Rabu, 22 Oktober 2008

Mutilasi dan Kualitas Hidup Masyarakat Indonesia

Mutilasi!
Mendengar kata diatas saya selalu merasa was-was dan sedikit aneh-takut bercampur. Salah satu berita kemarin pagi (21/10) soal seorang ibu yang tewas termutilasi, bahkan hingga dimakamkan masih ada organ tubuh yang masih hilang terpaksa harus ‘berpisah’ sementara sampai organ-organ itu ditemukan dan mungkin baru akan dimakamkan kemudian. Itupun jika organ-organ itu benar diketemukan jika saja masih aman dari serbuan (maaf) anjing misalnya. Soal yang satu ini memang diluar kemampuan kita (karena anjing atau binatang lainnya sudah tentu tak akan bilang bahwa ‘hei manusia, kemarin pagi aku sudah menyantap sepotong tulang…’. Semoga saja tidak terjadi.
Saya teringat ketika kecil dulu saya mendengar banyak kasus pembunuhan misterius (petrus) dan bahkan pembunuhan itu menjadi ajang jual beli organ tubuh korban yang dibutuhkan dalam dunia medis. Hingga kini cerita itu kian misterius tertanam diingatana saya. Entah kapan saya bisa memperoleh jawabannya secara jelas. Anda punya cerita nyatanya?
Mutilasi,semenjak heboh kasus Ryan sepertinya ‘metode’ ini mulai banyak dipilih para pembunuh belakangan ini (yang berencana atau yang terpaksa karena kalap). Seolah Ryan memberi contoh atau inspirasi (‘variasi’ metode membunuh bahkan sebagai cara untuk menghilangkan jejak seperti kematian pria bertato beberapa waktu lalu). Hal ini cukup beralasan karena nyatanya setahun ini angka pembunuhan dengan cara memutilasi korbannya cukup signifikan. Mutilasi dipakai juga dengan tujuan menghilangkan jejak korban juga sang pembunuh itu sendiri. Misalnya saja nasib manusia bertato Macan itu, hingga kini belum jelas siapa pemilik bongkahan lengan bertato pasalnya teman-teman setubuhnya seperti tangan dan sidik jari, kepala dan organ-organ signifikan yang secara kasat mata bisa mengidentifikasi identitas korban yang paling mudah itu keburu dilenyapkan sang penjagal misterius itu. Jadi kesimpulan sementara dari saya adalah bahwa ada proses pembelajaran disini, bahwa secara langsung atau tidak, sadar atau tidak berita pembunuhan dengan cara mutilasi sudah diinternalisasi semua orang yang kemudian menjadi pilihan berencana atau pilihan sesaat karena kalap misalnya ketika seseorang melakukan tindak kejahatan.
Menghilangkan nyawa orang lain dengan sengaja atau tidak jelas melanggar hukum. Bagi saya peristiwa pembunuhan belakangan ini yang terjadi beserta sekian tindak kejahatan lain yang menyertainya atau berdiri sendiri-sendiri jelas mengindikasikan kondisi psikis masyarakat bangsa ini. Jelas juga bahwa angka kriminalitas yang tinggi di Indonesia menjadi jawaban seberapa berkualitasnya manusia-manusia di Negara kita, kualitas psikis tentunya seperti emosi/afeksi, rasionalitas/kognitif,dsb. Ada yang salah dengan kesehatan psikologis masyarakat atau dengan kata lain sakit. Yah, sakit.
Kriminalitas dari membunuh kemudian
memutilasi, merampok/mencuri (termasuk
juga KORUPSI), pengedaran Narkotika,
pembabatan hutan, suap sana suap sini, dan
semua tindak kejahatan yang saking banyaknya tidak
dapat saya sebutkan satu per satu ini.
Yang sakit bukan saja kalangan masyarakat bawah namun juga ‘diidap’ hingga ke kalangan atas, tidak konglomerat, tidak pengusaha tidak pejabat pemerintaha semuanya sama saja. Jika banyak pemimpin saja ‘sakit’ bagaimana dengan rakyatnya?
Tekanan hidup bisa jadi menyebabkan penyakit yang jika tidak ditanggapi serius akan membahayakan kelangsungan bangsa ini. Masalah ekonomi mungkin menjadi salah satu pokok yang hingga kini belum jelas kearah mana terang itu ada. Harga sembako selangit, minyak tanah mahal, gas pun apalagi. BBM mahal yang otomatis melumpuhkan semua aspek betapa BBM yang masih menjadi energi andalah dari semua sektor (produksi,konsumsi dan distribusi) alhasil semua kebutuhan hidup berlomba menuju langit, dan sekali lagi tinggalah rakyat kecil yang terinjak-injak, kehabisan napas karena tak ada pegangan, tak ada kapal bantuan sedangkan yang kaya, bisa selamat tanpa tercekik lehernya karena mereka punya kapal. punya segalanya yang bisa membantu.
Belakangan ini di media cetak, Radio dan TV muncul kampanye sebuah partai tentang kemajuan bangsa selama orang partai ini memimpin. jelas bahwa jika namanya iklan penguatan citra ini selalu yang baik-baik saja, selalu bermain angka, selalu kuantitas dibandingkan kualitas. Saya lantas berpikir ah tak usah berbicara hingga mulut berbusa soalng angka ini meningkat angka itu menurun (arti positif),dll, namun pada kenyataannya, kualitas di lapangan? yah, sama saja, tidak signifikan, tidak berarti, tidak berasa manfaatnya. Soalnya kalau berbicara angka saya bisa menyebutkan ini sepuluh atau ini nol, saya bisa memanipulasi,dsb, namun sama sekali tak akan menyentuh/menjangkau rasa/perasaan/kualitas. Dan kasus-kasus kriminalitas 5 tahun belakangan ini tentu bisa menjadi catatan penting akan kondisi bangsa ini, kualitas manusia bangsa ini. Belum lagi persoalan kesenjangan sosial yang kian jauh langit dari bumi. Banyak orang kaya di negara kita(bahkan terkaya ditingkat regional) namun yang miskin? tak kalah banyaknya.
Kembali lagi soal mutilasi dan sejumlah laku kriminal lainnya bisa teratasi. Secepatnya bisa ada pemimpin yang bisa lebih baik lagi memimpian Negara ini, membawa kepada kesejahteraan yang nyata, kualitas hidup yang baik, nyata tanpa angka-angka semata. Dengan demikian bisa jadi membuat kekerasan dan kriminalitas berkurang bahkan lenyap. Tak ada tekanan batin, tak ada stress karena keluarga belum makan, tak ada tekanan ini, tekanan itu. Semua sejahtera, adil merata, Indonesia jaya. Semoga. Amin.
(Bumino Lor, 22/10/2008)

2 komentar:

  1. Semua komentar nggak di approve ya, dek? :D hehehehe

    BalasHapus
  2. gak..juga kok, selalu saya cek n approve. Mungkin lum semua aja. Thanks untuk masukannya...salam

    BalasHapus

Beta tunggu lu pung komentar di sini, danke...