Rabu, 15 Oktober 2008

Seno Gumira Ajidarma, Flores, Saya dan Masyarakat Flores!




Hari ini tak ada kuliah, saya pakai untuk memenuhi janji dengan mbak Tia seorang mahasiswa kedokteran gigi UGM untuk melakukan control atas salah satu geraham saya yang ditambal mbak Tia minggu lalu. Saya memilih melakukan penambalan gigi bukan dengan dokter tetapi dengan mahasiswa yang sedang praktik, alasannya karena biar lebih murah. Saya pun tak takut karena dalam pengerjaannya terus dikontrol dosen pembimbing. Saya adalah ‘pasien’ setia Rumah sakit kedokteran gigi UGM sejak dua tahun lalu, karena bagi saya perawatan gigi sangat penting mengingat dua gigi geraham saya telah ‘almarhum’. Sebenarnya agak telat juga, mengingat perawatan gigi seharusnya digalakkan sejak dini. Kini saya semakin rajin menggosok gigi setelah makan dan rajin membersihkan karang gigi. Meski fasilitas yang saya pilih tadi tergolong ‘murah’ tadi, namun lebih mendingan daripada tidak sama sekali.
Jam 12 siang di lantai 2 RS Gigi UGM, sesuai janji antara saya dengan mbak Tia lewat SMS. Jogja beberapa hari ini sungguh sangat panasnya. Tak biasa saya begitu berkeringatnya. Setelah proses control terlaksana kurang lebih 30 menit, karena ada berapa titik yang harus di ‘ampelas’ lagi biar rapi dan tidak terjadi tumbukan antara gigi tambalan dengan gigi diatasnya.
Jogja masih panas. Saya menyempatkan diri untuk menikmati bakso urat kegemaran saya di samping RS Sardjito. Meski cuaca panas tak menyurutkan niat saya untuk menikmati bakso ini. Dan isu virus hepatitis A yang merebak beberapa waktu lalu yang konon dimulai di warung-warung tenda seputaran kampus UGM, tidak menyurutkan niat saya untuk memesan bakso urat itu. Ah, semoga saja tidak.
Udara makin terik diposisi jam 2 siang tak mengurungkan niat saya untuk membawa langkah saya menuju toko buku Toga Mas. Tak ada uang untuk membeli buku namun kemudahan di TB yang membolehkan pengunjung untuk membaca sepuas-puasnya tanpa harus membeli membuat saya selalu keranjingan untuk datang membaca sepuasnya hingga kedua kaki terasa letih karena terus-terusan berdiri. Tak masalah. Anak kost gitu loh…sebuah alasan klasik saya kira. Toh saya sudah terbiasa membaca. Membaca apa saja yang bisa dibaca. Namun tidak semua rak saya jejali, paling banyak yah di rak majalah, rak buku-buku sosial dan filsafat, rak Sastra dan yang terakhir rak Psikologi.
Tetap dari semua yang saya baca, salah satu artikel dari penulis favorit saya, bung Seno Gumira Ajidarma, tentang catatan perjalanannya ke pulau Flores. Floreslah yang begitu menarik perhatian saya karena saya masih terbilang mempunyai darah Flores yang kental dari ayah saya yang asli suku Lio dan juga bahwa saya pernah tinggal 3 tahun selama saya bersekolah di SMA Syuradikara Ende atau bahwa Flores sudah begitu kuat di hati saya karena acapkali sedari kecil saya selalu melewati liburan sekolah di pulau Flores. Flores yang indah, Flores yang kaya, Flores yang unik, Flores yang begitu berwarna dan harum, karena Flores adalah bunga. Bunga yang begitu memikat orang kulit putih yang pertama kali mendarat di Pulau yang subur karena dilalui jalur gunung berapi sehingga konon Flores tidak lain adalah bunga itu sendiri (flowers), pulau bunga. Begitu juga yang saya kira dialami oleh bung Seno Gumira. Saya tidak tahu persis soal sejarah asal muasal nama pulau ini dan kira-kira jika benar karena alasan banyak bunga yang mereka (orang kulit putih/rohaniwan) lihat, apa gerangan bunga-bunga itu? Saya harus mengetahuinya tekad saya dalam hati.

