Rabu, 03 September 2008

Unttitled


24 April 2005. Aku sedang menjelajahi ruang pribadiku sendirian. Cukup gelap karena lampu sengaja kupadamkan (sudah diedit-dikembangkan)

Aku terlahir sebagai pribadi yang unik, tersusun atas beberapa ruang kosong namun akan wah jika itu dimanfaatkan. Bukan kataku tetapi kata kakak dan temna-temanku. Aku butuh beberapa rangsangan untuk membuatnya berisi dan berwarna. Seperti pelangi semakin semarak akan semakin indah. Namun sayang dibeberapa sudutnya kelemahan adalah mimpi buruk. Ia hitam dan sewaktu-waktu meruntuhkan ruang kosong itu atau membuatnya tetap menjadi kosong. Ada saat ia akan buas sebagai sebuah kelemahan. Jika aku biarkan ia kemudian bisa menjajah jiwaku, menjadi hitam dan menyamarkan diri. Ia ada namun tersamar karena ia sudah menguasaiku. Ia ada namun terselubung dalam lorong terdalamku. Ruang pribadi. Saat aku berontak, ia sekuat tenaga muncul dalam rupa lain, proyeksi warna yang bukan aku, sinar yang tak baik padaku. Aku terlalu terbelit-belit, karena mungkin sekarang ini ketika menulis ini ia ada disudut ruangku, bersiaga dengan seragam hitamnya. Ia bernama kelemahan. Ia yang beberapa tahun belakangan sedang kuperangi. Butuh tenaga ekstra. Anda punya waktu tolong bantu aku. Kata orang ia perlu diperangi. Kemalasan adalah sahabat terbaiknya. Celaka jika kau sendiri memeliharanya. Aku pernah menikmati kehadirannya minta ampun sampai aku tak tahu siapa aku.

Butuh waktu untuk bisa mengenal kembali diriku. Seperti teori tabularasa aku adalah kertas putih yang terlahir. Keluargaku adalah pensil dan cat air yang pertama kali mengisi lembaran hidupku. Ruang-ruang dalam jiwaku. Kemudian lingkungan hadir membawa tawaran yang kompleks dan semarak. Pada titik ini kekuatan adalah pemain utamanya. Seberapa corak dan bangunan ruang itu membentengi diriku. Semua tahu lingkungan bisa memberi warna tersendiri sekaligus menyebar ancaman lewat virus-virus nakal. Butuh kekuatan. Corak yang kumaksud adalah benteng pertahanan itu, nilai moral dari keluarga. Aku bisa menerima putih dan hitam sekaligus. Pilihan tetap ditanganku. Hanya saja kawan, hitam tak selalu nakal.

Semakin banyak pengalaman yang kau raih, semakin banyak informasi yang kau serap atau semakin banyak reaksimu terhadap aksi maka ada hal yang membekas dalam kertas hidupmu. Warna dan rupa bangunanmu tergantung bagaimana corakmu menyaring dengan baik setiap raihan, serapan dan reaksimu. Kau bebas mengcampur-adukan warna-warna yang ada. Hanya kau saja arsitek utama atas tubuhmu, jiwa terdalamu.

Apa ini tanda bagiku dari Tuhan bahwa aku bebas mewarnai diriku sendiri? Bebas memilih dan membuang apapun? Tanda selalu misteri. Misteri selalu berupa ketidakpastian. Misteri hanya punya Tuhan, maksudku hanya Dia saja yang lebih tahu. Bukanka Dia maha Tahu?

Paling tidak aku bisa tahu siapa aku ini pada titik ini. Detik ini maksudnya. Hanya saja menyusuri lorong dalam jiwaku butuh sebuah tuntunan. Lilin. Dian. Obor. Menara suar. Aku tahu mengapa Tuhan mengirimku kesini. Ke Syuradikara. Ah, hidup tetap misteri. Apakah Syuradikara adalah pilihan terbaik yang diberikan? Jika tidak, mengapa aku sudah ada disini? Berarti jawabannya Ya. Semoga. Amin (kutulis ini ketika optimisme ini sungguh telah menyerang ia yang berbaju hitam. Kemalasanku).

Part II

(ditulis ketika aku kuliah dan sedang menyelesaikan tingkat enamku menuju ke tujuh, Juni 2008).

