Jumat, 09 Januari 2009

PENGALAMAN DI DARMSTADT (Catatan Pengalaman Kakak saya Rm. Sipri Senda, Pr., di Eropa)



Ibu Agnes dan Bapak Carlheinz

Saya mengenal ibu Agnes di Roma ketika beliau berziarah ke Roma bersama ibu Anna yang juga baru dikenalnya di atas bus dalam perjalanan ke Roma. Kisahnya memang unik. Tahun lalu ketika berkunjung ke Gross Gerau, saya memberikan sebagai kenang-kenangan kepada ibu Anna, sebuah buku kecil, buku humor kaum berjubah. Ia tertarik mempelajari bahasa Indonesia, bahkan sampai membeli kamus Indonesia-Jerman lewat internet. Bulan Oktober 2007, keduanya ikut dalam rombongan ziarah ke Roma tanpa saling mengenal sebelumnya. Di atas bus itulah ibu Anna mencoba membaca buku kecil itu. Seorang teman yaitu ibu Gerith Stehmann yang menyaksikannya penasaran lalu menanyakan apa yang dilakukannya. Ketika diketahui bahwa ia sedang belajar bahasa Indonesia , ibu yang juga mengenal ibu Agnes langsung memberitahukan bahwa ada seorang ibu yang berasal dari Indonesia . Maka jadilah mereka berkenalan, dan bersahabat baik hingga saat ini. Ketika di Roma, mereka berdua mengirim sms untuk bertemu dengan saya di Vatikan. Sehabis kuliah, saya berjumpa dengan mereka di lapangan Santo Petrus. Ibu Agnes berasal dari Surabaya, sudah lama hidup di Jerman, menikah dengan bapak Carlheinz orang Jerman dan tinggal di Darmstadt sejak April 1976. Sebelum ke Gross Gerau, saya menyampaikan rencana saya berkunjung ke rumah mereka juga selama beberapa hari sebelum ke Belanda. Dengan senang hati ibu Agnes yang baik hati ini menerima rencana tersebut dan mengatur jadwal yang pas: tanggal 19-24 September 2008. Ibu Anna dan Ibu Irmgard mengantar saya dengan mobil ke Darmstadt . Untuk pertama kali mereka mengunjungi ibu Agnes di rumahnya. Maka perjalanan ke sana pun diatur dengan bimbingan navigator satelit yang bekerja dengan baik, sehingga kami tidak tersesat. Ibu Anna mengemudikan mobil dengan cekatan. Navigator yang baik dan sopir yang baik membawa kita ke tempat tujuan dengan selamat. Bagi kita orang kristiani yang sedang dalam perjalanan ke surga, navigator dan sopir yang tepat tidak lain, tidak bukan adalah Tuhan Yesus Kristus. Lebih dari sekedar navigator dan sopir, Dia bahkan adalah jalan itu sendiri.

Setelah berbincang-bincang sejenak, ibu Irmgard dan ibu Anna pamit kembali ke Gross Gerau. Sampai jumpa tahun depan. Tinggallah saya di Darmstadt . Karena kamar untuk tamu sudah lama tidak digunakan, dan belum sempat dibenahi, maklum mereka berdua tinggal sendiri saja karena kedua anak mereka bekerja di tempat lain, maka mereka mengatur penginapan saya di hotel di depan rumah mereka. Malam saya tidur di hotel, lalu sepanjang hari bersama mereka di rumah. Di hari pertama ini, setelah check in di hotel dan menyimpan barang-barang, ibu Agnes mengajak jalan-jalan dan mengurus tiket kereta ke Belanda. Kota kecil ini sebenarnya bernama Eberstadt (kota celeng, karena banyak celeng dilindungi di hutan yang terpelihara di kota ini), dan merupakan kota yang lebih antik daripada Darmstadt yang lebih moderen. Karena Darmstadt lebih terkenal maka Eberstadt pun berada di bawah ketenaran Darmstadt.

Hari pertama di Eberstadt langsung terasa suasana indonesia biarpun sedikit. Saya bisa bercakap-cakap dengan ibu Agnes dalam bahasa Indonesia, sedangkan dengan bapak Carlheinz dalam bahasa Inggris. Selain itu, ternyata ibu Agnes sudah menyiapkan makanan indonesia: nasi putih, sayur lodeh, tahu, telur dan opor ayam. Hmmmm..sedap!! hanya minumnya masih ala Jerman, bir! Hampir setiap hari minum bir di Jerman.