Tetapi tulisan Seno begitu menarik. Ia mengambarkan suasana Flores yang dijumpainya begitu berbeda seperti yang saya rasakan selama saya berada di Flores. Saya sadar bahwa persepsi setiap orang berbeda karena pengalaman masing-masing individu. Tentu saja saya sangat jauh pengalamannya dengan bung Seno. Menariknya justru tulisan Seno ini terasa unik dari saya sendiri yang adalah orang Flores itu sendiri. Misalkan saja soal cara Ia membaca keadaan bung Karno waktu dibuang selama periode 1934-138, soal pohon sukun yang konon begitu mengisnpirasikan bung Karno dalam mewujudkan cita-citanya memerdekakan Indonesia, juga sutuasi-situasi di rumah pengasingan itu.
Berikut cerita pengalaman Seno yang kedinginan di Bajawa, menikmati sup hangat dan keterkejutannya mendengarkan musiknya Jimy Hendrix di kota sekecil Bajawa. Soal pengalaman orang Flores dengan Kartika Affandi, puteri pelukis terkenal. Atau hal menarik lain tentang kondisi terkini dari binatang bernama Komodo, dengan nasibnya yang tentu. Saya pun membayangkan saya adalah seorang wartawan seperti bung Seno, melanglang buana ke pulau yang jauh berbeda juga unik. Saya seolah berkelana bersama bung Seno menikmati indahnya Flores hingga akhirnya saya sadar diri, bahwa sebagai orang Flores saya sungguh sangat tidak mengenal betul daerah saya. Saya begitu malu karena sebagai tuan rumah saya begitu gagapnya mengenal tanah saya sendiri. Saya seperti terasing di daerah asal saya ketika membaca tulisan itu. Mungkin jadi pertanyaan buat senegap orang Flores sendiri, mengingat beberapa minggu yang lalu saya membaca di kolom surat pembaca Koran Kompas, soal pengaduan seorang pengunjung yang tinggal di Jakarta yang prihatin akan kondisi terkini dari rumah bersejarah bung Karno itu karena sangat tidak terurus. Bagaimana peran masyarakat sekitar? Pemda setempat? Juga soal sedikit keprihatinan bung Seno akan kondisi reptil raksasa bernama Komodo, yang kian terancam punah, kian terpinggirkan perhatian kepadanya.
Melihat hal-hal diatas saya jadi berpikir bahwa potensi pariwisata alam juga budaya Flores juga NTT pada umumnya masih sedikit untuk disentuh dan dikelola secara profesional. Saya juga teringat komentas dua perancang busana papan atas Indonesia, Oscar Lawalata dan Edward Hutabarat yang pernah berburu kain etnik khas NTT namun kesusahan karena potensi tersebut belum disadari Pemda sebagai hal yang bisa mendatangkan kesejahteraan bagi rakyat. Saya tak jadi malu namun kian bersemangat untuk kelak bisa menjadi bagian dalam usaha pengembagan hal-hal diatas tadi.
Ketika bung Seno menutup tulisannya dengan mempertanyakan keseriusan Indonesia menjadikan Flores menjadi bagiannya dan keseriusan Flores menjadikan dirinya bagian dari NKRI, sejatinya menjadi cerminan juga Tanya buat kita semua, teristimwa buat saya dan anda yang masih mengakui diri sebagai orang Flores, orang NTT, Flobamora. Saatnya sebelum kita mempertanyakan keyakinan Indonesia atau pemerinta pusat akan nasib Flobamora maka kita pun sudah harus lebih dahulu mempertanyakan ke diri kita sendiri, sudah siapkah kita menjadi bagian dari Indonesia seutuhnya, denga berusaha mempertahankan budaya, keunikan alam dan tradisi, bahkan mengembangkannya demi kesejahteraan Flobamora kedepan?
Saya sepatutnya berterima kasih kepada bung Seno yang sudah bersedia untuk ketiga kalinya mengunjungi Flores dan sudah begitu kritisnya memahami dan menggambarkan situasi di Flores ala bung Seno atau dari sudut pandang seorang Seno Gumira, karena dengan ini sudah menantang saya untuk lebih kritis lagi dalam melihat Flores saya sendiri…Ayo, anda yang mengaku diri orang Flores, buat sesuatu demi Flores yang lebih baik. Kita semua, ayo!
(sekembalinya dari Toga Mas, saya menyempatkan diri ke sebuah swalayan dekat bundaran UGM, dan dicegat bebrapa anak muda relawan dari greenpeace Indonesia. Saya tertarik karena di hati yang dalam saya sebagai manusia biasa juga ikut prihatin dengan kondisi bumi saat ini. Sejak pagi saya selalu mengumpat soal cuaca Jogja yang panas ini juga soal kemacetan di jalanan Jogja yang terus mengancam jika dibiarkan, maksdunya jika belum ada kebijakan membatasi kepemilikan kendaraan bermotor pribadi, maka saya bisa membayangkan situasi Jogja 10 tahun lagi, pasti akan menyusul Jakarta he-he. Ah, saya tak boleh tertawa, dan memang setelah mendengar penjelasan panjang lebar dari relawan green peace ini saya semakin terus menyalahkan diri saya juga orang lain yang masih saja egois dan mengabaikan masa depan lingkungan. Meski diakhir pembicaraan teman relawan ini memeinta kesediaan saya mendonasikan sejumlah uang ke rekening greenpeace, namun saya tolak dengan sopan…mengertilah mas, anak kost. Lantas dalam hati saya begitu malunya bukan pada ma situ tetapi pada diri saya yang acapkali mungkin saja berperan dalam pengrusakan lingkungan tersebut.
Saya lantas jauh berpikir, bagaimana nasib Flores saya 10 atau 20 tahun kedepan, jika hutan-hutan disana terus digunduli, jika para Pejabat terus berkongkalongkong dengan pengusaha mengebor habis-habisan perut bumi di perbukita Mollo di Timor sana yang kaya Marmer itu. Padahal bukit-bukit kapur itu sudah terbukti telah menyumbangkan air bersih bagi sebagian besar penduduk pulau Timor dari barat hingga timurnya…
Saya makin tak kuasa melanjutkan tulisan saya ini saking malu dan tak tahu dirinya saya sebagai manusia…
Akan saya lanjutkan saja nanti. Mohon maaf…)

3 komentar:

  1. horeeeeeeeeeeeee *jitak2 Christ*

    BalasHapus
  2. Terima kasih buat yang sudah komentar...ayo berbuat sesuatu demi NTT

    BalasHapus
  3. yah..ini dia. saya punya darah Flores, saya punya ikatan emosional yang kuat dengan Flores, saya pernah sekolah di SMU hebat yang dipunyai Flores, sepatutnya saya berbagga hati dan mencintai Flores (juga Flobamora pada umumnya!)...so sudah saatnya anak muda Flores berbuat sesuatu deh dimulai dari sekarang...Seno Gumira saja bisa melihat Flores dengan kacamatanya yang kritis dan begitu mengagumi Flores maka kita yang generasi asli Flores harus berbuat lebih dari Seno...

    BalasHapus

Beta tunggu lu pung komentar di sini, danke...