Rabu, 03 September 2008

Syuradikara ( Sebuah pengalaman)


Syuradikara, nama yang pertama kukenal sewaktu SD. Waktu itu ada warga segereja yang kebetulan menjalani pendidikan. Yang pertama aku tahu adalah sekolah ini disebut-sebut sekolah favorit, terbaik sekaligus termahal. Wah, mendengar itu, ada rasa penasaran sekaligus timbul Tanya apa mungkin saya bisa bersekolah disitu, dengan pertimbangan jauh antara Kapan dan Ende juga soal biaya. Terbayang dong dengan cerita tetangga saya itu, pastilah hanya kemungkinan kecil yang bisa aku peroleh. Waktu berlalu begitupun rasa ingin yang lebih soal Syuradikara hilang. Sampai aku ditingkat akhir SMP barulah nama Syuradikara muncul lagi. Ada dua sumber penting yang kembali mengingatkan aku. Pertama, kakakku yang waktu itu sedang bertugas di Atambua mengirim surat yang intinya member salah satu alternative sekolah lanjutan. Syuradikara tentu saja. Kupikir waktu itu sudah ada pembicaraan sebelumnya antara kakak dan kedua orangtua saya. Oya, yang kedua informasi itu dating dari pihak sekolah saya beberapa waktu kemudian. Ternyata Syuradikara mengirimkan brosur sekaligus formulir lamaran ke sekolahku. Aku ingat, disinang yang panas itu, bapak kepala sekolahku masuk ke ruang kelas kami. Kemudian membaca isi surat dilanjutkan menceritakan soal sekolah ini mengingat banyak yang belum mengenalinya. Dalam hati aku bangga, paling tidak akulah yang paling banyak tahu soal Syuradikara disbanding teman-teman sekelasku. Akhirnya, terlontar satu pertanyaan dari mulut sang kepsek, ‘ok, siapa diantara kalian yang berminat mendaftar disekolah ini?’ tanpa menunggu pertanyaan ulang atau lanjutan aku langsung mengancungkan tanggan. Saya, pak jawabku lantang. Sekian detik seluruh kelas hening. Teman-temanku menoleh kederetan belakang tempat duduku. Hmn, kukuk juga. Saya pak, lanjutku.

Singkat kata akulah satu-satunya yang mengisi formulir untuk dikirim ke Ende. Segala prasyaratnya aku penuhi. Kirimlah sudah. SMUK Syuradikara, jln. Wirajaya Onekore Ende Selatan Flores. Oh, pada saat itu ada perasaan rindu tercurah, tunggu aku. Lihat tanggal mainnya. Mungkin juga itu wujud doaku, dan Tuhan mengabulkannya 2 bulan kemudian setelah aku lulus dan pergi dengan berat aku harus secepatnya ke Ende dengan diantar Ayah. (waktu itu aku masih terbilang anak cengeng yang sulit jauh dari orang tua). Sungguh perjalanan pertamaku ke Ende ini benar-benar penuh tantangan. Hati begitu berkabut. Jiwa seakan hilang dari peredara. Begitu kira-kira aku menggambarkan kondisiku saat itu. Betapa tidak dunia baru didepan mata, ada banyak yang nantinya kutemui. Kondisi berbeda dimana aku akan jauh dari orang tua. Memulai sesuatu pada lingkungan asing tentu butuh kemampuan mental yang cukup. Disini ketahananku teruji. Aku yakin betul dengan teori evolusi Darwin, pastilah yang mampu akan bertahan, dan yang tidak dengan sendirinya akan tergeser perlahan lalu menjauh sama sekali.

