Rabu, 03 September 2008

Asyur, Putra Tangguh dari Syuradikara


Aku menikmati hari nan pahit manis disini. Bangunan kokok bergaya arsitektur khas Syuradikara boleh dibilang demikian karena dimana-mana disetip sudut kompleks bangunan kau akan menemui konstruksi atap/kubah berbentuk huruf V terbalik, tak tajam namun sedikit melengkung. Pun di pintu gerbang pendopo utama, pentu depan kapel, dan kapel secara keseluruhan adalah representasi dari huruf V terbalik nan lengkung itu.

Ibarat tungku masak tradisional dengan tiga buah fondasi, maka tak berlebihan jika aku meyebut Syuradikara yang ditopang tiga buah tonggak kokoh. Salah satunya adalah Asyur. Duanya asrama puteri Trikara dan ‘anak luar’ sebutan untuk mereka yang tidak tinggal di asrama. Syuradikara adalah wadah yang ditopang oleh tiga buah tongak tadi, wadah tempat cipta, rasa dan karsa itu diolah, dibentuk, dikreasi menjadi masakan berguna bagi dunia. Koki tak lain adalah para pastor di komunitas santo Rafael, suster, bapak dan ibu guru juga orang tua yang secara langsung mendedikasikaan hati dan tangan mereka untuk tonggak, wadah dan hasil masakannya. Jika tak ada pemanas maka mana mungkin ilmu pengetahuan bisa tercipta lalu tersebar? Syuradikaraisme, ketulusan, doa dan semangat kerja keras adalah api yang membara, obor yang menerangi sehingga proses ini secara keseluruhan bisa terlaksana. Bukti akhir adalah hasil yang bisa dilihat, Syuradikara menjadi harum, pembawa terang sejati, menjadi sekolah terbaik, terdepan serta terfavorit yang ada di Nusa Flobamora.

Dulu aku sendiri juga merasakan ketidakharmonisan antara ketiga tonggak, antara tonggak dengan koki, antara Syuradikaraisme dan keegoisan segelintir orang. Banyak rupa. Ada saat dimana tungku itu tidak berdiri seimbang, ada yang merasa paling tinggi diantara lainnya. Namun itu jugalah yang menjadi pembelajaran bagi kami sendiri sebagai keluarga besar. Saat dimana kami sama-sama menyadari kekeliruan tak berarti apa-apa. Saat dimana buah dari usaha begitu nikmat terasa. Semua toh menjadikan kami dewasa. Ada banyak kunci tak jelas yang kami temui namun hanya ada satu kunci, bijaksana, ketika pintu masa depan cerah ingin dibuka bersama. Komitmen bersama untuk tidak salah memilih kunci disaat waktu tak mau berkompromi. Disaat itulah seorang leader yang bijak, gembala baik, nahkoda kapal hadir membakar semangat kebersamaan. Banyak hal yang tanpa malu-malu menghinggapiku, menyakitiku, menyenagkan. Hal-hal yang ternyata adalah kepingan jiwa yang baru kusadari kini telah membentuk tubuh jiwaku menjadi dewasa. Itu mahal. Syuradikara tetaplah menjadi pilihan terbaik ketika dulu aku terombang-ambing dalam pilihan hidup. Antara ketakutan bawah sadarku, kemanjaanku juga tentang hari cerah yang kuimpikan sebagai matahari yang tersenyum disaat lorong-lorong bumi kian redup, ketika hidup adalah sebuah ketidakpastian. Yang pasti inilah pilihan terbaiku. Hingga kini aku selalu bangga sebagai alumnus Syuradikara.

