Senin, 17 November 2008

Film Laskar Pelangi: Dualisme Rasa dari Seorang Penikmat Karya Riri Riza

Film Laskar Pelangi: Dualisme Rasa dari Seorang Penikmat Karya Riri Riza

Akhirnya setelah sekian kali rencana menonton film Laskar Pelangi tertunda siang ini (17/11) saya bersama teman-teman kost berkesempatan menonton film tersebut. Ini juga karena ketakutan kami bahwa film ini mungkin akan tergeser dari bioskop jaringan 21 Jogja (kami juga mengurungkan niat membeli CD bajakan, oh Tuhan terima kasih kami masih diberi hati yang ‘bersih’, stop bajakan!lho?! hehe). Ternyata dugaan kami bahwa mungkin film LP kini sudah tergeser pamor dari film-film lain (semisal Quantum Of Solace) namun ternyata meleset, kami masih harus mengantri dan puas dengan nomor kursi yang aduhai tak enakya, deretan terdepan tak tanggung-tanggung (posisi yang tak seimbang tentunya antara jarak pandang dengan gedenya layar, menyakitkan mata). ‘Yo weslah, dari pada gak sama sekali’, ujar salah satu temanku yang memang sejak premiere sudah ngebet menonton film ini. Novel LP sendiri sudah saya baca kira-kira awal tahun 2008 ini, ketika itu novel ini banyak dibicarakan dan sempat menjadi topik menarik dalam salah beberapa episode KICK ANDY di Metro TV (bagi saya ini salah satu TV Show terbaik yang dipunyai Indonesia saat ini, karena saya sudah muak dengan infotaiment, sinetron dan aneka acara lawakan ‘bodoh’ di TV-TV kita…sori buat penyuka acara-acara sejenis tadi). Ah, sudahlah mari kita bicarakan film LP saja (meski telat tak apalah saya punya penilaian sendiri yang semoga saja tidak basi bagi anda mengingat film ini sudah dibicarakan dimana-mana, bahkan boleh dibilang film LP adalah satu-saatunya film yang paling banyak dibicarakan sepanjang tahun ini. Saya kira andapun setuju.
Pertama kali memasuki studio, saya sedikit deg-degan sambil mengingat-ingat lagi isi novel LP yang nyaris sudah 4 kali saya baca. Belum lagi soal cuplikan film, resensi film hingga original soundtrack yang nyaris mematahkan semangat saya menontot film ini. Namun untungnya sejak awal kami sudah sepakat untuk berlaku seolah-olah adalah ‘orang baru’ yang belum tahu apa-apa soal film ini, lagian pikir kami toh novel tetaplah novel, film yah film, masing-masing terpisah dalam medium yang berbeda sehingga sah-sah saja isi film bisa sedikit ‘melenceng’ dari isi novel. Saat adegan awal yang berisi kilasan Ikal dewasa (Lukman Sardi), saya memang sedikit ‘tersiksa’, mengapa castnya harus Lukman? Oh, saya tahu Lukman aktor hebat, sanggta meyakinkan di film 9 Naga, hanya saja espektasi saya Ikal dewasa adalah bukan Lukman. Apa ini karena saya terlalu fanatik akan novel LP? bisa jadi. Namun saya sadar film yah film, bahwa interpretasi selalu tidakberarti tunggal (mungkin saya harus lebih banyak belajar soal ‘plural’, jamak dalam segala aspek, maafkan saya).
Berikut gangguan lain, saya salut dengan pembawaan Cut Mini sebagai ibu Muslimah, lumayan kental Melayunya, hal yang justru kontras dengan pemain-pemain lainnya. Karena ini film berset Belitong era 1970an maka semua ‘manusia’ yang terkait didalam film tersebut seharusnya bisa menampilkan ‘keseragaman’ perilaku akibat pengaruh budaya, salah satunya aksen Melayu itu sendiri. Sayapun maklum akan hal ini, mengingat pemain dari Jakarta pun harus bekerja keras dalam hal belajar aksen Melayu, para pemain lokal pun saya rasa demikian adanya, karena dugaan saya aksen Melayu era itu mungkin saja sudah berbeda dengan masa kini. Ada proses inkulturasi budaya misalnya. Lihat saja beberapa pemain lokal dari anak-anak, ibu-ibu hingga bapak-bapak yang kebagian dialog dalam film LP pun beraksen sangat tidak Melayu (yang justru lebih mirip Kejawaan/Kejakartaan seperti yang sudah umum disetiap daerah, akibat gencarnya ‘EYD baru’ yang akhir-akhir ini marak tersiar lewat media-media seperti TV. Maaf lagi jika dalam hal ini saya terlalu menyeragamkan.