Aku ingat tantangan awal yang terasa mengusik sisi kekanakan yang hampir pecah (ah, terlalu berlebihan memang, percayalah ini cuma kisasan) tapi aku yakin pada saat itu dengan tekadku bersekolah di Ende sudah membuktikan bahwa pada diriku sudah ada pergerakan ke arah yang lebih baik dan kompleks. Artinya ada satu tugas perkembangan baru yang alamiah aku alami dan yah inilah hidup. Aku yakin setiap orang pasti mengalami suatu titik dimana ia merasa ada perubahan signifikan dalam diri pribadinya tinggal bagamina ia meresponnya dengan tepat. Pada saat itu yang aku rasakan adalah ‘oh ini toh aku’. Titik terbaik diaman aku bisa memahami dan mengoperasionalkan segala keabstrakan dalam hidupku. Artinya ini pilihan yang tepat. Aku tak perlu mempersalahkan diriku jika bagi orang lain ini salah, maksudku terlambat. Tepat bagiku karena hanya dengan ini aku bisa melihat dunia seutuhnya sekaligus merespon balik apapun yang datang dari dunia. Hanya dengan ini aku bisa tahu tanpa tergantung pada ketiak ibu atau ayah. Sudah kibilang aku anak manja. Sekarang tinggal melihat sejauhmana kemampuanku mencari jatidiri setelah sekian tahun betah berlama-lama diketiak orangtua. Berat iya. Air mata, pedih sama sekali iya. Tapi setidaknya dengan itu saya bisa tahu siapa aku, untuk apa aku ada, mengapa begini, karena apa jadi begitu bla bla bla. Itu pikiranku dulu sebelum mengalaminya. Hal yang baru kusadari kemudian hari ternyata tanpa sadar hal-hal semacam itu adalah amunisi penting yang sudah kusiapkan tanpa sadar. Eh, ternyata berguna juga.

Waktu itu dari Kupang aku dan Ayah menggunakan kapal Wilis. Butuh 12 jam menunggu di Pelabuhan Tenau. Aku paling benci menunggu dan benci dengan orang yang tak menepati janji. Sudah sejak dulu aku menyadari aku egois. Itu amat menyakitkan dalam hidupku di lingkup yang lebih luas. Gesekaan yang berarti kadang membuat luka disnan sini. Sampai sekarang PR tersulit yang belum aku selesaikan sempurna (ah, apalah arti sempurna bagi manusia?). Waktu itu aku marah dengan keadaan. Tanpa sadar aku marah dengan kesedihanku meninggalkan teman-teman, orang tua terlebih. Ujian pertama. Kini setelah menulis ini aku tertawa juga sedih betapa ujian pertama itu begitu buruk skor akhirnya. Aku kalah telak. Kemudian setelah ujian kedua, ketiga dan seterusnya aku selalu benci dengan kekalahanku, aku tak tahu jika hal itu telah menambal keegoisanku lebih tebal lagi. Akhirnya kapal yang ditunggu tiba juga. Sepeti biasa di Negara kita sepertinnya antri bukan hal yang mudah dilakukan. Keengganan untuk antri begitu menular. Sekuat apapun hatimu, jika berhadapan dengan situasi yang kacau anda akan tergoda juga. Berbeda dengan yang kulihat di TV, diluar negeri manusia begitu sopan dalam mengunakan fasilitas umum. Mereka soalah terdidik untuk mencintai barang-barang public. Memang kali ini ujian kedua, dengan kesal dan ngantuk memikul barang bawaan yang begitu banyak kami bawa. Aku begitu marahnya dengan situasi sehingga seperti biasanya orang yang paling mudah untuk menumpahkan amarahku adalah ayahku sendiri.

Perjalanan yang begitu melelahkan. Sudah kubilang diawal, hal yang kamu lakukan setengah hati pasti ada akibatnya. Bukan ayah yang setengah hati tapi aku sendiri. Anda bisa membayangkan ditengah padatnya penumpang yang bergerak naik dan turun sekaligus aku seakan bodoh sesaat melihat, yah melihat dengan mata kepala (tentu sebab mata kaki tak punya biji mata, kornea, retina,dsb) dompet ayah diambil paksa dari saku belakang. Aku baru sadar kemudian, tak ada salahnya wasa-was disaat berhimpitan. Semua baru diketahui setelah menempati ruang dan tempat tidur. Namun kemudian bau kapal milik Pelni ini lebih memusingkan lagi dari kondisi sebelumnya. Aku kira semua kapal milik pemerintah sangat jelek. Kami berkenalan dengan orang-orang sedek, ada seorang gadis muda kira-kira 25an tahun sendirian dengan tujuan Bajawa. Mendapat tugas baru dan petama di kota yang terkenal dingin itu. Selain itu ada dua oranglaki-laki bersaudara, seorang bapak beserta keluarga kecilnya. Kami berkenalan dan mereka cukup ramah sekaligus prihatin dengan pengalaman buruk yang ayah dan aku alami. Kira-kira butuh enam jam lebih untuk singgah di pelabuhan Sabu, meski tidak merapat karena jenis pelabuhan yang masih mungkin oleh ferry atau kapal nelayan saja. Butuh waktu yang lama untuk menunggu bongkar muat. Melihat naik turunnya penumpang dengan barang bawaan cuma dengan perahu sungguh tontonan menarik sekaligus menegangkan. Matahari hampir jatuh di barat ketika kapal perlahan meninggalkan teluk Sabu menuju laut Sawu yang lumayan menggoyang di bulan Juni itu.

