan teknik ‘handled cammera’(maaf jika penggunaan istilah ini salah) terasa kasar sekali. Namun itu terbayar dengan acting bagus para pemainnya. Saya lantas berpikir yang sekonvensional mungkin, ‘kenapa yah gak sekalian saja Sissy Pricilla ikutan mati juga seperti kisah asli Shakespearenya?’
Sayang juga bahwa ternyata ada banyak kisah tragis ala Romeo and Juliet ada dalam lingkup persepakbolaan kita.

Jogja, 25 April 2009

(foto from detik.com, www.vikingpropoganda.blogspot.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Beta tunggu lu pung komentar di sini, danke...