Selasa, 16 Desember 2008

Ini Bukan Gado-Gado, (Tapi) ini Nano-Nano!

Ini Bukan Gado-Gado (Tapi) ini Nano-Nano! (13 Desember 2003)
Pagi ini saya bangun jam jam 9 pagi, saya punya alasan untuk hal buruk ini, saya harap Anda tak perlu menirunya tapi maafkan saya. Ini hari Sabtu dan tidak ada kuliah. Kedua, semalam saya mengerjakan tugas review dan membuat artikel dari jurnal-jurnal asing untuk mata kuliah seminar psikologi sosial dan klinis, pasalnya saya akan mempresentasikannya minggu depan. Karena jurnal berbahasa Inggris, saya harus menerjemahkannya duluan. Pertama saya membutuhkan bantuan bapak Rekso (nama sebuah translate-tool) yang baik hati untuk menerjemahkannya. Kemudian hasilnya saya selaraskan lagi, cari padanan kata yang tepat sesuai konteks kalimat, otomatis yah tetap buka-buka kamus juga. Alhasil tak terasa sudah jam 3 pagi. Otot-otot leher saya sudah menegang, tandanya saya harus istirahat. Maka tidurlah saya hingga terbangun jam 9 tadi.
Di luar cuaca cerah. Saya berinisiatif untuk merealisasikan proyek tertunda saya, cuci pakaian kotor. Jogja selalu hujan belakangan ini, dan pagi ini matahari adalah berkah buat saya, paling tidak pakaian saya tidak terkena efek bau apek karena kurang sengatan matahari. Selesai mencuci, perut keroncongan. Ah, di dompet tak ada uang lagi. Maka saya kemudian beranjak ke ATM yang kebetulan dekat kost. Di jalan Bumijo Lor seperti biasa pukul 11 siang adalah waktu termacetnya. Jelas bahwa letak TK-SD Tarakanita ada di wilayah itu. Anda tentu tahu jaringan persekolahan Tarakanita yang terkenal itu, kalangan mana yang bersekolah disitu yang jelas akan berkorelasi (menurut saya sih) dengan puluhan kendaraan pribadi roda empat yang bergerak bak semut, makanya jalan Bumijo Lor yang lebarnya kurang lebih 5 meteran itu terasa macet dan ramai setiap harinya terutama jam masuk dan jam pulang sekolah. Belum lagi badan jalan yang dipakai untuk parkiran.
Inilah masalah yang tak ada habisnya dari Negara ini. Kemacetan, global warming, krisis energy, ketenagakerjaan. Yah, kendaraan pribadi yang kian banyak tidak beriringan dengan ‘perluasan’ jalan (kata teman saya sampai Lebaran monyet pun tak akan mungkin bertambahnya kendaraan pribadi dan bertambah luasnya jalanan, (atau) semakin luasnya bumi he-he). Lima meter yah tetap saja lima meter, karena pasti akan tergeser juga dengan pemukiman. Masalah baru kini adalah efek rumah kaca dari asap knalpot, polusi dan penyakit. Belum lagi soal krisis energi, minyak mahal, lagi langka. Toh, kendaraan pribadi di jalanan makin banyak. Lantas ada alasan, kalau membuat kebijakan pembatasan kendaraan pribadi dengan pajak yang tinggi, maka efek negatif akan diterima kalangan pengusaha otomotif dan tenaga kerja (buruh) yang terlibat di dalamnya. Lagi-lagi membuat dilema pemerintah. Solusi dengan pengadaan alat transportasi umum masal toh tetap ketinggalan kereta dibandingkan angka transaksi jual-beli kendaraan pribadi. Ibaratnya jika dinas Perhubungan bangga sudah menyiapkan 50 armada bus kota Trans Jogja untuk tahun 2008, maka tahun 2008 sendiri angka jual-beli kendaraan pribadi sudah berkali-kali lipat dari angka 50 itu. Ini adalah lingkaran setan.