Kami sampai di pelabuhan Ende yang lama dini hari. Sampailah di kota asing pikirku. Dari hawa saja beda, segar asin. Dengan angkot kami akan menuju rumah om di bilangan Sam Ratulangi samping Lapas Ende sebelunya berputar dahulu kearah barat yang kemudian kutahu bernama terminal Ndao. Rasa deg-degan, sedih, jengkel dan capai campur aduk. Sedikit menyebalkan karena pada malam gelap seperti ini cukup mengganggu penglihatan ayah. Apalagi beliau sudah sedikit lupa dengan tempat persisnya. Akhirnya sampai meski kelewatan hamper seratus meter. Masih pagi tak bisa bertanya. Butuh beberapa menit untuk mengumpulkan ingatannya 100% soal letak rumah om. Ternyata yang membuat beliau lupa adalah dihalaman yang dulu lapang sudah dibangun rumah besar (dengan pilar beranda dari beton yang kokoh bergaya romawi, meski sedikit langsing he-he). Ternyata Om sudah menunggu lama dan curiga dengan angkot yang lewat hanya saja membuatnya ragu, mengapa kelewatan. Maafkan om, ayah memang sudah tua. Akhirnya ketemu juga. Barang yang banyak, merepotkan om dan tante yang kebetulan tinggal berdua sendirian. Sekali lagi menyebalkan. Maafkan aku ayah. Aku terlalu egois dan suka berpikir pendek seenaknya. Wakti itu aku selalu merasa bayak tidak enaknya dibanding enaknya. Cara berpikir yang kaku. Maafkan untuk itu. Pertemuan dengan keluarga yang sudah lama tak sua kembali mengungkit sisi keenggananku, kemalu-maluanku, keintrovertanku. Itulah kelemahanku. Butuh waktu yang lama memang untuk akrab hingga kemudian berbuah ketulusan yang pedih ketika perpisahan itu terjadi nantinya. Om dan tante sangat baik memperlakukan kami. Hari pertama di Ende, mandi dan plesir. Bersama ayah memakai motor milik tante kami berputar keliling kota.

Tujuan utama adalah Syuradikara tentunya. Pertama kali melihatnya yang sontak muncul adalh seribu buah kekaguman yang luar biasa. Bagigu bentuk pendopo utama sedikit aneh dimataku. SMA KATOLIK SYURADIKARA. Pintu gerbang dengan tiga buah ‘kerucut’ berpalang jarring-jaring besi, megah dan antik he-he. Kedatangan akami disambut dua orang (kemudian baru kutahu nama mereka, kak Eri staf perpustakaan) dan om Feliks (alm). Meski aku sudah pernah mengirim formulir pendaftaran namun kali ini harus mengisi form baru beserta kelengkapan surat-surat lainnya. Tak butuh waktu lama setelah membayar di ruang registrasi kami langsung menuju asrama menemui pater Kaliks, bapak asrama putra Asyur. Beliau sangat ramah. Aku adalah pendaftar ke-19 nomor yang kemudian menjadi nomor lemari. Persis setelahku ada Ermin Manafe ( nomor 20) dan Melus Kandars (nomor 21). Kedua teman yang pertama kali kukenal. Dengan Melus menjadi akrab hingga tamat. Lucu juga mengingat tampang Melus waktu itu, masih sangat gemuk (atau gendut sama saja saking besarnnya he-he). Dengan rambut ‘blateng’ alias belah tengah mirip tokoh dalam film-film Jimy Lin atau Andy Lau. Krisantus Romelus Kandars, nyong Alor yang masih punya darah Tionghoa. Teman terakrab sealam tiga tahun di Syuradikara.

