Rabu, 03 September 2008

Asyur dalam Kata-Kata

Waktu itu tahun 2002 kepala asrama dijabat oleh pater Kaliks dan Kepala sekolahnya pater Michael de Fretes. Sedangkan rektornya adalah pater Didimus Nai. P. Kaliks pribadi yang ulet dan bersahaja. Selama menjadi orang tua bagi anak asrama taman depan sangat terawatt penuh aneka bunga. Hijau nan asri. Sosok yang sederhana dan bersahaja inilah yang kadang dimanfaatkan oleh segelintir siswa yang terkenal nakal dan suka melawan. Dia selalu diam saking sayangnya pada anak didiknya, pikirku. P. Michael sosok yang tak terlalu kukenal karena beberapa bulan setelah itu posisi beliau digantikan oleh Bruder Simply. Bagiku P. Michael sosok tegas dan pendiam itu saja yang kuketahui. Berikut pater rektor yang gila bola. Sosok yang tegas dan serius sehingga sering disalah artikan oleh siswa. Beliau sangat baik, ramah namun jika sedang marah, diamlah kuncinya. Ada pengalaman berkesan soal beliau, ketika Asyur dalam masa reformasi karena terjadi serangkain masalah internal beliau hadir sebagai sosok Ayah yang bijaksana dan tegas. Pengalaman kontroversial yang berpengaruh besar dalam perjalanan hidupku. Sungguh pengalaman pahit sekaligus inspiratif bagi kami pribadi angkatan 2005 Asyur (tamat) berada dalam masa pergolakan, masa reformasi, masa transisi. Masa yang menguntungkan sekaligus menyakitkan. Sudah kubilang ibarat api dalam sekam, bom waktu itu akhirnya meledak jua. Sesuatu yang terrepres sekian puluh tahun mengalami gejolak hebat. Mungkin ini kasus besar bagi Asyur dan Syuradikara setelah kasus diDOnya sekian puluh siswa. Bagiku itu ada kaitannya. Ada masalah yang tertekan dan ingin terkuak, barulah masa tahun 2004-2005 itulah dengan sendirinya proses pergolakan itu terjadi. Aku merasakan segala tradisi yang kokoh terbangun (dan rahasia) itu runtuh, terbuka lebar. Ada yang tercengang, ada yang tidak (bagi yang pihak yang sudah lama menciumnya). Pada kondisi ini peran pater rector diuji. Beliau sangat berlaku keras namun bijaksana dan adil. Pilihannya reformasi. Perombakan konstruksi Asyur secara besar-besaran. Dan itu mendapat dukungan besar dari pihak sekolah yang konon sudah mencium lama ketidakberesan yang terjadi dalam tubuh Asyur. Demi nama besar Syuradikara tindakan tersebut harus diambil.

