Senin, 24 November 2008

Menolak ‘Lastri’ = Anti Kebudayaan???


Menolak ‘Lastri’ = Anti Kebudayaan???
Ini lanjutan dari tulisan pendek saya beberapa waktu lalu yang saya posting ke blog ini. Mengapa produksi film Lastri garapan sutradara Eros Djarot itu ditolak sekelompok masyarakat di kota Solo yang rencananya akan menjadi tempat syuting? Yang aneh bagi saya adalah penolakan ini datang dari kelompok masyarakat sipil. Mengapa terlalu buru-buru menilai, mengambil keputusan bahwa film itu bermuatan ideologi komunis? Padahal menurut kru yang terlibat, film ini kebetulan hanya mengambil setting periode tahun dimana tragedi PKI itu terjadi, dan sama sekali bukan PKI itu, namun soal drama percintaan atau roman percintaan (kira-kira begitu menurut Marcella Zalianti aktris yang juga terlibat dalam film Lastri).
Saya jadi makin heran dengan kondisi bangsa ini, kondisi bagsa yang katanya demokratis ini. Banyak ‘polisi moral’ dimana-mana, ‘jaksa/hakim moral’ berkeliaran mengurus sesamanya. Lantas dimana peran kepolisian, kejaksaan/kehakiman, peran pemerintah, juga lembaga sensor film?
Mengapa sih terlalu terburu-buru menilai? bisakah kita mempersilahkan bung Eros dan kawan-kawan bekerja, berkresasi secara bebas dan bertanggungjawab hingga nanti pada saatnya film itu akan sampai pada lembaga sensor film sebagai penyaring (filter), kalau memang ada indikasi komunis yah sudah mereka itu ditindak sesuai hukum yang berlaku (ingat, ini tugas polisi dan kejaksaan, bukan polisi atau hakim gadunga yang sok bermoral itu!) kalau tidak terbukti yah berarti film ini benar-benar dibuat dengan tujuan yang lain sama sekali bukan tujuan untuk ‘merayakan komunisme’. Saya kira hal ini lebih elegan ketimbang kita selalu saja berprasangka buruk dan terus berprasangka jelek terhadap sesama kita. Saya kira untuk situasi Bagsa kita yang kian carut marut ini, mungkin kita masih boleh berbagga hati dengan mempunyai karya kebudayaan / karya seni yang mengharumkan nama Bangsa kita bukan saja di dalam melainkan hingga keluar negeri. Salah satu bagian kecilnya yang sudah dilakukan teman-teman seniman film selama ini. Lebih baik ketimbang ulah segelintir (biar tidak terkesan menggeneralisir meskipun pada kenyataannya banyak sekali) pejabat-pejabat yang korupsi.
Dan jika pekerja seni/budaya saja selalu dibatasa-batasi terus terang apa lagi yang akan kita banggakan lagi dari negeri ini. Padahal beberapa waktu lalu sedikit kita boleh berbangga, beberapa film (yang didalam negeri justru mendapat ‘batasan’ itu) malah memenangkan beberapa penghargaan di luar negeri, Opera Jawa, the Photograph, Tiga Hari Untuk Selamanya,dll misalnya. Apalagi bahwa seniman-seniman besar seperti Eros Djarot, Garin Nugroho atau Riri Riza sudah sangat tidak perlu lagi untuk diragukan atau dibatas-batasin, karena saya yakin mereka juga punya hati, punya tanggungjawab moral untuk memilah dan memilih mana yang terbaik dalam berekspresi, toh ujung-ujungnya ini semua bukan demi kepentingan pribadi semata (seperti koruptor) melainkan untuk Bangsa ini juga kok.
Saya justru makin muak dengan pemerintah yang semenjak reformasi terkesan ‘membiarkan’ masyarakat/kelompok masyarakat sipil seolah menggantikan tugas polisi. Lihat saja ormas-ormas tumbuh subur pasca tumbangnya ORBA, mereka-mereka yang kemudian berlaku anarkis, merampas ha-hak orang untuk berkreasi, ini tak ubahnya seperti era ORBA dulu yang begitu represifnya. Lantas apa dong yang namanya reformasi itu? Tentu saya yakin ada banyak kepentingan dibalik ini semua, dan ini sama saja tidak akan membuat Bangsa ini maju. Percayalah kita akan terus-terusan begini jika prasangka itu terus ada, jika represi masih saja terjadi, jika kepentingan pribadi/golongan masih menguasai diri ketimbang rasa kebersamaan atau kepentingan bersama. Apa ini namanya demokrasi? Jika filmnya saja belum diapa-apakan sudah main menuduh komunis,dsb.
Mengutip pernyataan Indra Tranggono dalam Kompas (22/11/2008),
‘Mengadili karya seni ketika masih dalam proses sama dengan penistaan terhadap creator sekaligus perampasan hak berekspresi. Tindakan otoriter itu dapat dinilai sebagai ANTI KEBUDAYAAN’

Kesimpulan saya dari hal-hal diatas adalah jangan menilai sesuatu secara subjektif dan terburu-buru. Beri kesempatan orang untuk berkarya, toh ada saatnya ada kesempatan LSF/LSI hingga masyarakat untuk melihat dan menilai sendiri. Jangan suka bermain dengan hal yang namanya ‘menggeneralisir’, melihat sesuatu yang kecil kemudian memberlakukannya untuk keseluruhan, ini bahaya. Janganlah menjadi manusia yang egois, kita sadar bahwa hidup ini tak sendirian. Jangan memaksa orang untuk harus sependapat atau sepaham dengan kita. Hargailah perbedaan, karena kita ini Bangsa yang majemuk, plural, so, tak usahlah menyeragamkan!
Ada banyak hal yang patut untuk diurus dari Negara ini, yang negatifnya seperti korupsi itulah yang mestinya kita perangi bersama, bukan karya seni seseorang, toh Bangsa ini ‘punya muka’ di mata dunia juga karena prestasi seni dan budayanya toh? Karena cuma inilah kebanggaan kita (maaf, dengan sedikit pesimis!).
Cobalah untuk tidak lagi selalu berprasangka buruk terhadap orang lain. Kata orang cek dan ricek dulu, untuk itu butuh waktu, butuh proses, butuh analisa mendalam, jangan buru-buru!
Ayolah kita berlomba untuk semakin banyak membuat prestasi dibidangnya masing-masing sebanyak-banyaknya. Prestasi yang positif tentunya. Tanyailah ke diri, apa yang sudah saya lakukan untuk bangsa ini? (jawaban sama sekali tidak termasuk,…yang sudah saya lakukan adalah menjadi polisi moral, harus berprasangka buruk selalu, sudah berapa kali saya membatasi kreatifitas orang lain, bertindak anarkis atas nama moral, dll’...Kita berlomba melawan kemiskinan, Kapitalisme, Imperialisme, Neoliberalisme yang sudah sangat menjajah kita, ketimbang takut sama komunis (toh di negara Rusia saja sudah runtuh kok!)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Beta tunggu lu pung komentar di sini, danke...