Ibu Agnes turunan Cina dari Surabaya. Sebelum keluar negeri, belajar ilmu keperawatan di Semarang. Sambil belajar, ia mengajukan permohonan visa ke negeri Belanda untuk melanjutkan studi. Kala itu sulit sekali mendapat visa. Namun ternyata permohonannya relatif cepat terjawab. Dia berangkat ke negeri Belanda 1968, belajar dan bekerja selama 7 1/2tahun, dan menjadi warga negara Belanda. Sesudah itu migrasi ke Canada, hidup dan bekerja di sana selama 1 tahun. Kemudian ia bertemu dengan bapak Carlheinz di Eberstadt. Carlheinz, seorang insinyiur teknik, adalah bapak kos saudara sepupu ibu Agnes dan pernah berlibur ke Bali, dan bahkan pernah singgah di Surabaya, di rumahnya ibu Agnes yang kala itu masih berada di Canada. Dialah yang mengundang ibu Agnes dan sepupunya ke Eberstadt sebelum sebelum berangkat kembali ke Canada lagi, sepulangnya dari Indonesia. Dalam pertemuan itulah bapak Carlheinz menyampaikan maksud hatinya, dan keduanya sepakat menikah. Dari perkawinan mereka, lahirlah 2 anak: si sulung ialah Carl yang kini bekerja di Berlin dan si bungsu Elisa yang bekerja di Prancis, di kota kecil St. Firmin Sur Loire - 150 km arah selatan Paris.



Teater Kocak

Hari pertama di Eberstad (Darmstadt) sangat mengesankan. Ibu Agnes yang baik hati mengatur semua keperluan selama berada di tempat mereka. Termasuk mengusahakan sambungan internet ke laptop saya, sehingga saya bisa berinternet-ria setiap hari di rumah mereka. Malamnya kami berangkat ke restoran Turki, makan malam bersama kawan-kawan mereka. Sesudah itu nonton teater kocak Dimitrich “Piano” Paul, yang mantan dosen fisika-matematika, tapi berbakat melucu dan bermain piano. Setelah pensiun dari mengajar, ia konsentrasi pada teater, melawak dan bermain piano. Sayang sekali, saya tidak bisa berbahasa Jerman, tapi dari penampilan, mimik, gestikulasi dan paparan , saya bisa memahami secara garis besar dan turut tertawa, apalagi ada penjelasan juga dari ibu Agnes sesekali. Kala itu ia menjelaskan dengan kocak hubungan antara Pisa, Bach dan Pythagoras: antara seni, musik dan matematika. Hadirin dibuat terpingkal-pingkal, dan saya ikut ketawa walau tidak mengerti seluruhnya. Satu hal yang muncul di benak saya adalah dunia teater di seminari-seminari se-NTT. Sejak dulu para seminaris terkenal sebagai pemain drama jempolan. Setiap kali liburan, mereka menyemarakkan paroki dengan pentasan teater yang memukau, tapi juga mengandung nilai ajaran hidup injili. Teater adalah sarana pewartaan injil. Mimpi saya adalah menghidupkan dunia teater seminari Oepoi dan seminari tinggi Penfui. Saya dengar, teater Ritapiret dan Ledalero masih berkibar. Sementara Penfui memang sejak semula tidak ada teater khusus seperti Ritapiret dan Ledalero. Waktu saya masih di sana, setiap kali acara bersama, kelompok kecil peminat teater atas inisiatif saya tampil dengan gebrakan acara tertentu yang menyuarakan pesan tertentu, ada di antaranya bikin merah telinga para pembina. Tapi bukan soal bikin merah telinga itu yang penting. Pikiran sederhana saya adalah teater merupakan sarana warta injil, serentak di dalamnya sarana kreasi seni para calon imam yang telah menerima 2 atau 5 talenta dari Sang Pencipta, dan alangkah ironisnya bila talenta itu dikuburkan hanya karena pembina di seminari tak peduli pada hal satu ini, di samping si calon imam sendiri yang enggan dan malas berkreasi tapi lebih terpukau pada hal-hal sampah. Memang, sangat disayangkan bahwa ada seminaris yang belajar filsafat-teologi tapi lebih senang menikmati hal-hal sampah, tapi justeru dengan itu ia membuat dirinya sendiri menjadi sampah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Beta tunggu lu pung komentar di sini, danke...