Rabu, 03 September 2008

Kata Hati


Malam Hitam di Ayur

02.47 WITA

Kebeningan malam kau dimana?

Terperangkapkah kau oleh riuh bayu oktober? Kesadaranku

Menari liar. Liar jatuh. Berlari

Bangun dan tersungkur lagi di deretan terdepan besi-besi tua. Sakit.

Ke langit, pekat menhadangku

Ke hatinya, mimpi kian jauh memisahkan. Nyata tetaplah kebisuan

Wooooooii, kemana jiwa kalian berlari?

Kenapa diam?

Bantu aku. Aku lelah kawan. Karena sepi sendiri meraba malam

Kalian tetaplah diam beradu selimut, merajut hangat bagi jiwa layu.

Sepi tak mau beranjak. Lamat-lamat sebongkah caya bertengger di lengkungan

Atap. Kucoba raba. Dalam. Berwarna. Dia. Spiritus intellectus, roh penalaran.

Hei, masuklah ke alamku. Tapi kuharus tidur. Kalianlah pendahulu teman.

(kupakai sisa tenaga untuk menopang bunga lelap kalian, sa

habat. Bertahanlah dalam sunyi

Agar ruh itu merasukimu. Aku biar yang terakhir.)

Asyur, Oktober 2004

NB: Kutulis saat semua temanku lelap. Hanya aku sendiri bergulat dalam sadar panjang. Dug..dag..dug..jantung terus berpacu. Maaf, aku cuma terlalu emosional saja kadang-kadang. Aku adalah penyimpan perasaan sejati, hanya itu yang kadang membuatku menderita panjang. Kini aku terlalu bodoh. Hanya saja aku begitu tulus memaknai persahabatan kita, kawan. Ah, aku harus profesional he-he.

Kelimutu, sebagai orang yang mengenal Syuradikara kau tentu mengenal nama ini. Ada banyak alasan untuk itu. Bagiku ada kesejajaran pikiran jikaku bilang Syuradikara ada di Ende, temanku yang orang Jawa berkata, oh itu yah tempat pembuangan bung Karno dulu? Ada banya alasan untuk menarik sebanyak mungkin ingatan seseorang jika kita menyebut Ende misalnya, Kelimutu serta-merta tak ketinggalan dalam benak. Aku punya alasan jika saja Syuradikara kini, 55 tahun sudah menunjukaan eksistensinya, nama besarnya yang harum, dan orang susah mengenal hal itu sama halnya dengan orang mengenal Ende dan bung Karno, mite cinta segitiga antara Meja-Iya-Wongge, atau budaya Lio, atau pasar Senggol,dll. Aku kira Syuradikara telah membuat masyarakat Ende bangga akan daerahnya sendiri. Sama seperti orang Ende mencintai warisan keajaiban yang diberi Tuhan, Dua NggaE.

Kelimutu begitu berkesan bagiku. Meski aku tergolong orang yang ‘terlambat’ melihat danau ajaib. Aku baru pertama kali ke Kelimutu ketika itu tahun 2003, saat acara perpisahan paduan suara inti Syuradikara dengan kakak-kakak anggota yang kelas 3. Menarik sekali. Hanya karena pak Levilah kami boleh menikmati segala kemudahan ketika itu, sama halnya ketika kami berkesempatan tour ke Kelimutu dengan cara yang ‘tak biasa’. Ini yang membuatku terkesan. Sebelum melakukan perjalanan ke danau, malam sebelumnya kami boleh menginap gratis di villanya dokter Lince, orang dekat pak Levi. (kami sering diundang nyanyi ke setiap acara keluarga dokter itu. Mungkin sebagai ucapan terima kasih. Aku baru tahu betapa pak Levi punya jaringan relasi yang luas dan itu terbukti sangat sangat membantu. Berbahagialah anda yang punya banyak teman!.)