Setelah mendaftar aku dan ayah diminta untuk menjahit pakaian seragam kuning putih di bengkel jahit depan Ursula, khasnya Syuradikara. Ough, gak tahan deh sama warnanya. Mencolok abis. Tapi karena sudah terlanjur punya nama besar apapun warnanya, bentuknya sah-sah saja malahan terkesan (imejnya) wah bagi pemakainya he-he. Sayang karena waktu itu jahitan yang antri banyak maka kami dipersilahkan menjahit ketempat lain. Alhasil dipilihlah tempat jahitan persis di ujung jalan Diponegoro / ujung tugu pelajar. Aku ingat hasilnya celana kebesaran dan bajunya kekecilan. Ah sudahlah. Berikut kami disuruh membeli buku-buku doa, Syukur Kepada Bapa dan satunya saya lupa. Belinya di toko buku Nusa Indah yang lokasinya di belakang Katedral Kristus Raja, Christo Regi. Kami sempat berbelanja keperluan asrama di pasar Ende. Aku ingat di depan pertokoan ada seorang perempuan cantik, putih mungkin turunan indo. Dia yang kemudian kuketahui bersekolah di Syuradikara, kakak kelasku Bertin Depa (maaf jika salah menulis namamu). Aku ingat karena kemudian sewaktu kegiatan Masa Orientasi Sekolah kami berdua sekelompok, gugus 16.

Malam kedua di rumah om, aku menulis surat beberapa pernyataan untuk melengkapi formulir pendaftaran. Esoknya bersama ayah, aku pergi ke Apolo foto guna keperluan pengadaan pas foto. Saya pun tahu namanya jalan Kelimutu, daerah Telkom, Kompleks bandara di Mautapaga, jalan Nangka, kantor bupati, Paroki Onekore,dll. Sayang sekali ayah hanya tiga hari di Ende dan harus mengabarkan ke keluarga di Paga selanjutnya pulang ke Kupang. Sedih waktu itu. Tempat om masih terasa asing sekali. Teringat pesan ayah, harus mandiri dan bertanggung jawab. Hormatilah om dan tantemu. Yah, awal yang baik namun berat. Lama-lama betah karena mereka memperlakukanku dengan baik. Sesuatu berkah yang aku dapatkan, kebaikan. Kebaikan yang selalu aku dapatkan dari orang-orang sekelilingku. Hal yang menyenangkan sekaligus kadang membuatku mabuk lalu lupa diri. Kondisi dimana setiap orang sampai pada limit kesabaran tertentu, selebihnya tak bisa ditawar lagi. Dan aku mengalaminya. Suatu saat dua tahun kemudian, aku benar-benar membuat mereka marah besar. Setelah itu kau tahu, kadang aku harus butuh keburukan itu supaya aku bisa melihat betapa kebaikan itu mahal dan bertarti. Sekali tergores butuh waktu lama untuk membuatnya mulus lagi. Aku jadi tahu siapa aku diantara sesamaku.