Berikut sebuah untaian kata-akat sederhana dan jujur sebagai ungkapan kecintaanku kepada Syuradikara yang kutulis di buku harianku tertanda 11 september 2004 waktu itu kelas 3, baru saja perayaan 51 tahun Syuradikara berlangsung. Nikmatilah kesederhanaan dan kejujuran kata, karena aku bukan sastrawan, bukan Sapardi Djoko Damono yang jago memrangkai kata-kata berkilau, indah sekaligus misterius karena ‘gila ni orang bisa dapat kata dari mana ye, kok gak pernah gue temuin kaya gini. Sadis banget bo kata-katanya. Takjub ama merinding sekaligus. Gila’ begitu ungkapan salah satu temanku soal Sapardi. Diam-diam aku juga mengumpat hal yang sama soal beliau. Ah, Sapardi. Kita tinggalkan dulu.

Untukmu Syuradikara

(pencipta pahlawan utama)

Lama sudah kau tumbuh,

Menharumkan taman bangsa.

Lama sudah kau hadir

Mempesonakan nusa ini

Semerbak rupamu menari-nari

Meyebarkan kasih,

Ilmu

Lewat anak-anak manusia yang lahir dari rahimmu.

Engkau adalah kandil

Dengan sinar yang takkan redup

Memancarkan cahaya lewat

Pegetahuan

Lux ex scientia

NB: ditulis pada malam minggu sebelas September 2004, saat para siswa asrama sedang menikmati waktu rekreasi malam minggunya. Ruang TV begitu riuh. Lorong belakang tempat lemari pakaian berjejelan sekelompok asyik bermain kartu dan domino. Tawa memecah malam yang panas. Aku hanya diam, tertanam bisu disudut ruang penuh deretan tempat tidur besi kuning pucat. Hanya selembar tikar lusuh dan sebongkah bantal kumal yang memndam seribu penyakit, aku masih diam. Menulis rindu pada lembaran buku harian ini. Tawa semakin menenggelamkan bisuku. Terima kasih Syuradikara, untuk cintamu padaku.

Aku punya kebiasaan menulis pengalaman dalam buku harian, ku sebut demikian karena lebih netral setidaknya daripada dengan istilah ‘diary’ meskipun artinya mungkin sama, objeknya juga sama yakni buku tetapi kesannya memakai istilah diary lebih monopoli imej kaum wanita. Itu menurutku. Pengalaman hidup ini tertuang dalam empat buah buku harian/agendaku selama tiga tahun di Syuradikara. Isinya macam-macam, dari puisi, cerpen tak jelas,laporan kegiatan harian yang menarik, jeritan hati jika lagi senang atau sedih menyayat hati. Semua tertuang bebas. Dari buku-buku itulah aku kemudian memberanikan diri merangkum dalam cerita panjang ini. Maaf jika anda sudah dibuat pusing dengan gaya bahasa, pilihan kata yang membingungkan atau plot yang berlompat-lompat aneh bak cacing kepanasan. Toh, sekali lagi aku bukan Ayu Utami yang pandai menulis itu (meski sampai saat ini aku masih memiliki mimpi bisa sehebat beliau).

Syuradikara. Atau Syurtz. Aku tak tahu jelas siapa orang yang pertama kali menciptakan nama baru itu. Yang pasti istilah ini terkesan diimejkan dengan gelora per’gaul’an anak muda yang doyan dalam bermain kata-kata tak lazim. Jangan salah sewaktu aku pertama kali ke Ende aku merasakan budaya pop itu telah mewabah di kota mungil ini. Baik gaya busana yang disebut ‘borju’an, gaya rambut, termasuk plesetan kata-kata unik bermunculan disana. Aku ingat waktu itu Avril Lavigne belum terbilang basi disana, kalau enggan dicap telat. Booming kelompok Fantastic Four, band-band Indonesia yang mulai lebih ‘kalem’ dan ‘mendayu-dayu-menyayat hati-melankolis’,setelah dinasti rock-metal boleh dibilang berakhir ditangan Jamrud. Yah waktu itu budaya pop sedang menjamur. TV cukup berperan dalam perubahan di kota yang pernah menjadi tempat pengasingan bung Karno tahun1930an (aku baru tahu persis letak rumah beliau setelah aku kelas tiga. Kasihan yah).