Yang menyenagkan tak selamanya terus menyapaku manis. Ada saat-saat yang hitam itu membuntutiku dengan dua sisi yang misterius. Sudah kubilang hitam tak selamanya jelek, nakal. Kadang ada konflik-konflik kecil datang ketika di sekolah atau di asrama. Tinggalah kedewasaan yang berwujud kebijaksanaan-ketulusan dalam menyingkapinya. Butuh pertimbangan yang matang. Tak boleh gegabah. Saat dimana aku sedikit (masih sedikit, secuil) menguasai emosi negatifku. Termasuk kemanjaanku.

Waktu itu agustus semakin menguning. Hari bagi Ende adalah keringat yang dasyat mengalir. Aada kabar penting. Dalam rangka menghadiri undangan perayaan ulang tahun ke-40 SMAK Giovanni Kupang, adik, saudara seperjuangan Syuradikara, rencananya rombongan dari Ende akan membawa paduan suara sekolah, tim Voli, basket dan sepak bola. Tim intilah yang dipersipkan untuk mewakili ke Kupang. Penting bagiku karena pak Ferdy Levi hendak mengaudisi beberapa siswa baru untuk memperkuat tim paduan suara. Kesempatan terbaik hanya datang sekali. Aku percaya yang terbaik selalu datang paling utama. Aku punya kemampuan dalam hal olah vokal. Salah satu warna terbaik dalam ruangku yang sudah kuidentifikasi dengan baik.

Waktu audisi pun tiba. Suatu sore kami bertemu pak Levi. Giliran tenor dan bass yang lebih dahulu diaudisi. Kuingat dalam ruangan 2, aku, Gerald (bass), Maxi Magang (bass), Fendy (tenor) ditantang ‘bersuara’ dalam interval nada teredah hingga yang paling tinggi. Tak perlu lama bagi beliau untuk menentukan siapa yang layak dan cocok dalam kelompok suara apa. Aku senang karena lolos ke kelompok tenor paduan suara inti sekolah. Kelompok bass siap dengan anggota baru Maxi dan Gerald. Sayang Fendy tak lolos. Tentu pak Levi punya alasan tersenddiri yang rahasia. Inilah awal aku mengenal lebih dekat sosok hebat yang dipunyai Syuradikara. Beliau punya warna tersendiri yang khas. Termasuk karakter beliau yang cukup keras dan berapi-api. Sosok yang bersahaja dalam sisi yang lain. Kadang kau bisa melihat beliau begitu emosionalnya dalam momen tertentu. Yang pasti ia cerdas dan pekerja keras. Untuk urusan menyanyi aku tak salah lagi berada dalam kelompok baruku ini. Kini aku merasa beliau adalah tukang batu yang hebat. Tangan dinginnya mampu menghasilkan permata yang berkilau. Ia yang member warna indah bagi pelangiku, jiwaku.

Dulu tak banyak yang tahu kalau aku masih mempunyai hubungan kekerabatan dengannya. Kebetulan sekali ayahku berasal dari daerah yang sama dengannya, Paga. Suatu kecamatan di pesisir selatan Maumere. Kata ayah aku seharusnya memanggilnya dengan sebutan Nene’/k Levi (bukankah ia laki-laki? agak rancu memang berbicara bahasa adat dan jender he-he). Kalau tak salah dalam suku kami di Paga keluarga beliaulah kepala sukunya. Aku tak tahu sebelumnya, karena ayah tak pernah bercerita banyak. Ayah sudah puluhan tahun merantau ke Timor. Awalnya beliau juga tak mengetahui itu. Satu semester berlalu ketika itu aku terserang Malaria dan harus beristirahat di rumah Om, saat itulah Pak Levi baru mengetahui duduk ‘masalah’nya. Ia begitu terkejut ketika mengetahuinya. Semenjak itu ia selalu lebih baik padaku. Banyak kepercayaan yang datang padaku darinya. Bagiku kepercayaan memang selalu paralel dengan kesempatan, ilmu dan pengalaman. Melewati waktu latihan dengan beliau sungguh berkesan. Aku bisa lebih fasih membaca not angka. Aku bisa terbuka dalam relasi dikelompok baruku ini. Aku banyak mengenal kakak-kakak kelas. Seru. Hanya saja dimana-mana dalam hidup pasti ada cobaan. Hubungan baikku dengan kakak-kakak kelas sempat memanas karena kekhilafanku atau mungkin ‘kelancanganku’ yang dianggap melawan tradisi ‘luhur’ siswa Syuradikara (untuk selanjutnya kusebut dengan istilah ‘kaE’ yang artinya sama dengan ‘kakak’, istilah lumrah dan ‘wajib’ dipakai dalam pergaulan antar individu di Syuradikara antar generasi/tingkat. Istilah yang pernah mejebakku dalam masalah penting dalaam perjalanan hidupku di Syuradikara. Maaf jika terlalu banyak tanda petik disini. Ini hanya sebuah bentuk penegasan saja. Bentuk ajakan untuk menafsir lain he-he).