Soal lain, jika Lintang dan spirit yang menyertainya, yang justru menjadi pijakan Andrea ketika bertutur dalam novel, Lintang dan semangat, Lintang dan kecerdasanya sekaligus kemiskinanya, Lintang dan ketidakadilan,dll, justru malah kurang greget di filmnya. Tokoh Ikal pun yang seharusnya bisa jadi penyambung spirit ‘Lintang’ (karena ide menulis novel, keberhasilan Ikal,dll semuanya berdasar dari jalan hidup Lintang itu sendiri) toh akhirnya seolah berhimpitan (lalu tersisih) dengan tokoh-tokoh lain yang juga diangkat. Berbeda dengan film Denias, yang jelas menempatkan Denias sebagai tokoh sentral (maaf lagi jika saya membandingkan LP dgn film ini karena bagi saya spirit, tema juga isi cerita sedikit miriplah).
Gangguan lain, yakni kisah Lintang yang berulang-ulang digambarkan Riri Riza terjebak ‘kemacetan’ disebuah jalan gara-gara seekor buaya besar sering berbagi tempat ‘bermain’ dengan pengguna jalan setapak lainnya. Saya teringat adegan yang berulang-ulang pada film Riri yang lain, saat Nicolas Saputra beberapa kali melakukan adegan kencing dalam perjalanan Jakarta-Jogjakarta di film 3 Hari untuk selamanya. Mungkin ada pesan dibalik itu, namun sayang bung saya jadi bosan dan tak tahu apa artinya ketakutan Lintang pada buaya atau gaya kencingnya Nicolas, he-he.
Ada hal lain yang kurang greget misalnya adegan tarian karnaval kok koreografinya kurang dimaksimalkan yah (juga koreografi dalam adegan Mahar bernyanyi lagu Bunga Seroja dan teman-teman yang lain menari-nari, terlalu kaku/dipaksakan) dan juga adegan perjalanan ke pulau untuk menemui dukun, sepertinya dihilangkan saja tak masalah bagi keseluruhan film ini.
Namun dari semua itu, ada banyak hal yang ‘menyentuh’ mata, hati dan telinga saya. Saya kira Riri adalah salah satu sineas muda berbakat yang kita punya. Kerjasamanya dengan Mira Lesmana selalu membawa hal-hal tak terduga. Music scoring yang digarap pasutri Aksan Sjuman dan Titi Sjuman lumayan bagus sih dibeberapa adegan sangat ‘kawin’ banget. Misalnya dalam beberapa adegan yang menceritakan Lintang dan keluarganya, wah menyentuh sekali dan pesannya justru tersampaikan. Bung Alex Komang meskipun adegamu sedikit namun sudah sangat menghidupkan film ini. Sayang kok hanya lagu dari Ipang, Verys dan Nidji yang hanya mengiringi secara utuh film ini? Mana movie soundtrack misalnya Sherina, Gita atau Float?
Sinematografinya pun lumayan bagus. Adegan kejar-kejaran di sisi-sisi batuan pantai Belitong, atau adegan pembicaraan antara Lintang dewasa dengan Ikal dewasa di tepi pantai saat senja yang diambil dari sisi atas wah bagi saya keren tuh adalah dua dari banyak gambar-gambar indah di film ini. Disisi lain penasaran saya akan sosok nyata dari pohon filicium yang banyak ditulis Andrea dalam novel LP bisa saya ketahui, oh itu toh yang namanya pohon Filicium atau pohon kere itu.
Akhirnya saya boleh berbangga hati bisa berkesempatan menonton lagi film karya Riri dan Mira (Duo partner yang hebat!), semoga kedepannya lebih baik lagi (kini saya menunggu karya Riri yang terbaru, Drupadi, sepertinya akan seru nih he-he, akan seperti Opera Jawanya Garin Nugrohokah?).
Film LP terlalu banyak mengangkat unsur menarik dari novel namun justru terasa nanggung oleh saya pribadi. Gimana nih?
Terima kasih buat kedua teman kost saya, Gusti dan Sayoto yang sudah membantu saya mewujudkan rasa penasaran akan film LP yang hampir basi ini. Terus terang belakangan keinginan menonton film ini selalu tertunda karena teman nonton selalu membatalkan (* gak akan mau nonton sendirian) atau antrean di studio 21 yang selalu padat merayap.

1 komentar:

Beta tunggu lu pung komentar di sini, danke...