Malam itu mimpi buruk bagi kami. Pelajaran moral kata mereka adalah memperkuat mental, dan ini diamini oleh semua orang paling tidak selama asrama ini ada. Apakah pelajaran menguatkan mental seseorang cukup atau cocok dengan metode senioritas-perploncoan semata? Apakah kekerasan-bulliying itu pilihan yang terbukti ampuh? Tentu tidak kawan. Jika semua mengiyakan lantas apa batasan dari tindak tanduk tersebut, karena terbukti yang selama ini terjadi adalah kebablasan, terkesan mendehumanisasi (nah kalau sudah begini apa layak kita disebut manusia? Aku tak mau jika kau menganggapku binatang. Aku bisa berpikir tidak dengan binatang). Jika memang hal itu penting lantas apa gunanya guru, bapak asrama, mereka yang profesional sebagai pendidik. Hmn, semangat muda kita kadang membuat kita ingin eksis didepan orang lain, bahasa gaulnya caper alias cari perhatian. Mungkin saja. Yang pasti setelah kejadian itu baru kutahu ada banyak kesalahan terjadi didalam sana. Dan itu ditutup rapi-rapi. Kami dididik para senior untuk selalu tutup mulut. Sudah kubilang ini tradisi, indoktrinasi juga berlangsung disini. Kelak yang buruk itu dilihat baik dan wajar. Ini bahaya. Ternyata benar dugaan awalku, kelak setahun kemudian gejolak bawah sadar yang terakumulasi sekian puluh tahun itu tumpah ruah, menggila dan angkatanku yang baru merasakan secuil ‘manis’ sebagai seorang senior harus menerima suatu kejadian besar mungkin karma, yang pasti posisi kami yang menjabati tampuk ‘pemerintahan’ Asyur waktu itu seperti kejatuhan durian, bukan nikmat namun duri yang menyakitkan. Seperti yang sudah kubilang ada suatu titik dimana kereta yang sudah terlanjur jauh menyerong harus kembali melalui rel semestinya. Angkatan kami seolah tumbalnya. Kami terpecah belah, sebagian teman yang berbuat salah dikeluarkan dari asrama. Kami dihadapkan pada beberapa kejadian beruntun, bukan saja merusak relasi pertemana kami seangkatan, kami harus menanggung citra buruk yang sudah terlanjur diketahui pihak sekolah dan rektorat. Sulit memang disaat aku tak lagi dipercaya keluargamu sendiri. Lebih menyakitkan jika kau yang ‘bersih’ dan tak tahu hal ihwal kena getahnya juga. Jika persaudaraan itu dipersepsi keliru sebagai solidaritas (yang justru solidaritas itu keliru). Kau bisa mengira sendiri jika kau dipaksa menjadi orang lain berbeda 180 derajat dengan dirimu. Itu sulit. Aku ingat suatu malam, ruang makan seakan berubah jadi ruang siding darurat. Sepi bisu. Tak ada pertangunggjawaban. Sepi seakan telah menelan kejujuran itu dari nurani masing-masing. Waktu itu ada pater Rektor, bapak asrama (pater John Balan), Ama Petu, Opa Bernard Kota,dll. Ancamannya asrama ditutup. Ketika ditanya siapa yang mau tetap tinggal di asrama? Semua dima. Aku juga bisu. Perlu pengulangan sampai ada respon, kuingat waktu itu yang ingin tetap tinggal salah satunya adalah Imo Djuang (alm.). aku yakin beliau anak yang jujur. Yah, kuyakin cuma dia. Kadang solidaritas yang sempit benar-benar membutakan mata kepala juga mata hati. Aku kira pihak rektorat masih begitu mencintai kami. Kami diberi kesempatan lagi. Terima kasih Tuhan.

Hari pertama diawali dengan upacara bendera. Dengan bangga kami memakai pakaian kebesaran kuning-putih. Seperti biasa hanya sedikit saja yang bisa menunjukan rasa percaya dirinya, selebihnya masih malu-malu. Diam. Kikuk. Bak alien yang terlempar ke bumi. Aneh dengan diri sendiri. Akulah yang paling merasakan diriku aneh. Aku tahu pastilah segenap unsure kimia didalam perut telah berkoordinasi (yang negatif) dengan kondisi mentalku, panic disorderku, gangguan kecemasanku. Alhasil, tubuh panas dingin, perut mulas-mulas. Oya, paginya aku merasakan dinginnya air pada pukul 04.30 WITA, misa perdana di kapel st. Michael. Kemudian sarapan khas Asyur. Matahari Juli begitu menggigit. MOS hari pertama dimulai. Mengenal guru-guru, lingkungan sekolah, kakak kelas (hmn, aura senioritas juga sedikit kental disini), semuanya. Syuradikara yang asing, penuh Tanya sekaligus menantang. Dia memang beda. Dia memang unik. Dia induk yang siap menelurkanku jadi unik, khas sebagai pribadi, bernurani sebagai manusia, berdaya seperti gunung, tangguh seperti karang lautan. Hanya dia yang mampu membuat mataku mampu melihat keanekaragaman dengan kritis. Dia yang membuatku merasa sebagai orang yang berbahagia sedunia, merasakan cinta yang utuh dalam komunitas persahabatn kasih Kristus. Tahu dunia dengan pendidikan karakter tak sebatas kecemerlangan otak kiri. Dia yang membuatku kaya akan spiritualitas. Terbaik dari yang terbaik, Syuradikara telah membantuku menemukan siapa sebenarnya aku ini.

