Senin, 01 September 2008

Pelangi Syuradikara


Pelangi itu ada di Syuradikara. Dan aku bangga ada disana dengan sedikit kebisaanku, setidaknya sedikit yang kupunya aku adalah secuil spektrum, setitik berkas cahaya yang sama-sama terakumulasi menjadi pelangi Syuradikara. Tak berlebihan memang. Aku merasa diterima baik disini. Aku mendapatkan cermin besar dimana seluruh tubuhku terpantul dengan jelas, aku tahu siapa aku ini diantara sesamaku. Yah, aku tak berprestasi. Tak menyumbang bagi Syuradikara sebuah medali Sains. Tapi hanya dengan adanya aku, menjadi bagian aku dalam ‘rumah’ Syuradikara aku sungguh menemukan setidaknya satu percikan kandil yang menggambarkan sebuah rupa yang seolah berteriak kepadaku ‘hei..bung! inilah rupamu. Inilah dirimu adanya. itu saja, bung!..’ (aku merasakan kekeluargaan itu kental bagai saudara se’rumah’ disini, tak lebih baik ketika aku ditempat lain. Di tempat kuliahku sekalipun. Aku hanya tahu keluarga selain di rumahku hanya di ‘rumah’ Syuradikara ini. Aku selalu emosional ketika berbicara tentang Syuradikara. Apa ruhnya begitu kuat merasuk?).
Setiap orang yang pernah mengenal Syuradikara tentu punta cara atau kacamata sendiri dalam memandang Syuradikara. Dan bolehlah aku menciptakan ‘pelangi’ bagi Syuradikara di alam imajinasiku. Kenapa pelangi? Ini ada hubungannya dengan buku laskar pelangi karangan Andrea Hirata yang terkenal itu. Aku sudah membacanya hampir 5 kali. Benang merahnya adalah hidup-pendidikan-kebijaksanaan-ketulusan. Bagiku Andrea punya hati yang mirip dengan pater Van Trier hanya saja wujudnya berbeda. Mimpi tentang hidup yang lebih berarti lagi lewat pendidikan. Keduanya berhasil membakar sisi emosionalku. Betapa ada demi sesame adalah sebuah kebermaknaan hidup yang hakiki. Seperti pelangi itulah optimisme yang sudah diukir pater Van Trier, yang sudah dilukis Andrea dan yang masih kubaca sebagai rupa yang indah, menjelang cita-cita itu terwujud. Sudah rangkai itu. Sedang dalam proses. Semoga Tuhan merestui pelangiku ini. Aku tak mau terjebak. Sudah kubilang kebohongan dan kepura-puraan itu beda-beda tipis.
Ini boleh dibaca sebagai sejarah. Sejarah yang penggalannya pernah dialami sendiri olehku, direkam dalam buku harian. Lama tak terjamah. Kelak tiga tahun setelah berlalu dari Syuradikara, menjelang ulang tahunnya yang ke 55, rasa kangen itu menyeruak batin. Aku masih cinta Syuradikara. Tak pelak kuakui benar adanya aku begini karena Syuradikara. Sama seperti bintang iklan kecap yang berteriak di TV, ‘rasa tak pernah berbohong’ akupu sama (meski kita tak tahu apa bintang iklan itu selalu memakai kecap X dirumah? Kebohongan dan kepura-puraan beda-beda tipis, sebelas-duabelaslah he-he). Rasa ini nyata. Senyatanya usahaku menulis kembali memori, potongan isi buku harianku sebagai ucapan terima kasihku. Lebih dari itu aku ingin membagikan ‘pelangi’ku ini kepadamu yang pernah mengenal Syuradikara dengan cara lain atau malahan tidak sama sekali. Tidakkah semakin banyak pandangan terhadap suatu bentuk sejarah akan lebih baik ketimbang hanya dari satu kacamata bengkok? Ini demokrasi kan? Berbicara sejarah, aku ingat betapa puluhan tahun Indonesia hidup dalam sebuah sejarah rekaan, dibuat baju seragam-hanya satu oleh orde berkuasa. Hanya satu. Ketika itu kita tak kuasa menelan bulat-bulat buku karangan Notosusanto hanya karena sejarah itu diceritakan salah satu sumber saja. Jangan sampai. Lupakan itu.