Hari-hari sebelum kegiatan sekolah dimulai, aku mengisinya dengan berkeliling Ende menggunakan angkot. Sesekali diantar om atau tante jika mereka tak sibuk. Memebeli perlengakapn kost,kasur busa,bantal, guling, ember gayung,dll. Akhirnya waktu yang dinanti itu tiba. Minggu sore yang cerah dengan diantar tante aku menuju keasrama. Besok adalah hari pertam sekolah. Oh, dunia yang asing. Aku ingat orang pertama yang mengajak berkenalan adalah Franz Djoka. Dia begitu percaya diri dan rapi sekali pakaian anak ini, kemeja biru kotak-kotak, celana cardinal plus sandal tali neckerman tak lupa jam tangan yang khas Franz he-he. Kupikir anak yang cerdas. Yah, dia pandai bergaul. Belakangan aku tahu ia pernah beberapa waktu tinggal di Jogja dan ini mungkin membuatnya fleksibel/cair. Moderatlah. Tak lama kulihat ia sudah akrab dengan beberaa anak. Itu membuat nyaliku menciut. Belakangan ia memperkenalkan teman-temannya itu. Rupanya mereka sama-sama dari Kupang. Pantas saja beda pikirku. Secara fisik memang anak-anak Kupang lebih menonjol. Bukanka itu yang disebut sok-sokan entahlah. Yang pasti mereka cukup jujur membawa diri. Aku semakin ciut tak berbentuk. Mereka adalah Gerald Louis Fori si jangkung, Edmon Laak si cerewet (percayalah dalam kondisi apapun anak ini tak berhenti berkicau) dan Rian Ngete si pendek lagi bulat. Teman yang terakhir ini dulu memang pendek, gemuk sisa lemak bawaan dari rumah (kawan, kita tahu lemak itu akan hilang 2 bulan saja cukup dengan diet kacang hijau he-he). Mereka cerdas. Bukankah anak perkotaan (propinsi maksudnya) selalu menunjukan hal seperti itu ketika mereka memilih bersekolah di kabupaten? Lupakan pertanyaan bodohku ini. Hei, aku bertemu lagi dengan dua temanku saat mendaftar dulu. Kami bertetangga. Lemari nomor 19-21. Ermin si anak Rote yang pandai berkicau dengan aksen Rotenya. Aku jadi ingat para papalele di pasar-pasar Kupang he-he. Maaf bukan sukuis. Melus, Jimy Lin yang masih pendiam. Dia selalu miskin dalam pembicaaran. Apalagi aku, mati kutu. Kikuk. Sore itu ruang pakaian ramai sekali. Para orangtua yang paling sibuk. Berbeda denganku, tante harus buru-buru pulang. Tak masalah bagiku. Toh aku punya sifat tidak enaknya, banyak sungkannya. Malu-malu meong (kucing maksudnya). Toh ada baiknya, aku bisa berbangga didepan teman-teman baruku. Ini loh Dicky, anak yang mandiri. Buktinya tak ada orang tua disamping. Semua dikerjakan sendiri. Tapi apa digubris. Toh mereka juga belum mengenalku. Tak apa. Aku justru merasa menang bagi diriku pada titik ini. Horeee…

Matahari benar-benar jatuh diperbukitan Ndona, entah ditempat lain. Pundak Wolotopo mungkin. Sisa kekikukanku terasa berpacu dengan detak jantung. Untung disudut kebisuan itu aku ingat akan Tuhan. Saat itu juga aku merasa kuat. Ini sudah pilihan hidup. Apapun itu harus diterima. Lonceng asrama yang bergantung disudut bangunan leter L itu begitu aneh ditelingaku. Waktu itu kami penghuni baru masih suka bergerombol, dikamar mandi, di ruang ganti, di tempat tidur, di halaman. Masih tersirat kikuk itu dimata masing-masing. Aku bisa membacanya karena aku mengalaminya juga. Pada kondisi ini sukuisme, sekolanisme (maksudnya yang sama-sama SMPnya he-he ). Hanya orang tertentu saja seperti Franz, Gerald atau Edmonlah yang bisa cair. Alhasil ibarat air, mereka bisa mengalir kemana saja. Aku makin iri. Bukankah iri membuatmu makin ciut dimata orang-orang? Seharusnya tak kuutarakan pertanyaan bodoh ini.