Acara MOS bagiku tak mengenakan. Mungkin karena dalam tahap penyesuaian fungsi tubuh berkaitan dengan perubahan cuaca dan ada factor penyesuaian secara psikis wakru itu kondisi tubuh sempat drop. Akhirnya MOS tak dijalani secara baik. Pada hari ketiga aku tepar. Menggigil panas dingin. Aku ingat di gugus 15, yang aku ingat teman seangkatanku hanya Opi Geraldes dan Rini Razak. Seniornya ada presidium 1 (ketua umum 1) ka’e Vargas, Jefry Rabu, Noken dan Bertin. Tugas terberat kami waktu itu adalah haarus mewawancarai pemilik usaha warung makan padang jln. ….. tujuannya agar kami bisa mengenali kota Ende dan menambah rasa percaya diri. Hari terakhir MOS ditutup dengan misa penerimaan. Dengan lilin kami mengucap janji setia. Maka jadilah kami warga baru Syuradikara. Menyenangkan. Life must go on. Sadar didepan sana ada kerikil dan buah manis bertebaran, fokus dan hati-hati. Toh, pilihan untuk baik dan buruk tetap ditanganku sendiri. Kelak disini aku menemukan kepingan jiwa yang memang cuma tersesat disini, cuma kudapatkan di Syuradikara bukan ditempat lain. 100% aku yakini itu.

Pembagian kelas aku termasuk dalam kelas 1.4 dengan nomor induk 8222. Dua atau duapuluhdua adalah nagka favoritku kalau tak boleh berlebihan angka keberuntunganku. Alasannya sederhana saja aku lahir pada tanggal 22. Dengan wali ibu Agnes Delo. Ada yang bilang beliau genit. Sah-sah saja toh dia memang muda, baru menyelesaikan sarjana matematikanya di Unika Kupang. Dia suka blak-blakan dan lumayan dalam berkicau, maksudku lumayan cerewet. Maafkan jika terlalu hiperbolis, ini semata supaya anda tidak ngantuk membacanya. beaku bukan Ayu Utami yang pandai membuat kata-kata bercahaya bagai kristal. Kelak beberapa waktu berjalan aku baru menyadari aku ditempat yang baik sekaligus mimpi buruk. Diakui kelas kami memang menonjol yang pasti bukan karena ada aku disana tetapi ada beberapa teman yang notabene memang cerdas. Paling tidak nantinya saya bisa kecipratan imej bagusnya juga cerdas betulan karena aku punya akses lebih untuk banyak belajar dari mereka anak-anak cerdas. Mimpi buruknya adalah aku menyadari diriku memang pas-pasan, dating dari sekolah yang iklim kompetisinya hampir nol. Aku masih punya banyak kekurangan. Daan satunya lagi sudah kubilang aku masih memelihara rasa rendah diri, malu-malu. Ini memang fatal. Aku membutuhkan tenaga dua kali lipat untuk mengejar mereka yang cerdas. Jika aku tak punya motivasi, matilah aku. Dan benar awal semester aku benar-benar terseok-seok, capai berlari mengejar ketertinggalanku. Beruntung masih ada sisa asa tersisa, amunisiku. Perlahan aku mulai percaya diri. Pertama adalah aku menemukan teman yang bagiku mirip dan senasib denganku. Aku gampang menilai seseorang jika ia mirip denganku. Pendapat pribadi kawan, tak berdasar he-he. Kelas ini merupakan kumpulan beberapa individu yang cukup menonjol. Jika kelas 1.4 punya Dody Botha yang cerdas, Rio yang tegas, Chyntia, Elsa atau Rian yang kritis maka kelas tetangga kami 1.5 seingatku adalah gudangnya cewek-cewek cantik. Banyak yang menjadi incaran kakak kelas semisal