Seperti pelangi aku merasakan menyeburkan diriku ke setip warna yang ditawarkan Syuradikara padaku. Aku bisa melihat diriku dalam berbagai rupa. Jika pelangi nyata punya tujuh warna dasar me-ji-hi-ku-bi-ni-u (semoga tak salah urutannya, aku mengahfalnya ketika dulu di kelas Fisika ibu Anas Sei yang cerdas itu), maka aku punya sejuta warna bercampur yang kusebut pengalaman. Ada saat kumelihat diriku begitu aneh dan kaku sekaligus diwarna hijau maka aku bisa meihat bentuk pribadi tersembunyiku dalam warna putih. Atau ketika aku mendapati diriku malu dalam warna merah, dan bahagia lain dating dari warna kuning (kuning adalah warna yang sempat kugemari dari selama kelas 1 SMA. Temanku Mensy Baba salah satunya yang menyukai warna kuning. Ia selalu menjadi serbuan olokan oleh teman-teman, juga aku, ketika warna putih menjadi warna jiwaku. Padahal kuning juga menjadi warna kesejatian Syuradikara. Maafkan karena kemudaan kami dulu). Aku punya banyak koleksi T-shirt berwarna kuning meski akhirnya ketika di kelas tiga semuanya kusimpan rapat-rapat didasar lemari. Aku lebih mengoleksi baju putih. Itulah anak remaja. Bahasa orang dewasa selalu plin-plan. Bagiku ini wajar sebagai proses pencarian jatidiri, warna pelangi terbaik yang mewakili karakterku. Syuradikara berhasil (meski belum banyak) menciptakan siswa yang seimbang antara pemanfaatan otak kiri dan kanan, intelektual dan karakter, keselarasan antara cipta, rasa dan karsa yang menjadi jargon khas bapak Ki Hadjar Dewantara. Aku menyebutkan ‘belum banyak’ karena untuk beberapa hal para pendidik masih terpaku dengan cara tradisional guru lebih aktif, soal multiple inteligensi, soal keunikan setiap siswa kadang masih minim perhatian dan perlakuan yang tepat (karena beberapa dari antara mereka memang guru senior angkatan babe gue, abg, he-he). Untuk hal lain memang system kurikulum di Negara kita yang terkesan sangat mekanis. Siswa dituntut untuk menyerap ilmu sebanyak-banyaknya dalam waktu yang sesingkat-singkatnya. Akibatnya pendidikan tidak lebih dari sebuah bisnis yang mengorbankan hak anak/siswa. Materi di sekolah yang menumpuk, ditambah les A, B, C, dll. Deadpan kostku di daerah Bumijo Jetis Yogyakarta ada sebuah lembaga bimbingan belajar. Aku kasihan dengan siswa zaman sekarang. Sekolah dari jam 07.00 hingga jam 13.00, selanjutnya jam 16.00 sampai 20.00 waktu dihabiskan di tempat les. Begitu terus sepanjang minggu. Belum lagi les ‘ekstrakurikuler’ musik, menari, dll. Hampir anak tak ada waktu bermain. Akhirnya sekian banyak materi yang masuk hanya sebatas di short term memory, untuk beberapa saat baik tapi tak lama bertahan. Apalagi semua dilakukan siswa karena terpaksa oleh kurikulum. Ibarat mesin turbo menurut Sindhunata target utama pendidikan hanya demi efisiensi, dan siswa dididik untuk mengejar efisiensi. Beruntung Syuradikara masih mengembangkan pendidikan ‘karakternya’ lewat kegitan kerohanian, semangat kekeluargaan sebagai satu komunitas, asrama pun memberi kontribusi besar yang baik dalam membagun cipta, rasa dan karsa itu secara seimbang. Syuradikara masih mempetahankan ketiga nilai ‘tradisional’ tersebut dengan baik. Sistem nilai yang juga dirintis oleh pendiri dulu. Pelangi yang bernama Syuradikara. Sekolah yang sudah menciptakan jutaan spectrum warna pelangi hingga keberbagai pelosok dunia. Aku salah satunya yang mencoba menetaskan warna itu, warna yang kudapat dari Syuradikara. Putih. Kini masih pucat. Sedang kutata untuk lebih cerah, suatu saat nanti jika mimpiku telah berbuah. Doakan pelangiku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Beta tunggu lu pung komentar di sini, danke...