Kepergianku bersama rombongan Syuradikara ke Kupang waktu itu sungguh diluar dugaan. Baru dua bulan aku di Ende dan kini sudah balik ke Kupang lagi. Tak masalah toh aku senang menjadi bagian dalam sejarah ‘ekspansi’ pertama Syuradikara dalam jumlah besar ke Kupang. Momen ini begitu indah karena aku bisa dekat dengan teman-teman serombongan. Hanya saja aku lupa diri, lupa akan ‘peraturan’ dan ‘tradisi’ hubungan antara senior dan junior. Suatu hal yang secara sadar aku anggap terlalu kaku dan dibuat-buat tapi aku tak punya kuasa untuk melawan dominasi itu. Waktu itu senioritas di Syuradikara begitu kental. Aku sedikit saja melihat nilai positif dibanding nilai negatifnya. Bagi teman-teman yang sudah pernah tinggal di asrama sebelumnya mungkin akan merasa wajar dan tak kagok ketika berhadapan dengan situasi seperti ini. Toh, selentingan bahwa wajar hal seperti ini dalam hidup berasrama. Dimanapun katanya. Sekali lagi waktu itu aku tak punya kuasa. Aku hanya pasrah dan mencoba menikmati dengan caraku. Meski sudah berusaha taat dengan peraturan yang ada toh akhirnya aku kecolongan juga. Saat-saat ke Kupang adalah momen istimewa. Menyenangkan sekaligus bencana. Kemudian ketika aku berhadapan dengan konsekuensi atas tindakanku, aku hampir putus asa dan ingin pergi selamanya dari Syuradikara. Hanya kekuatan tersisa yang mampu membagkitkan tekadku untuk bertahan. Aku kalah didepan teman-temanku, tapi bagi diriku aku adalah pemenang. Aku bukan pengecut. Pilihan terbaik yang kuambil kemudian memaafkan adalah yang terbaik demi perubahan. Aku sadar pernah dikecewakan oleh teman-temanku, dimanfaatkan oleh para senior demi pelampiasan ‘dendam’ atas perlakuan yang diterima mereka dulu ketika menjadi yunior sepertiku, apapun alasannya, aku sudah memenangi diriku untuk tidak meneruskan dendam itu. Tidak terlena dan tunduk atas ‘tradisi’ bentukan masa lalu di Asyur adalah pilihan terbaikku sebagai pemenang. Meski itu keputusan pribadiku dan kupilih hanya untuk kuproklamirkan sendiri cukup dalam batinku.