Perubahan besar terjadi dalam hidupku yang lumayan membuatu syok. Seperti sudah kubilang semester pertama adalah waktu taruhanku, hidup ataau mati. Teruskan atau akhiri saja. Bayangkan saja soal ritme hidup di asrama yang kompleks dan terjadwal dengan rapi. Enam belas tahunku dilalui tanpa ritme dan rutinitas yang terjadwal rapi, masih uraka-urakan. Semau gue deh. Kemanjaaku dirumah sudah pasti terkubur, sudar kukubur di dasar lautan Sawu. Bangun pagi, mandi, ke kapel, makan, ke sekolah, makan siang, tidur, bersih-bersih asrama atau belajar sore, olah raga, mandi, belajar lagi, ibadah sore (pada hari-hari tertentu), makan malam, belajar lagi, doa malam, rekreasi, tidur, seterusnya. Belum lagi ada saat tertentu latihan koor, ibadah vesper, complete,dll. Enam jam disekolah terasa menyenagkan juga berat. Sudah kubilang aku bukan tergolong anak yang cerdas, namun bicara kemauan cukuplah. Kemauan inilah yang bertambah seiring meningkatnya rasa percaya diriku. Kemauanlah yang menjadi peganganku ketika aku memilih masuk jurusan IPA dan kosisten hingga tamat. aku bukan termasuk ukuran cerdas secara pemkiran umum. Maksudnya aku masih merasakan kondisi dimana orang sekeliligku masih berpikir bahwa jurusan IPA adalah wah, gimana gitu, berkelas, cerdas. Bahwa menguasai matematika adalah cerdas, suka fisika adalah cerdas, jago kimia adalah cerdas, perfect di otak kiri adalah prestasi besar, cerdas dan excellent. Pemikiran yang belum mengenal multiple inteligensi. Secara umum masih ada anggapan bahwa inteligensi matematis-logis yang memang diminan dalam IPA ataupun sains lebih tinggi daripada inteligensi lain yang erat dengan jurusan IPS atau Bahasa. Aku sadar kecerdasan logika-matematikaku minim. Namun atak ada salahnya berusaha, berkemauan keras. Puji Tuhan semua berjalan dengan baik. Menjadi pelajaran bermakna juga dalam hidupku ketika akan memilih sesuatu. Sebenarnya akua lebih berminat ke seni, sastra, sejarah atau pengetahuan social. Hanya saja dinegaraku keunikan setiap pribadi siswa belum termanfaatkan. Kurikulum masih saja berlaku tak adil bagi siswa kalau tak boleh dibilang kasar terhadap hak-hak siswa/anak. Itulah mengapa kita selalu tertinggal dalam berbagai hal. Misalkan Indonesia selalu langganan medali di olimpiade sains, yah karena siswa sejak awal digembleng/dikarantina secara terfokus atas apa kemampuannya, interesnya, spesifik inteligensinya. Mereka diperlakukan khusus sebagai pribadi yang otonom demi memanfaatkan kecerdasannya itu. Bukan asal pukul rata saja. Itulah mengapa aku mendukung adanya SMK. Lebih spesifik, terarah dan fokus. Sehingga tujuan atau targetnya tercapai. Berteriaklah teman, mereka (penguasa) tak mau mendengarmu.

Teman yang bagiku cerdas di kelasku tentu saja Dodi Botha, Rian, Rio Sanudin, Elsa Rea, dan Chintya Aten. Dodi kemudian mejadi langganan juara umum. Dia memang layak. Nilain raport semester pertamaku tak begitu bagus. Tak menjmah sepuluh besar kelas, hanya puas di urutan enam belas dari 32 siswa. Tak apa. Meski aku masih terus berlari disaat teman-teman sudah cukup stabil dengan situasi dan kondisi di Syuradikara. Sudah kubilang aku dari sekolah yang boleh dikatakan minim kompetensi. Berada di Syuradikara yang penuh siswa dari berbagai latar belakang yang umumnya sudah terbiasa dengan suasana kompetensi ketika di SD dan SMP dulu membuatku cukup kagok di awal semester.

