Senin, 16 Februari 2009

dia yang butuh cinta...


namanya ‘k’, perempuan 77 asli jawa warga salah satu panti wreda di tengah kota jogjakarta. hal utama yang nampak adalah sikap keterbukaannya. saya bepikir beliau seakan butuh hiburan. panti ini memang tidak mendapat kunjungan orang luar setiap hari, tidak ada sukarelawan yang senantiasa hadir setiap saat minimal sebagai teman ngobrol seluruh penghuni, maka pagi ini saya adalah sang penghibur itu. itulah mengapa oma yang satu ini begitu terbukanya kepada saya dan bahkan boleh dibilang berusaha agar saya tak boleh beranjak dari sisinya. matanya seakan berkata ‘hei, lihat saya yang tua ini, dengarkan saya, dua tahun lamanya saya bagai orang terasing disini, tak ada yang mau mendengarkan saya, mereka hanya menganggap saya pengacau, sang pembuat ulah, sang pengeluh sejati tapi mereka tidak pernah mau tahu isi hati saya, mengapa saya terbiasa untuk mengeluh, untuk itu, nak, dengarkan saya, tolong saya.’
dia sosok yang ringkih, mengeluh jantungnya seakan tertusuk jarum, mengeluh tangannya gata-gatal. tapi dia masih mempunyai penglihatan dan pendengaran yang cukup baik. dia bahkan fasih berbicara isu-isu sosial yang berkembang di masyarakat, soal kriminalitas hingga soal pergaulan bebas anak muda. ternyata karena buah dari televisi, satu-satunya hiburan yang ada dip anti (atau boleh dikatakan satu-satunya layanan aktifitas yang disediakan, hanya satu buah pesawat televise, tak ada program pemeliharaan tanaman, atau sekedar menyulam, dsb.). saya sedih, saya terbawa emosi namun saya harus professional di hari pertama praktik psikologi terapan saya di lapangan.
saya iba dan kasihan dengan konsep diri oma ‘k’ ini yang sebegitu negatifnya. dia menggambarkan dirinya dengan sangat tidak normal, tidak sehat. saya sedih, saya prihatin. katanya, dia punya delapan anak namun anak-anaknya tidak sukses, keluarga mereka sudah biasa dibantu pihak gereja, dan beliau selalu megeluhkan hal ini, seolah bahwa dia sebegitu lemah dan tidak beruntungnya sehingga harus dibantu terus-terusan (bahkan seluruh biaya hidupnya di panti dibiayai oleh pihak gereja).
dia bercerita betapa malangnya hidupnya sehingga harus rela terasing dip anti. ‘saya benci tinggal disini’ katanya. ‘anak saya delapan, tidak sukses, semua dibantu gereja, saya malu sama tetangga!’ begitu keluhan beliau secara berulang-ulang. ‘disini ternyata sama saja, saya dianggap remeh, perawat-perawat tidak membantu saya, mereka pilih kasih, hanya karena saya tinggal di kamar ekonomi berbeda dengan mereka yang tinggal di kamar VIP!’ ungkapnya sambil menangis. saya menepuk pelan pundaknya. dia makin menangis. ‘saya sering dibilang, iki lho anaknya datang ora digoleki opo-opo, saya kan malu’ katanya berkali-kali. saya makin prihatin. katanya lagi, ‘obat saja saya tidak dikasih! dulu karena kesalnya saya bilang, yo wes kalo gak dikasi obatnya, kasi saja saya baygon!.’
dia mengaku perutnya suka mules. saya menduga pencernaan lansia mungkin begitu. hanya saja sayang, dia merasa tidak diperlakukan dengan baik soal makanan. dia mengeluh jika jam makan tiba dia harus memaksakan diri untuk makan meski perutnya belum lapar (perutnya justru baru lapar ketika sudah lewat jam makan siang tapi dapurnya sudah tutup). katanya lagi, ‘iki lho mas, minta kecap aja gak dikasih, apa karena saya cuma bayar rp. 400.000 saja sebulan? meski itupun dibayar gereja bukan oleh anak-anak saya,’ lanjutnya memelas.
saya kemudian bertanya, ‘bagaimana dengan tidur oma? susah tidur atau gimana?.’ saya hanya menduga karena suasana hatinya yang demikian biasanya akan berpengaruh ke kualitas tidur, karena adanya kecemasan, stress atau rasa bersalah tadi. ‘dua tahun disini saya memang tidak bisa tidur nyenyak, bayangkan saja mas, sekamar berempat, karena kami hanya mampu membayar 400ribuan (*lagi-lagi angka ini diulang terus*). sudah begitu malam-malam ada yang suka ngompol, baunya pesing, maka saya gak bisa tidur samapi pagi, mas’ katanya memelas. saya melihat matanya mulai berkaca-kaca lagi, tak lama berselang tetes-tetes air itu sudah tumpah ruah di pipi dan hidungnya. dia mengambil sapu tangan, membuka kacamatanya lalu menyeka dan terus bercerita, terus mengeluh dan saya hanya bisa mendengar, dan ini memang tugas saya, intervensi awal yang baik untuk saya lakukan.
kami berbicara panjang lebar. beliau senang. perlahan saya bisa membangkitkan rasa optimismenya. ternyata masih ada hanya saja sudah terlalu lama terpendam pasalnya panti sendiri tidak mampu mengembangakan dan mempertahankan rasa optmisme dan penerimaan diri itu. ketika saya ajak beliau untuk berfoto bersama, nampak raut gembira dimatanya, dia tersenyum, saya bahagia. katanya, ‘mas chris, nanti sudah jadi berikan oma juga yah fotonya, ‘ sambil memgang tangan saya erat. ‘oke deh oma’ kata saya. yang penting oma tetap semangat, terus berdoa pada tuhan, lebih dekat lagi, minta tuhan beri kekuatan, kelegaan hati, kesabaran. oma gak usah dengar kata teman-teman lain, oma malah harus beryukur bahwa tuhan masih baik makanya ada pihak yang mau bantu oma, bantu anak-anak oma. nanti saya cetak fotonya, akan saya hantar ke sini. tenang saja oma, lanjut saya menghibur. dia tersenyum, tak kalah lebarnya senyum saya juga.
pertemuan singkat pagi itu pun harus berakhir. jam berkunjung usai, mereka harus bersiap makan siang lalu istirahat. ‘oma, saya akan terus doakan oma, oma juga harus berpikir positif, yang penting kan oma tidak membicarakan kejelekan orang, oma masih baik, terus begitu aja oma. besok nanti saya kesini lagi, kita ngobrol lagi panjang lebar, oya oma mau besok saya bawakan apa?. dia cuma tersenyum…
saya pulang, saya bersyukur. tuhan kemana adilmu? beri dia yang terbaik. dia sudah terlalu letih menangggung bebanya, tuhan. saya percaya dikau, bantulah dia tuhan. amin

(2 februari 2009, kenangan hari pertama praktikum psikologi terapan di panti wreda ‘h’ jogjakarta. ingatan saya lantas terbang panjang pada almarhum nenek saya, kepada mendiang kakek saya, pada ayah dan ibu saya di rumah, mereka yang letih menjaga cinta di hati agar tetap nyala buat masa depanku, tuhan jaga mereka!)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Beta tunggu lu pung komentar di sini, danke...