Era milenium, era MTV, ‘istan-instanan mulai menjamur’. Syurtz tak berbeda dengan istilah Givans untuk SMUK Giovanni Kupang, Smunsa/za untuk SMUN 1 Kupang,dll. Semangat yang sama. Syurtz, yang sempat membuat guru tercinta kami Pak Ferdy Levi marah besar pada suatu apel singkat di ‘naungan hijau’ suatu tempat asri di halaman tengah sekolah. Jika tak salah waktu itu sedang gencar-gencarnya persiapan pestaa Emas sekolah. Beliau orang yang cukup berpengaruh besar di Syuradikara. Boleh dibilang ada beberapa hal bisa sangat tradisional-fundamental namun dalam beberapa hal lain ia tergolong yang moderat. Terlepas dari itu beliau tetap mempunyai andil besar dalam perkembangan Syuradikara dan musik gereja pada umumnya. Memang ada benarnya juga kekhawatiran beliau. Takutnya menyebut Syuradikara ke Syurtz akan mengubah sistem nilai dasar, ruh yang sudah susah payah dibangun para pendiri. Apapun itu Syuradikara memang tak boleh kehilangan jatidiri atau karakternya yang sudah puluhan tahun memberi warna tersendiri dalam dunia pendidikan di propinsi NTT. Syuradikara tetaplah harus menjadi obor atau menara suar atau kandil atau dian yang tetap menerangi hidup masyarakat NTT untuk lebih maju lagi.

hei..tak ada satupun manusia di dunia ini yang boleh mengatakan saya murtad atau tidak,itu urusan pribadi saya denganNya ngapain juga kamu yang repot?saya mengerti jikadi dunia ini ada yang fundamental dan ada yang leiberal.aku liberal dan kamu kebalikannya.it’s OK. gak masalah. tapi yang berhak menghakimi saya yah Tuhan saya, bukan kamu, bukan ayah saya, bukan keluarga saya. say sudah cukup senang hidup bahagia, taat berdoa, berlaku cinta-kasih seperti yang Yesus ajarkan kepada saya. saya tak peduli dengan seseorang mau Homo atau tidak, dosa atau tdk itu urusan dia dengan Tuhan. sekali lagi kita gak usah sok suci, berlaku melebihi Tuhan dengan mengatai seseorang murtad,bung/mas/ibu(ah apa artinya jender dan sex bagimu he-he). kamu ini kayaknya harus belajar banyak soal Filsafat ilmu, logika bahasa,dll agar gak cepat menarik kesimpulan seenak perutmu dewe.saya bilang apa, jawabnya apa…gak jelas deh.cobalah baca kalimat-kaliamt saya baik-baik.apapun itu saya bahagia dengan cara saya menyembah Tuhan saya!kalaupun saya berdosa itu urusan saya nanti mau minta ampun sama Dia, apa Dia mau hapus dosa saya itu juga misteri.Misteri spiritualitas.sangat pribadi.Terserah Tuhan. jadi yang MURTAD siapa?apa kamu TUHAN?bilang saya Murtad?apa kamu nabi baru utusan Tuhan yang berhak bilang saya dosa?oh lucu sekali kamu ini…so terserah lo mau teriak-teriak saya murtad,saya berdosa.up to u…sy ngarti kok, saya maafkan kok.. Yesus Tuhan saya berkata ampunilah sesamamu maka kau akan diampuni hehe…saya selalu mau bersikap teleransi dengan siapa saja termasuk denganmu yang berbeda aliran pemikiran..tak masalah, bukankah perbedaanlah yang memanusiakan kita?bayangkan jika dunia seragam, tak ada perbedaan, betapa membosankan hidup ini, gimana mau belajar toh semua dah sama.gak asik he he ya gak???Peace!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Beta tunggu lu pung komentar di sini, danke...