Dengan sendirinya ruhku mulai kawin dengan ruh Syuradikara. Terlalu berlebihankah? Maksudku jika warga Negara punya ruh nasionalisme maka aku yang sudah menjadi warga Syuradikara juga memiliki Syuradikaraisme. Paling tidak filosofis mulia yang sudah diciptakan para ‘bapak bangsa Syuradikara’ selama puluhan tahun bisa kurasakan juga. Semangat inilah yang tanpa sadar sudah merasuk siapa saja yang pernah menjadi bagian dari Syuradikara. Syuradikaara adalah rumah dimana jendela, atap, lantai, dinding dan pintunyaa mampu member hangat bagimu, catnya yang cerah mampu membuatmu senyum. Orang rumah yang ramah akan menyambutmu dengan kuluman cinta. Ini bukan hiperbolis kawan. Ini nyata.

Syuradikara berdiri 1 september 1953 delapan tahu setelah Indonesia merdeka. Syuradikara berasal dari bahasa sansekerta ‘syura adi kara’ kira-kira artinya pencipta pahlawan utama. Sudah kubilang nama yang filosifis ini lahir dari sebuah ketulusan. Ketulusan P. Van Trier, SVD dalam memajukan harkat hidup masyarakat dengan pendidikan, kerena pendidikanlah masyarakat bisa merasa merdeka seutuhnya, merdeka dari kebodohan sama artinya dengan merdeka dari kemiskinan. Cita-cita mulia dari seorang misionaris Belanda.

SYURADIKARA

Cipt. P. Van Trier, SVD

Mars SMU Katolik Syuradikara

_________________________________

Cita-cita yang kukandung murni mulia

Hendak mengangkat bangsaku

Indonesia…..

Giat gembira

Bagai perwira

Kurban dan perjuangan tak ku elakkan

SYURADIKARA

Nyalakanlah bara, pencipta

Pahlawan uatma

Mulia megah

SYURADIKARA

Suar batinku

Suluhi langkahku

SYURADIKARA

(ayat dua)

Laut yang luas jadi lambing cita-citaku. Gunung tinggi

Pralambang

Iman yang teguh

Tuhan yang esa

Maha mulia

Aku berbakti padaMu

Sampai matiku…

Setiap menyayikan mars ini aku seakan terhipnotis, merasakan ruhnya menari-nari dan mencabik-cabik Syuradikaraismeku. Tak pelak bulu kuduk berdiri. Dada bergemuruh. Menyanyikan lagi ini adalah saat merasakan dimana tubuh merespon gelora emosional jadi titik-titik bening disudut mata. Tak lekang jika cinta itu benar-benar tulus murni. Jika ruh itu benar-benar dijaga kuat oleh para penerus juang pater Van Trier.

Syuradikara mempunyai tagline tersendiri Lux Ex Scientia, dari bahasa Latin, cahaya yang menerangi ilmu pengetahuan. Sungguh Syuradikara telah menjadi obor penerang yang telah menjangkau pelosok bumi Flobamora. Dari sanalah kelak suar dari obor tersebut sampai kemana-mana, menyebar ke pelosok dunia. Aku bangsa telah menjadi salah satu percikan cahaya dari obor Syuradikara. Belum seberaapa memang. Hanya ketulusanlah jika aku mau percikan cahaya ini akan memerah jadi suar bagi langkah manusia dalam ziarah panjang menuju sang Khalik. Kira-kira sang pencipta obor itu sudah berbahagia disana, karena sudah bnayak obor baru tercipta dari tubuh obor induk, Syuradikara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Beta tunggu lu pung komentar di sini, danke...