Villa yang sederhana namun indah. Betapa perkebunan mengelilinginya. Aku baru melihat pohon strawberry secara nyata baru ditempat itu. Pertama dalam hidup. Malam itu kami lalui dengan ngilu yang memilukan tubuh juga jiwa. Aku yakin pada bulan mei-juni seperti itu udara sedang getol-getolnya turun hingga 10 derajat celcius. Mungkin saja. Malam itu karena keterbatasan ruang tudur, garasipun disulap menjadi tempat ‘terbaik’ untuk para lelaki remaja yang kadang selalu mendamba pengakuan kesejatian dari lawan jenis. Kami larut dalam dingin malam bagai serakan ikan teri yang dijemur suhu 10 derajat, bukan matahari. Percayalah tak ada posisi tidur yang rapai dalam kamar tidur laki-laki. Nyonya rumah yang baik membagikan tablet ‘anti udara dingin’nya seuapa memuluskan tidur kami. semalam saja terasa setahun. Lama dan memabukkan.

Paginya aku begitu kaget dengan keadaan air di bak mandi. Putih susu berasap yang kasat mata. Seperciknya saja dijamin akan membuat bibirmu memble dan biru lebam. Karena daya mesin pemanas air terbatas dan tak simbang dengan jumlah orang maka untuk mengejar waktu ke Kelimutu maka air tak perlu hangat betul, yang penting warnanya bisa sedikit bening dan ‘asapnya’ berkurang. Bagi yang bertubuh kurus sepertiku tentu saja udara dingin akan semakin mudah masuk tanpa permisi. Dan aku hanya berani untuk mandi kuda alias mendi setengah badan cukup.

Sarapan teh hangat dan pisang goreng panas terasa nikmat. Dingin selalu membuat perut keroncongan. Selanjtnya, truk kayu ‘santo Mikael’ kebanggan Syuradikara siap membawa kami merayap sisi gunung Kelimutu. Perjalanan tak akan hambar hanya karena kak Inge Krowa, kak Oni Mbulu, Opin Fernandes, Ritas Levi.dll selalu cerewet dan terus menyanyi. Aku selalu salut dengan energi dari kakak-kakak kelas 3 waktu itu dalam bernyanyi. Tak ayal kami merasa begitu kehilangan mereka.

Akhirnya Kelimutu, rupamu kulihat juga. Rupa yang membuatku bisu sesaat lantas berteriak sekencang-kencangnya, hanya dalam hati…Tuhan, dimana Kau. Betapa indah tubuhMu dimataku! Seribu syukur seakan tercipta dari gemuruh di dada karena ketakjubanku yang maha dasyat. Disinu juga aku pertama kali melihat rupa bunga pralambang cinta abadi, bunga dewi khayangan, Edelweis. Aku seolah terlempar dari duniaku, bumi, ketempat dimana angin dengan tegas melahap kabut yang berlarian, menghilang dan menutup pandangan lagi. Angin yang menyuarkan rupa molekul tubuh para nenek moyang. Dingin. Mistis. Dan agung sekaligus. Aku menyimpan sebutir rasa ini dalam-dalam, sendiri tak kubagi…kelak enegri itu bangkit dari dalamku, menjelma jadi tulisan kecil nan sederhana ini. Aku selalu melakukannya dengan jujur kawan.

Kelimutu

Kemarin

Aku sampai ke dunia sunyi

Terbungkus oleh alam mistik

Kemanakah cakrawala itu?

Berjalan di belantara keteduhaan

Berlarian dengan jiwa-jiwa sepi hingga sampai

ke suarga. (sudah kucium jejak mereka.)

Di manakah ujung dunia ini?

(masih tak ada jawaban.)

Kucari terang, susuri seribu tanggaa dewa

Sampailah pada halaman istana awan-awan putih.

Sungguh

realitas. Kuhirup nafasNya dalam (sangat dingin).

Dia tersenyum samar. Penuh

lalu meleleh

Jatuh berwarna

(lagi).

Jogjakarta Mei, 2007

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Beta tunggu lu pung komentar di sini, danke...