Saya tidak iri dengan para sopir atau orang tua siswa yang lalu lalang dengan mobil pribadinya menjemput anak-anak sekolah, tapi miris dengan kenyataan: bayangkan jika sebuah Lenovo, kijang, atau APV yang segede itu hanya untuk menjemput satu atau dua anak, bayangkan jika puluhan anak dijemput menggunakan mobil dan masing-masing mobil hanya untuk seorang anak. Bayangkan juga ada puluhan mobil sebesar Lenovo atau APV, betapa tidak efisiennya hidup ini. Sudah begitu yang ada makin macet saja. Mengapa tidak diadakan bus sekolah saja? atau kalau menjemput sendiri yah pakai sepeda motor saja, yang lebih ‘ringkas’ itu. Sudah bermobil, besar, banyak, menutupi badan jalan, parkir dimana-mana, macet eh yang dijemput cuma seorang anak saja. Sekali lagi ini bukan iri lho, tapi isi soal komitmen bersama, karena masalah atau dampak dari semua itu berakibat besar untuk banyak orang. Makin hari yah makin banyak manusia-manusia egois.
Saya malah ingat lagi kebijakan kontroversial pemerintah provinsi DKI Jakarta, untuk mengurangi macet maka jam masuk sekolah dimajukan dari jam 7 pagi menjadi jam 6.30 pagi. Lagi-lagi yang jadi tumbal yah anak-anak sekolah. Betapa tololnya para pembuat kebijakan itu. Mengapa tidak diadakan saja bus sekolah atau penertiban pengguna jalan yang kadang seenak pertunya, egois sehingga jalanan macet.
Di ATM yang kebetulan berada di gedung bank pemerintahan daerah, saya bertemu hal ‘unik’ lagi. Ketika sedang mengantri kebetulan posisi berdiri saya dibalik pintu sehingga leluasa melihat aktifitas petugas bank dan nasabah di dalam ruangan. Tanpa sengaja saya melihat tiga sosok bapak-bapak, sepertinya seorang adalah tamu dan dua lainnya adalah tuan rumah, sedang mengobrol akrab dan sepertinya sang bapak berjaket kulit itu akan pamit pulang. Entah mengapa seolah perasaan memaksa mata saya untuk menatap lebih lama lagi gerak-gerik ketiga bapak itu. Jarak kami kira-kira 7 meter dan mereka sama sekali tidak menyadari kalau saya sedang mengamati mereka. Tak lama kemudian mereka berjabat tangan dan terkejutnya saya adalah jabatan tangan itu ada ‘isinya’. Si bapak tuan rumah menyelipkan sesuatu yang saya yakini betul amplop berwarna putih, lumayan tebal. Jujur yang terpikirkan pertama memang negatif.
Saya terbawa dengan pemberitaan belakangan ini yang gencar sekali soal suap-menyuap di kalangan pejabat, amplop-amplopan tanda terima kasih. Hal kecil dan sepele karena sudah membudaya di masyarakat kita, terima kasih dalam bentuk AMPLOP! Ah, saya makin berpikir negatif soal tindakan bapak-bapak tadi. Saya tidak mendengar pembicaraan mereka namun mengapa ketika mereka menangkap basah pengamatan saya, mengapa terkesan salting alias salah tingkah? Suasana bank memang sepi, dan posisi kami memang di sudut gedung, dekat pintu samping dan deretan mesin ATM, jadi sebenarnya cukup amanlah untuk ber’rahasia-rahasia’an. Saya tentu tahu bagaimana sikapnya orang salah tingkah karena kepergok dan bukan bermaksud sombong bahwa saya ini kan mahasiswa psikolog yang sedikit tahulah cirri-ciri orang kalau lagi salah tingkah.