Kiranya ini adalah malam yang menyenangkan pikirku. Yaah, aku harus membunuh rasa rendah diriku supaya lebih rileks di depan teman-teman baruku. Ternyata salah, mendengaar beberapa gossip dari sumber yang tak jelas (namanya juga gossip, pasti serba tak jelas) katanya malam ini setelah acara penyambutan di ruang makan, ada satu acara lagi special katanya. ‘penyambutan’ kedua ini bakalan lebih heboh. Aku yakin cerita ini shock theraphy saja. Aku ingat waktu itu setelah acara ‘jamuan’ makan malam dengan menu khas ikan teri, nasi plus sup kacang hijau yang ternyata kemudian baru kuketahui inilah menu andalan, wajib, seperti biasanya sukuisme/kabupatenisme masih berlaku. Karena aku lahir dan besar di Kapan, maka termasuk bagian ‘kontingen’ kabupaten TTS. Lebih luasnya lagi tergolong dalam kumpulan ‘ARDAT’ anak rantau dataran Timor. Bagiku sah-sah saja jika kita ingin menunjukan imej atau ciri tertentu soal kedaerahan, namun aku akan menentang jika hal itu semata gengsi-gensian, tebar pesona, untuk menonjolkan ke’AKU’an-kedaerahan, atau menunjukkan tindak-tanduk yang sempit dalam berpikir. No way! Aku tergolong pribadi yang moderat dan liberal untuk beberapa hal. Fleksibel dan minimalis. Soal asliku memang bukan pure 100% asli Timor, ada campuran Flores-Lio-Paga juga Jawa. Tapi lupakan soal suku atau ras, aku tak mau kita terjebak untuk hal-hal yang mendasar itu, biarlah ia berkembang apa adanya karena hal tersebut mudah tergesekan oleh adanya sikap ekslusif. Ow, ini berat. Lupakan saja kawan. Aku berkenalan dengan kakak-kakak dari Timor, cukup banyak. Waktu itu ada kak Bomba di presidium 3, kak Eki Satu, Aldi dan Mashal Faah. Ada hal yang membuatku terjebak dalam kekakuan amat dasyat adalah membiasakan diri memanggil senior sebagai ‘kak’ atau ka’e artinya sama kakak! Apalagi hal tersebut dikukuhkan dengan semangat senioritas yang ‘sempit’ (maafkan aku menilai demikian). Sepele namun bagiku inilah benih yang baik sekaligus berbahaya dikemudian hari jika kita ternyata salah memaknainya. Tak semua memang tapi secara maayoritas kukira semua terjebak dalam pemikiran sempit itu. Bahaya kawan. Ibarat api dalam sekam. Banyak hal yang menurutku aneh, berlebihan dan tak menghormati asas kemanusian. Ah, sebagai yunior perasaanku berlebihan. Kalau sudah begini urusannya panjang jika mau ambil pusing dan resiko sekaligus. Seperti kebanyakn yunior, sikap manut adalah pilihan terbaik dan senior senang jika anda patuh. Itu terbaik seturut jalan pemikiran mereka. Jika tidak, oh akan sakit berkepanjangan. Aku pun larut dalam penderitaan itu, munim asa kemanusiaan disana, ditembok tua bentukan tahun 1954 yang unik. Jika kau menuruti itu dengan sendirinya dendan itu terpelihara, dan semakin lama kau menikmati sungguh jauh kemanusiaan dari tubuhmu. Daya inilah yang kupendam meski bergolak biarlah itu sebatas dalam bawah sadarku, jangan untuk sadarku. Bisa jadi kemanusiaanku terancam, luruh sejuta malu karena dicap sebagai lelaki banci, tak gentleman. Apa itu gentleman kawan?

Sebagaimana umumnya besekolah dan tinggal di arama tentu aura senioritas itu pasti ada. Aku bisa menerima itu sejauh bisa dipertanggungjawabkan. Hanya saja kondisiku waktu itu begitu lemah. Keputusan yang kuambil juga teman-teman yang lain adalah memilih untuk bungkam, membiarkan uneg-uneg tenggelam kedasar bawah sadar. Prinsipnya bersakit-sakitlah dahulu beria-rialah kemudian (diatas penderitaan orang lain) kontan menjadi pilihan sadar dan tanpa sadar yang membentuk mental kami, yunior, remaja yang sedang belajar mengubah sakit jadi dendam, memeliharanya hingga suatu saat pembalasanlah pilihan terbaik. Aku tahu prinsip yang keliru. Apa mau dikata, toh tanpa sadar kami, mereka, anda pun yang sudah sejak dulu, sekarang atau nantinya akan berbangga hati membawa diri..ini loh aku, sang senior, kakak kelas yang kejam itu, senang jika energy agresifitas terselubung terpuaskan.