Ditulis pada awal November 2002

Aku senang menjadi diriku. Menemukan diriku berlaku baik dihadapan orang lain. Aku termasuk anak yang lurus-lurus dalam hidup. Aku tidak dididik dengan kekerasan sehingga aku bisa berlaku manusiawi pada diriku juga ke orang lain. Aku tak pernah melihat orang tuaku bertengkar karena itu bukan tujuan mereka mendidik anak-anaknya sehingga aku tak mau bertengkar hanya karena hal-hal sepele. Masalah yang kita buat sendiri. Untuk apa? Supaya kita diakui teman? Supaya kita diterima teman? Supaya dianggap ada oleh orang lain? Mengapa harus marah supaya kita dilirik teman? Mengapa harus nakal supaya kita diakui orang lain? Mengapa harus bertengkar jika kita yang menciptakan masalahnya? Aku bukan pendendam karena tiu tidak diajarkan oleh ayahku. Aku tak mau mengusil karena aku tak diusilin. Tapi jangan kira aku tidak bisa marah juga. Aku bisa nakal jika orang lain tidak menghargaiku sebagai manusia. Aku bisa marah jika aku dianggap binatang. Keputusanku kemaren dibaca sebagai pemberontakan oleh seorang pengecut. Tapi siapa yang lebih pengecut jika menilai sesuatu dengan sempitnya lantas bertindak bodoh yang justru semakin menunjukan kelemahannya, ketidakberdayaanya? Mengapa aku harus diinterogasi oleh segerombolan orang seolah aku musuh bebuyutan, menuduhku pengecut lantas seenaknya menghajarku habis-habisan? Apa masalah sepeleh hanya boleh diselesaikan dengan tinju dan cacian? Sebegitu tololnya mereka menghargai diri mereka, otak mereka, nama besar Syuradikara sebagai institusi pendidikan? Oh, aku benar-benar marah jika aku dianggap anjing. Aku tak mau. Jika salah selesaikan dengan otak kita. Aku makin menyadari ‘tradisi’ ini tak lebih dari sebuah kecemburuan terhadap orang lain, ketakberdayaan diri sebagai manusia, ketidakpercayaan diri yang fantastis. Betapa tololnyaa diciptakan menjadi manusia? Aku heran mengapa mereka sebegitu bangganya ‘memelihara’ tradisi itu.

(ini ditulis dengan begitu emosional. Aku merasa sebagai korban senior waktu itu, anak-anak kelas 2, tentunya hanya segelintir orang. Aku sadar posisiku waktu itu amat ‘mengganggu’ mereka. Mungkin salah satu bentuk keirian ketika aku begitu percaya diri. Kata orang semakin tinggi pohon, semakin kencang anginya. Aku sudah merasakan rantingku roboh karena angin pengecut itu. Tentu tulisan diatas telah mengalami bebera editan dan penambahan sedikit kalimat).

22 November 2002

Aku kalah didepan teman-temanku. Aku dicemooh oleh kaE-kaE di Asyur, di kamar makan aku ditampar. Aku dicap penakut karena melaporkan penganiayaan senior ke bapak asrama. Aku dipandang sebelah mata oleh teman-teman seangkatanku. Aku dianggap salah. Mengambil keputusan yang bodoh. Apa aku bodoh melaporkan ke bapak asrma hanya karena aku diteror, diancam, dituduh berlaku tidak sopan kepada salah satu senior di depan anak-anak asrama putrid? Aku salah, yah, karena melanggar ‘peraturan’ yang sudah merupakan tradisi. Tapi aku tak terima karena kau merasa dijebak oleh senior dari asrama putri Trikara. Yang pasti aku harus tegar. Tak boleh takut jika itu benar. Aku malu namun dengan ini aku kuat. Aku menang atas diriku.

(tulisan ini juga telah mengalami editan).

Ceritanya sederhana. Aku dekat dengan para senior di paduan suara. Waktu itu aku cukup menonjol dalam hal kesukaan kakak-kakak kelas, jelas-jelas karena fisik semata. Aku tak setuju itu. Tapi karena sebagai yunior aku tak mampu mengelak. Maka kuladeninlah mereka. Aku sadar posisiku banyak mendatangkan kebaikan tapi tak sedikit kecemburuan, ketidaksukaan. Perempuan memang bisa berbisa untuk kondisi tertentu. Aku tahu aku dimanfaatkan. Respon baikku dibalas dengan ancaman yang menyakitkan. Aku mendengar beberapa masukan. Hati-hatilah kau Dicky, posisimu bisa mendatangkan bahaya. Aku heran, baik salah, tak baik dicap sombong. Tersiarlah sudah fitnah-fitnah dari mulut ular yang kurang kerjaan itu. Aku sadar teman bisa beringas bak macan. Aku disebut-sebut mengatakan ke dua orang X dan Y(anak Trikara, kelas 2) bahwa aku tak takut kakak kelas 2, aku gini, aku gitu. Katanya kakak kelas itu gila hormat, dll. Inilah sisi lain yang buruk dari teman. Pelajaran moralnya, berhati-hatilah dalam memilih teman. Aku baru tahu kemudian, ternyata aku dimanfaatkan oleh kedua orang tersebut. Sudah ada skonario yang disiapkan. Dan aku target utama sedang perjalanan ke Giovanni adalah waktu yang tepat. Ada kebencian yang amat sangat terhadap anak asrama puteri Trikara waktu itu. Ada informasi lain. Ternyata selama ini tanpa sadar sudah ada semacam ‘kerja-sama’ tertentu dalam hal memperlakukan yunior. Misal saja ada senior A Trikara yang tak suka dengan perilaku yunior X dari Asyur maka si A bisa melaporkan ke senior Asyur, ‘hei, tolong yah kasih tahu adik X supaya jaga sikap didepan kakak kelas, yah!’ dan senior Asyur yang diberi tahu tersebut akan semenaa-mena, tanpa kompromi, tanpa konfirmasi baik-baik akan langsung memanggil yunior X ke kamara ganti atau di’sidang mendadak’ di kamar makan. Tak jarang tempeleng, tendangan, bogem dan cacian akan mendarat mulus di tubuh korban. Sekali lagi jarang pakai otak di Asyur dulu. Begitupun sebaliknya senior Asyur melapor ke senior Trikara soal ‘kejelekan’ yunior. Sekali lagi atas nama tradisi, semua itu bergulir mulus dan tersusun rapi. Secret Operation.