Saya lantas tertawa dalam hati, andai saya adalah anggota KPK yang sedang beraksi menciduk target, cieh bak pahlawan kesiangan saja he-he. Maafkan saya kalau ini sudah pada asas menduga seorang salah! Tapi tetap suara hati saya berkata mereka salah. Karena kalau mau berterima kasih yah mbok yang open-open saja (terbuka saja), tak perlu menyelipkan saat berjabatan tanga. Maksudnya yah kalau mau memberi yah memberi saja secara terbuka tanpa tendensi lain selain selain terima kasih. Mengapa sih ketika saya melihat dan mereka tahu saya melihat mereka lantas si bapak tuan rumah berubah posisi membelakangi saya agar tak kelihatan kelanjutan ‘transaksi’ antar tangan itu. Ah, si bapak. Kejadian itu berlangsung cepat, si tamu lantas pamit pergi melewati saya yang masih menunggu orang di dalam ruang ATM menuju mobilnya yang diparkir (waktu itu saya sendiri yang antri). Dari tampangnya mereka memang orang penting.
Bagi saya jika anak Sultan Jogja saja yang menikah harus melaporkan jumlah keseluruhan ‘amplop’ atau angka dalam ‘amplop’ yang tidak boleh lebih dari angka yang ditentukan, jika lebih maka harus di serahkan ke KPK, maka saya pun patut menduga ada hal yang janggal dalam transaskis bapak-bapak tadi. Tak perlu isi amplopnya berjumlah berapa, tapi niat dibalik itu yang harus dipertanyakan dan dipermasalahkan. Hal-hal kecil pasti akan menjadi besar lho.
Saya lantas pulang sebelumnya singgah makan ke warung. Dalam perjalanan pulang saya melihat ada poster menarik di sudut tembok salah satu gedung sekolah. Aha, cantik sekali ‘ibu’ ini. Sebuah poster besar yang mengiklankan acara konser si artis yang fotonya terpampang jelas, cantik sekali. Saya jadi ingat lagi, ketika konser itu berlangsung akhir bulan lalu sempat diprotes ibu-ibu pasalnya sponsor utamanya adalah produsen rokok. Soal rokok saya memang miris juga, maraknya iklan yang serba bebas bisa berakibat buruk bagi anak-anak. Lagi-lagi lingkaran setan untuk Indonesia soal rokok. Mirisnya saya karena rokok kini sudah merajai setiap aktifitas manusia-manusia. Industri rokok dengan kekuatannya sudah berhasil membius setiap kalangan, mereka mampu menggaet setiap ivent sebagai sponsor, entah itu lomba antar kampung, pesta olah raga, pentas seni mahasiswa, konser gratis, pertunjukan seni, apapun rokok seolah menjadi dewa penolong terselenggaranya kegiatan. Setahu saya di luar negeri setiap kegiatan seni yang melibatkan masyarakat banyak tidak diperkenankan menggunakan produk rokok sebagai sponsor utama. Dan kita membiarkan itu, kebebasan yang berakibat buruk buat kalangan yang belum pantas untuk merokok, anak-anak.
Saya makin ingat dengan keprihatinan para ibu-ibu yang mendemo sang artis tersebut. Sama seperti Alicia Keys yang konsernya di Jakarta juga ditentang karena masalah sponsor rokok, maka kali ini si cantik dalam poster yang saya lihat ini boleh sedikti berlega hati karena tidak ada pemboikotan yang berarti, konsernya cukup sukses. Ah, cantik mengapa tak cari sponsor lain? mungkin benar bahwa rokok tetap memberikan bantuan lebih besar ketimbang produk-produk lain dalam mensponsori sebuah acara. Entah sampai kapan lingkaran setan, soal kemacetan tadi, soal KKN dan soal sponsor rokok ini. Saya masih memandang wajah si penyanyi ini, terlihat cantik sekali…ah Rossa, Rosa…kamu gak merokok kan?
Jogjakarta, 13 Desember 2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Beta tunggu lu pung komentar di sini, danke...