Sabtu, 08 November 2008

TERJEBAK BADAI



‘..sontak terlintas di benak, saking paniknya. Tuhan apakah aku akan mati sekarang ini? dan badai terus-terusan mengamuk…’
Di udara angin beputar dan membawa puing-puing benda yang bisa dibawa terbang. Tukang becak mencari selamat tanpa peduli lagi becaknya sudah terbalik ditiup angin. Papan reklame berjatuhan, motor-motor di parkiran pun roboh. Di depan kampus Pertanian dan perpustakaan UGM, deretan pohon angsana roboh tak berdaya. Ketakutan terus meliputi sekeliling saya. Saya terjebak dalam badai di sebuh shelter trans Jogja, depan gedung fakultas pertanian UGM. Tak butuh dua menit ketika bangunan shelter yang mini itu seakan hendak dibawa angin, tercabut dari fondasinya.
Satu demi satu kaca nako berjatuhan. Kami berenam termasuk dua petugas shelter terjebak dalam badai besar yang anehnya hanya terjadi di seputaran kampus UGM saja. Beruntung ada sebuah bus trans Jogja mampir dan karena putting beliungnya kian menggila, sedangkan ruang berukuran 1.5 kali 7 meter sepertinya benar-benar akan dibawa pergi putting beliung akhirnya oleh petugas shelter kami diperbolehkan masuk ke dalam bus untuk sementara. Di dalam bus kulihat beberapa ibu-ibu mulai melafalkan doa-doa seolah beradu dengan suara gemuruh di luar sana, kemudian diikuti oleh sang pramugara bus, dengan lantang berteriak…Allahuakbar,dsb. Batinku tak keruan saja.
Tuhan apa aku akan mati sekarang?
Lima menit berlalu, badaipun berkurang. Waktu itu sekitar pukul 15.15 WIB. Ketika badai benar-benar mejauh, kami pun memberanikan diri keluar dari bus kembali ke shelter yang sudah tak beraturan lagi. Sebagian atap jebol, air hujan memenuhi seluruh ruang dan beberapa kaca serta satu sisi rolling door lepas. Nun di dekat shelter, di gedung koperasi mahasiwa UGM tenda-tenda pelindung pameran buku tak berbentuk lagi. Deretan buku-buku yang sebelumnya tertata rapi dan belum sempat diselamatkan (saking cepat datangnya angin putting beliung tersebut!) kini berserakan, basah dan sebagian terbawa banjir kecil hingga ke badan jalan.
Benar-benar 10 menit tertraumatis seumur hidup. Teringat kejadian yang sama traumatisnya dulu ketika setahun awal di Jogja disambut gempa dasyat. Yang berbeda kini gemuruh angin yang berputar serta derasnya hujan yang tak terkirakan sungguh membuat suasana mencekam sesaat. Kekalutan tergambar disetiap sudut mata, adakah bencana itu datang lagi, setelah dulu menghancur leburkan tanah Jogja? Sungguh trauma itu masih ada di hati masyarakata Jogja. Meski kini bencana itu datang hanya di sebagian Jogja, tanpa kompromi, begitu cepat datang dan pergi, hanya luka dan luka yang tersisa menambah beban batin yang belum sempat terhapuskan semenjak gempa dua tahun lalu. Angin putting beliung yang kali ini ‘hanya’ memilih meporakporandakan UGM dan sekitarnya, tidak di Bumijo Lor tempat kost aku, apalagi Malioboro dan Bantul.
Sepuluh menit (kira-kira) yang cukup membekas, menambah sedikit goresan pada luka lama akibat gempa yang mungkin belum terhapuskan.
Ketika hujan mereda, yang ada hanya sejuta komentar sebagai bentuk kilas balik. Ada sedikit gugup. ada kekalutan hingga ada tawa. Yah, tawa. Menertawakan detik-detik kejadian yang berhasil menghipnotis semua manusia yang ada, sehingga setiap orang memperlihatkan reaksinya masing-masing atas suatu situasi yang mengkhawatrikan (stressor). Bahwa ketika sedang kalut semua adalah tetap manusia. Manusia yang secara wajar memperlihatkan sisi-sisi lain dari diri yang mungkin jarang diketahui orang. Hal-hal bisa dianggap konyol. Ah, manusia.

Ahirnya batal sudah rencana membeli jurnal di kopma UGM. Kuputuskan saja untuk pulang ke kost. Di jalan petugas dan masyarakat bergotongroyong membersihkan badan jalan dari halangan batang-batang pohon yang tumbang. Jalanan macet.
Aku pulang dengan diam. Tuhan terima kasih untuk kesempatan untukku, kesempatan untuk menjadi lebih baik lagi. Aku belum siap Tuhan untuk mati…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Beta tunggu lu pung komentar di sini, danke...