Malam pertama yang diluar dugaan. Ternyata cerita itu bukan isapan jempol belaka. Kira-kira jam 23 malam, secara tiba-tiba ruangan luas nan riuh itu berganti sepi menyayat. Masing-masing kami yunior diam dalam sejuta Tanya dihati, apa gerangan perlakuan yang akan dihadapi nantinya. Seseram gossip tadikah? Ada kejutan apa yang sudah mereka siapkan? Sudah tradisi acara ‘penyambutan’ khsusu ini bergulir, sejarahnya tak pasti mungkin semenjak generasi penghuni asrama pertama dulu menerima adik-adik kelasnya. Jika benar dan jika Asyur dibangun tahun 1954 maka kira-kira setahun kemudian budaya senioritas itu mulai dirintis dan salah satu acara rutinya adalah memeberi pesta kejutan. Penyelenggaranya adalah anak-anak kelas dua. Begitupun seterusnya jika nantnya kami naik kelas dua acara wajib yang sama ini harus kami selenggarakan. Aku ingat sekali sebelum acara ‘misteri’ itu berlangsung aku berkenalan dengan Aldi, anak kelas dua. Ia sedikit mebocorkan rangkaian acara nantinya kepadaku. Dengan bahasa yang didramatisir tentunya, sehingga cukup menggoyang batiku. Kita akrab kebetulan sama-sama dari Soe dan Aldi sempat berpacaran dengan teman SD saya. Ada proses KKN disini karena pada puncak acaranya aku diselamatkan oleh Aldi dari amukan dasyat kakak kelas dua. Teringat jelas bak narapidan kasus pemerkosaan kami digilir satu persatu memasuki ruang ganti mereka yang gelap, padat dan sumpek.dalam keremangan inilah tubuh kami didera habis-habisan melewati satu persatu kakak kelas. Ada banyak cara yang dilakukan. Sungguh malam itu aku melihat sekian juta energy yang setahun tertimbun dalam bawah sadar mereka keluar dengan derasnya, mengaktifkan segenap otot tubuh dan suara. Riuh sakit dan teriakan kepuasan bercampur.

Aku beruntung setelah ‘digilir’ ke empat orang Aldi menyelamatkanku, menarik tubuh letihku bersembunyi disudut lemari. Terima kasih Tuhan kau kirim malaikat buatku. Jika tidak tubuh kurusku akan remuk di tangan beberapa senior saja. Bayangkan jika aku harus melewati 30an orang kakak kelas dua? Masing-masing satu kepalan bogem di ulu hati saja sudah cukup membuatku pingsan mungkin atau muntah darah. Ah, yang pasti aku selamat dari manusia-manusia ini. Coba bayangkan jika sakit hati, amarah, dendam, itu kau pelihara dalam jiwamu, tiu ibarat bom yang akan meledak sewaktu-waktu dan malam inilah saat dimana aku melihat keberingasan seorang manusia. Sedetik dua detik mungkin anda tak melihat naluri kemanusiaan di dalam sana. Aku sedih melihat teman-temanku mengerang kesakitan, ditendang, ditempeleng, dibogem di perut dan ulu hati. Rasa miris itu mengusik kemanusiaanku. Apakah nanti aku akan berlaku demikian? Bisa saja itupun jika dengan sadar kau pelihaara sejuta dendam beranak pinak dalam jiwamu! Jangan biarkan, bisik nuraniku. Sungguh aku beterima kasih pada didikan orangtuaku dulu yang sama sekali tak mengajarkan dendam sama sekali. Aku berani mengakui ini karena aku gentleman karena aku berani jujur dengan diriku. Aku adalah manusia sejati lagi otonom yang bebas sekaligus bertanngungjawab. Kulakukan ini kawan, hanya demi kejujuran, demi sebuah tanggungjawab moral yang patut aku utarakan. Ibarat cermin, pandanglah, resapilah tulisan ini sebagai sesuatu yang mampu menarik dirimu pada sebuah Tanya yang hakiki, siapa aku selama ini. Mampukah aku jujur pada diriku juga sesamaku? Jika kau sependapat denganku, bersiaplah menemukan kejujuran lain dalam tulisanku ini. Bertamasyalah denganku menyusuri lorong Syuradikara yang berliku dan damai.

2 komentar:

  1. kereeenn...
    cerita lagi dong tentang pengalaman-pengalaman manis maupun pahit (toh pada akhirnya manis semua) selama di syuradikara. Saya juga lulusan syuradikara tapi jaman jebot (angkatan 92).

    salam,
    D

    BalasHapus
  2. Terima kasih bung, sayang gak kasih tahu namanya he-he, tak apa kok, disini gak masalah angkatan berapa, tua atau muda. Saya banyak menulis tentang Syuradikara disini, semuanya berdasar dari buku harian yang selalu saya tulis ketika di Asyur dulu, kemudian setelah saya mengenal blog, saya pikir tak ada salahnya 'diary' ini saya publikasikan, demi Syuradikara tercinta yang selalu membuat saya bangga akan diri saya sendiri juga kehidupan.salam kenal...

    BalasHapus

Beta tunggu lu pung komentar di sini, danke...