Jumat, 17 Oktober 2008

In Memoriam Suzana



Waduh kaget sekali ketika mendengar berita kematian Suzana Kamis sore (16/10) kemarin. Saya mengenal belau melalui karya-karyanya semenjak SD, ketika itu sering orang-orang rumah menyewa VCD film-film Suzana untuk kami tonton bersama di rumah. Sehingga saya lebih banyak tahu Suzana dalam film ketimbang Suzana dalam keseharian. Saya ingat betul salah satu filmnya yang dimainkan bersama Mieke Wijaya (berperan antagonis di film ini), saya lupa judulnya namun film itu bagi saya begitu menyeramkan, aneh dan tak ayal membawa dampak yang tak mengenakan buat saya yang masih di bangku kelas enam SD waktu itu. Ada satu adegan ketika Suzana yang dikursi roda didorong Mieke hingga terjatuh dari lantai dua sebuah rumah sehingga Suzana tewas dan kemudian berubah wujud menjadi hantu yang membalas dendam. Waduh, saya begitu takut sekali. Atau ketika beliau bermain bersama Clift di film yang berlatar cerita 'inses' Sangkuriang (juga diceritakan atau ditandaskan kembali oleh Ayu Utami dalam novelnya Bilangan Fu) tak beerakhir disitu, mereka kemudian menikah dalam kenyataanya. Hubungan yang terpaut usia yang jauh sebagaimana yang terjadi pada legenda Sangkuriang.
Beberapa tahun kemudian setelah lama menghilang, dan ketika saya sudah di bangku kuliah, sosok Suzana yang begitu berbedanya (namun imej ‘horor’ masih terasa kuat melekat) hadir kembali bukan saja dalam sebuah karakter di sebuah film namun juga karakter asli, pribadi seorang Suzana perlahan saya ketahui. Menarik memang sepak terjang perempuan keturunan Belanda ini. Dengan karir yang dimulai pada usia remaja, 16 tahun, yang oleh pengakuan rekan artis bahwa dulu sewaktu lagi tenar, Suzana adalah salah satu artis dengan bayaran termahal. Saya bisa membayangkan hal itu, ketika dalam dua dekade 70an-80an banyak film horror yang kerap memasangkan wajahnya sebagai pemeran utama.
Bagi saya pribadi Suzana adalah sosok yang istimewa, unik dan tak ada tandingannya deh hingga detik ini. Imejnya begitu kuat tak terpatahkan siapapun. Ketika kemunculannya beberapa tahun belakangan ini kharisma yang membawa kesan ‘mistik’, sorot matanya, tenang dengan cara bicara dan penampilannya yang khas dengan bunga melati (dugaan saya beliau mungkin juga melakukan hal-hal spiritualitas kejawen, dengan kebiasaan berlaku tapa, nembang jawa,dsb), bagi saya sudah membuatnya semakin tak tertandingi siapapun. Hingga dihari kematiannya pun seolah menandaskan sosoknya yang seolah kelihatan mengagumkan namun tak terjawabkan (he-he sori kalau bahasanya terlalu ‘keinfoteinmenan’…). Memang demikian adanya bagi saya pribadi. Sehingga pantaslah dunia perfilmaan tanah air boleh berduak atau merasa kehilangan. Karena bagi saya sedikit seniman Indonesia yang punya imej yang melekat dan kuat entah hingga kapan. Misalnya menurut saya ada tokoh seniman lain seperti alm. Benyamin Sueb, dan alm. Chrisye. Salah satu yang lain adalah Suzana. Merekalah yang pernah ‘berkuasa’ hingga dua dekade atau lebih dan cukup sukses membangun emej atau citra diri dengan baik. Mereka masing-masing bagi saya pribadi punya karakter kuat yang melekat dan hingga kini belum ada tandingannya.
Akhirnya saya hanya bisa berharap dan mendoakan semoga almarhum Suzana Martha Frederica Van Osch bisa beristirahat dalam kedamaian abadi bersama Yesus Kristus di Surga. Amin.
(Saya punya usul buat panitia FFI 2008 Desember nanti mungkin bisa memasukan Suzana dalam nominasi penerima ‘life time achievement FFI 2008’ karena dedikasi beliau selama 50 tahun berkecimpung di dunia perfilman tanah air (karir dimulai usia 16 tahun hingga wafat di usia 66 tahun) saya rasa sudah cukup bukti dan perlu untuk dihormati atau dihargai.)
Selamat Jalan Suzana, rest in peace.
(foto from www.kapanlagi.com)

1 komentar:

  1. iyaa mas, sereeeeeeeeeemm >.<
    masa kecilku juga sering nonton suzanna

    BalasHapus

Beta tunggu lu pung komentar di sini, danke...