Selasa, 25 November 2008

Bigorexia, Ketika Pria Depresi Akibat Gagalnya Membentuk Tubuh Berotot



Bigorexia tak ubahnya Anorexia atau Bulimia Nervosa yang dialami kaum pria, bedanya Bigorexia ini dialami oleh kaum laki-laki yang terjadi ketika hasrat untuk memiliki tubuh berotot gagal sehingga menimbulkan depresi, berupa ketidakpercayaan diri. Umumnya dialami oleh pria dengan badan yang kurus. Ada semacam ‘obesesi’ untuk membentuk tubuh atletis, namun gagal karena ketidakpercayaan diri atau pola makan yang tidak sesuai sehingga bukan tubuh berotot sekaligus sehat yang diperoleh melainkan tubuh yang rentan terhadap penyakit.
Bulimia, Anorexia maupun Bigorexia sebenarnya erat juga dengan bagaimana seseorang mencitrakan dirinya yang bisa jadi karena pengaruh ‘standar’ sosial atau stereotipe sosial hingga media massa yang lahir di masyarakat bahwa perempuan dicitrakan kurus dan langsing, sedangkan pria digambarkan bertubuh atletis, besar penuh otot (muscle). MaCreary,dkk pada tahun 2003 melakukan beberapa penelitian di USA dan Kanada, dengan hipotesis bahwa pria dengan latar belakang budaya patriarki yang tradisional mengembangkan sifat maskulin secara utuh sekaligus mengindikasi keinginan yang tinggi dalam hal memiliki tubuh berotot (muscularity), dibandingkan wanita dengan peran gender feminin yang kental. Artinya bahwa sifat maskulin akan berasosiasi positif dengan ‘muscularity’ dibandingkan sifat feminin yang berasosiaso negatif dengan muscularity. Penelitian tersebut menggunakan alat ukur psikologis utama yakni Drive for Muscularity Scale (DMS) disamping beberapa alat ukur pendukung semisal sosialisasi peran gender (EPAQ) dan skala konflik peran gender (GRC Scale).
Menarik bahwa pengaruh budaya sangat kuat dalam membentuk citra diri seseorang. Ada stereotype yang berekmbang bahwa pria yang kurus cenderung dianggap lebih feminin dibandingkan pria yang berotot yang otomatis akan berasosiasi dengan sifat maskulin, hal inilah yang mendorong banyak remaja pria hingga pria dewasa di Amerika dan Kanada begitu memperhatikan bentuk tubuh mereka dengan rajin fittnes, mengatur pola makan hingga diet khusus menambah masa otot atau mengurangi masa otot. Hal inilah yang kemudian mendatangkan efek tersendiri bagi seseorang yang gagal membentuk tubuhnya berotot, bisa karena secara genetika seseorang memang berbadan kecil/kurus atau sulit meningkatkan masa otot atau sebaliknya karena pola makan yang diluar kontrol, bukannya mendapatkan tubuh yang berotot melainkan tubuh gemuk penuh lemak. Sehingga orang tersebut akan semakin mudah mengalami stres hingga depresi.
Di Indonesia sendiri sebenarnya belum ada penelitian yang konsisten meneliti Bogorexia ini, sehingga belum jelas kondisi yang sebenarnya. Namun bisa jadi bahwa hal tersebut akan terjadi juga di Indonesia. Memang budaya pencitraan maskulin di Amerika tentu berbeda dengan di Indonesia, dan bahwa kondisi fisik orang Indonesia jelas berbeda dengan orang Amerika, sehingga mungkin dugaan saya bahwa sejatinya masyarakat kita tidak terlalu mempermasalahkan citra tubuh hingga bentu tubuh ideal dan stereotipe signifikan bagi pria dan wanita, namun mengingat globalisasi juga terjadi dalam bidang sosial/budaya yang kini sudah begitu kentalnya mewarnai kehidupan masyarakat kita. Untuk itu jelas ada kaitannya dengan industri pencitraan ala Amerika (Amerikanisasi). Media seperti TV, Koran, Internet atau majalah sudah begitu terbukanya memaparkan ‘citra ideal pria Amerika’ di Indonesia yang kemudian seolah sudah menjadi budaya kita sendiri. Lihat saja segala pencitraan dalam iklan sabun mandi dengan model seorang perempuan cantik, putih dan langsing atau iklan rokok yang menampilkan sesosok pria berkulit putih, bertubuh tegap, berotot, dan macho. Bukan tidak mungkin bahwa standar maskulin Indonesia akan berubah ke standar maskulinnya orang Amerika. Produk susu berprotein tinggi khusus pria (seperi produk L-Men) yang sudah menjadi konsmumsi ‘lumrah’ warga di Barat, kemudian juga menjangkiti konsumen pria di Indonesia (mengingat minum susu itu sendiri juga bukan bagian dari keseharian orang Indonesia pada kenyataanya, apalagi jika susu khusus berprotein tinggi). Sehingga bisa jadi Bigorexia pun sudah ada di masyarakat kita, khususnya kaum remaja putra hungga pria dewasa. Ini berarti bahwa Amerika dengan paham ekonomi kapitalismenya sudah berhasil memodofikasi budaya ‘muscularity’ sekaligus budaya konsumsi susu berprotein tinggi sebanyak-banyaknya, terasuk suplemen pendukung otot, alat-alat fitness, pakaian/fashion dan gaya hidup yang keseluruhannya merangkum citra diri maskulin (atau feminine buat wanita) dengan gaya hidup hedonis atau konsumtif yang tentunya menguntungkan bagi produsen-produsen raksasa Amerika.
Ah, jika sudah begini saya sedikit pesimis, bukanah kini sulit membedakan mana Indonesia mana Amerika? Globalisasi jelas membuat segalanya berubah, termasuk mungkin perilaku kaum pria Indonesia yang salah satunya adalah BIGOREXIA.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Beta tunggu lu pung komentar di sini, danke...