Tanpa dikonfirmasi aku diperlakukan tidak sebagai manusia. Aku tak suka dengan sikap mereka ingin diperlakukan sebagai manusia baik-baik tetapi tindak-tanduk mereka sangat tidak manusiawi ketika berhadapan dengan yunior. Hanya saja ‘tradisi’ itu diangung-agungkan karena merasa kuat ketika punya banyak dukungan. Sampai sekarang aku masih percaya sebagai senior memang rentan terhadap iri hati, ketidakpercayaan diri dan ketakutan-ketakutan diri yang diproyeksikan dengan bermasa-sama membentuk ‘kekuatan’ melawan kekuatan lain yang mengancam. Dugaan ini terbukti ketika kini aku belajar ilmu Psikologi.

Ketika waktu bergulir dan aku menjadi senior di Asyur aku menyadari sesungguhnya yang terjadi di jiwaku dan jiwa teman-teman seangkatan. Ini beban sebagai senior. Tinggalah bagaimana kita bisa berlaku kritis, tak emosional dan gegabah. Hal yang bagiku kurang karena Syuradikara masih memperkuat basis ‘otak’ daripada basis ‘hati’, sehingga dalam menghadapi masalah justru bukan menggunakan ‘otak’ tetapi menggunakan ‘hati’ tapi yang keliru. Atau bisa jadi terbalik. Namun apapun itu seharusnya ada keseimbangan dalam hidup antara cipta-rasa-karsa.

Aku mengalami saat sulit yang mirip karena akar masalahnya sama ketika angkatanku mengecap posisi sebagai ‘senior’ itu dan ketika angkatan kami dipercaya mengemban tugas sebagai pengurus asrama. Maka genaplah sudah angkatan kami merasakan posisi dimana kamilah yang berkuasa atas Asyur. Hal yang turun-temurun mungkin puluhan tahun berlalu disalahgunakan oleh siswa. Ketika yang berkuasa mendefinisikan sendiri ‘kebebasanya’ sendiri-sendiri, ketika banyak peraturan diciptakan hanya demi kepentingan segelintir orang semata, bentuk ketakutan, ketidakpedean, dan sikap iri hati terhadap pihak minoritas, pihak yang lemah, para yunior. Semua direpresentasikan dalam wujud bernama ‘tradisi’ , kewajiban untuk dijaga turun-temurun. Kalimat yang selalu kudengar dari mulut-mulut para senior ketika sedang ‘menikmati’ era kepemerintahannya. Yang berkuasa bebas memerintah yunior, bebas mencari-cari kesalahan yunior, bebas ‘memelihara’ dan mengekspresikan dendam kesumat itu. Berbagai cara diciptakan demi eksistensi diri. Banyak hal baik, tradisi baik namun tak sedikit yang buruk. Syuradikara boleh berbangga telah eksis selama puluhan tahun, tapi Syuradikara tak sadar ketika eksistensi itu sekaligus menghasilkan borok yang tak kasat mata, tersembunyi rapi, salah satunya yang terjadi di Asyur juga Trikara (baru sadar empat tahun belakangan ini, itupun karena ada suatu peristiwa besar, dan merasa kecolongan. Tak apalah terlambat daripada tidak sama sekali).

Manis yang direguk memang tak seindah pahit yang dikecap. Semua berproses dengan misterius. Kami angkatan 2002 merasakan diri sebagai penguasa ketika itu awal 2004. Ketika kakak-kakak kelas tiga akan berkonsentrasi maka kamilah yang menerima estafet kepengurusan Asyur. Seperti sebelum-sebelumnya semua dijalankan semirip mungkin dengan ‘tradisi’ tersebut, baik itu tatacara, waktu, dan gaya kepemimpinan semua sama.

Aku tak tahu apa ini sebuah karma. Yang pasti kami menjadi angkatan yang begitu bergairahnya, berpacu dalam bola panas sebuah ‘tradisi’ dan secepat itu pun kami mengalami suatu proses yang mencengangkan. Ibaranya kami mengalami ejakulasi yang terlalu dini. Semua terjadi karena ketidakmampuan kami mengelola ‘bola panas’ itu. Mungkin karena masih larut dalam euphoria merasakan jadi penguasa dadakan. Seolah lepas kontrol saking emosionalnya kami (aku memakai kata ‘kami’ meski nyatanya yang bermain sesungguhnya sebagai aktornya hanya segelintir dari kami. Aku sudah membuang dendam itu jauh-jauh hari ketika masalahku usai. Ini hanya sebatas kebodohan dan kemudaan kami terjebak dalam ‘solidaritas’ yang bermakna sempit lagi dangkal. Aku akui itu kebodohan dan kegagalan terbesar kami memangku tugas dan jabatan kamis ebagai pengurus inti Asrama Putra Syuradikara. Kami disini termasuk aku. Hal ini juga sangat memukul nuraniku. Secara tak langsung aku menyalahi janjiku dulu. Hanya karena aku tak punya kuasa dan pengaruh untuk menyadarkan teman-temanku). Kami menciptakan masalah dan kami pun tak sanggup mendirectnya. Kami terjebak dalam perjalanan ‘dosa masalalu’. Akhirnya kami haruss mengakui bahwa kami gagal menjalankan ‘tradisi’ tersebut. Ini karma bisa jadi. Aku melihat ini waktu yang tepat, tetapi bagi angkatanku sakit. Tepat maksudnya hal ini terjadi karena sebuah akumulasi energy yang cukup panjang, selama ‘tradisi’ itu lahir, energy bawah sadar yang tak kuasa kami pegang, bola api yang menggelinding tak tentu arah. Maka jadilah ‘tradisi’ yang mungkin sudah berjalan puluhan tahun itu terkuak dalam genggaman kami. Jadilah kami terdakwa yang harus mempertanggungjawabkan ‘dosa lama’ tersebut. Apeslah nasib kami. Memang waktu itu dewan guru dan pihak rektorat telah mencium bau tak sedap itu. Beberapa kali diungkap namun belum seberapa. Sebagai catatan, kehadiran pater John Balan bagiku telah membawa perubahan besar dalam tubuh Asyur. Karena beliaulah yang berhasil menguak ke permukaan segala keburukan yang terjadi di Asyur. Dulu para siswa marah dan melakukan serangkaian aksi protes baik yang legal maupun yang illegal kepada pater John. Meski kebanyakan yang illegal itu. Sampailah aku pada sebuah kesimpulan, beruntunglah Syuradikara punya pater John. Masa pemerintahan beliau memang reformasi besar-besaran itu terjadi di Asyur. Asyur berubah dari asrama yang esklusif, tertutup dan seolah kurang perhatian menjadi asrama yang lebih inklusif, terbuka dan mau berdialog. Banyak fasilitas ditambahkan dalam pemerintahan beliau. Kesejahteraan bisa dibilang lebih. Acara rekreasi menjadi penting, makanan menjadi lebih ‘manusiawi’, diberi fasilitas musik bangun pagi, koperasi,fasilitas kesehata yang lebih baik,dll. Dewan komunitaspun menjadi lebih dekat dengan para siswa. Pada titik ini Pater rektor, P. Didi Nai menunjukan kebijaksanaan dan sisi lain yang selama ini jarang kami lihat. Beliau menjadi lebih ramah dan dekat dengan siswa. Secara keseluruhan kondisi ini memang ideal. Aku berterima kasih kepada ‘tradisi’ yang mempererat hubungan antara sekolah-asrama-komunitas sebagai kesatuan. Kami lebih terbuka. Meski sakit karena kami harus kehilangan beberapa teman yang diskors. Dari sekian puluhan anak kami menyusut dengan berbagai alasan. Maka tinggalah kami beempat belas orang meniti semangat demi ciat-cita. Saatnya segalak keakuan itu ditanggalkan. Kata Jikustik tak ada yang abadi di dunia ini. Toh, yang penting ada perubahan itu. Dengan demikian aku merasakan tradisi itu bergelora sekaligus musnah di depan mataku. Beberapanya diganti. Tak ada istilah presidium. Hubungan antar yunior-senior menjadi lebih cair tidak kaku. Kami bisa saling menghormati tanpa memaksa dan terpaksa. Para pendidik kami bisa lebih dekat dan mau berkomunikasi. Aku bahagia menjadi bagian dalam sejarah reformasi di Asyur ini.

Kami bermetamorfosis menjadi saudara sehati ‘who are us crew’. Kami lahir kembali dengan kekuatan dan semangat persaudaraan yang kuat. Kami dibesarkan oleh ‘orde baru’ Asyur sekaligus merasa menetas baru sebagai kumpulan insan pencari jati diri. Jati diri yang panjang dan berliku (kini kami telah mendapat ruh jati diri itu). Kami menikmati dua masa dalam hidup di Asyur. Kami tak menyesali keduanya. Karena dengan itu kami masing-masing sudah diberi kesempataan bercermin, menangis dan menertawakan diri kami sekaligus. Kami sadar akan kebaikan dan keburukan kami. Ini yang terpenting. Semangat kami bangkit. Kekuatan kami tumbuh sebagai sebuah spirit ‘who are us’, siapa kami? Pertanyaan yang aku yakin tak akan pernah terjawab, karena selalu ada misteri di depan sana. Pertanyaan yang kelak menghantar kami pada titik berarti. Kami dihargai, kami dihormati. Kami dirangkul, kami dibimbing. Kami diberi cinta, kami dikuasai kasih. Kamipun patut merespon baik itikad baik itu. Kami berhasil melalui setapak panjang. Hei, obor itu kami raih dari Syuradikara. Dian itu bersinar di depan kami. Sekejap hati kami tertaut dalam dasar cinta Syuradikara. Kami bersaudara. Ende 30 Juni 2005, aku dan teman-teman menerima tanda kelulusan itu. Puji Tuhan!

(sayang beberapa dai antara kami tak lulus, namun berkesempatan mengikuti ujian her. Tak apa sobat. Berbanggalah menjadi bagian dari Syuradikara. Keputusan yang tak kusesali seumur hidupku. Aku cinta padamu Syuradikara).

Mario ‘Io’ Saputra Sanudin, Gerald ‘G’ Louis Fori, Egi Kandar, Stefanus Doni Aeng, Sefri Doa, Maximilianus Magang, Konradus ‘Rian’ Putra, Rhino ‘coe’ Gande, Robertus, Krisantus ‘cina’ Romelus, Yulius Nahason, Heriyanto ‘pat kai’ Jemy, Kristoforus ‘cicho’ Sisi dan aku sendiri Christianto ‘Dicky’ Senda.

NB: teriring salam rindu dan doa buat kalian semua pahlawan sejati, pahlawan atas diri masing-masing. Aku irndu saat-saat guyonan mengalir di bawah pohon mangga. Kita bergurau siang dan malam. Kita begitu kompaknya. Aku ingat ketika itu kita sedang marahan dengan teman-teman seangkatan di Trikara, di Minggu yang terik kita ke studio foto. Bak keluarga besar kita berdiri erat. Padahal waktu itu akan ujian akhir. Lucu yah. Semua orang merasa aneh melihat segerombolan remaja ‘gila’ siang bolong serempak berbaju putih. Ide Gerald dan Rio. Aneh yah. Kita begitu menikmati detik-detik pertemanan kita, oh lebih, bukankah kita saudara? A

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Beta tunggu lu pung komentar di sini, danke...