Senin, 01 September 2008

KEPALA SEKOLAH (Part 11)


Aku mengalami dua masa pemerintahan seorang kepala sekolah selama 2002 hingga 2003. Pater Michael de Fretes dan Bruder Simplisius. Aku tak tahu banyak tentang pater Michael dibandingkan bruder Simply. Bukan tak mau tahu, hanya saja bruder Simply keburu mengganti Pater Michael. Soal waktu saja. Sebagai warga Asyur toh aku akhirnya lebih banyak tahu bruder juga para biarawan di komunitas santo Rafael secara keseluruhan. Bagikku bruder Simply punya karakter kepemimpinan yang unik (bukan Brusly, seperti ulah teman-teman dulu menyebut nama beliau. Ini demi kesopanan. Maafkan aku karena dulu juga pernah melakukan hal bodoh itu. Mengapa bodoh? Karena tendensinya hanya untuk lelucon belaka.)
Sebagai guru yang punya latar belakang pendidikan yang tak jauh dari dunia psikologi aku yakin itu pilihan beliau, style dalam mendidik siswa/i. mendidik dengan hati. Mendidik dengan pendekatan individual untuk menghormati keunikan pribadi setiap siswa yang memang pantang untuk disamaratakan. Sebagai orang yang cukup mumpuni dibidang bimbingan konseling sekolah aku merasa ada cara beliau yang sangat patut. Meski dibeberapa situasi caranya kurang disambut baik oleh siswa didik. Kubilang beliau terlalu baik untuk banyak hal.
Aku ingat betul ketika beliau gemar membagi makanan buat kami disaat belajar malam. Sudah kubilang dia punya cara tersendiri dalam mendekati siswa/i. Sama sepertiku, beliau adalah kutu buku sejati.(aku selalu bangga dengan sebutan ini.)
Ada beberapa koleksinya yang kupinjam. Serial Harry Potter. Koleksi majalah Intisari. Wajah Sebuah Vagina-nya Naning Pranoto novel dengan latar kisah nyata yang terakhir aku pinjam darinya. Ia adalah pehobi renang dan basket.
Suatu saat dia selalu memuji kesopananku. Ah, aku agak terganggu dengan sebutan itu. Hanya karena aku iri melihat teman-teman yang bisa berbuat onar ketimbang aku yang selalu baik dimata orang lain. Aku selalu ingin untuk nakal tapi tak bisa. Aku melewati tiga tahun studi tanpa membuat masalah berarti di sekolah. Padahal aku rindu jalan bengkok. Aku rindu dipanggil mendadak ke ruang guru. Aku rindu pengadilan khusus di ruang kepala sekolah. Aku selalu bermimpi menjadi tersangka baru dalam buku daftar ‘dislinkes’nya pak Karel Sawi dan Pak Ferdy Levi. Mengapa perilaaku itu sulit aku raih. Hanya karena aku terlalu baik dimata orang lain. Hanya karena jiwaku telah terbasa dengan kesopanan? Atau aku hanya remaja bodoh? Jelas ini bukan pura-pura. Tapi kan aku juga pernah membuat kenakalan di Asyur, namun tetap saja itu tak berarti dimata semua orang, juga bruder Simply. Suatu saat dia memuji kesopananku. Aku hanya diam terbungkus tawa tak renyah. Ada yang salah dalam diriku? Aku adalah pribadi yang pemendam. Aku suka jika jiwaku penuh dengan hal-hal yang penting hingga tak penting. Itulah yang kadang menjadikanku begitu introvert. Tetapi tetaplah aku anak sopan dimata orang lain. Tak selamanya pujian disambut baik olehku.
Suatu saat mereka memuji kesopananku. Aku malu karena kepura-puraanku. Aku malu karena melihat diriku dipuji. Aku lebih malu lagi karena aku sungguh tak menghargai diriku. Penyakit yang lama aku perangi.
Pengakuan bruder itu disampaikan kepadaku setelah ada pertemuan singkat dengan ayahku. Begini katanya, aku melihat ada kejujuran dimata beliau (ayahku). Buah jatuh tak jauh dari pohonnya mungkin benar adanya. Terlalu sopan dan ramah. Bapakmu polisi akan? Hmn, aku sudah cerita anak bapak itu tak pernah sekalipun dibicarakan di rapat guru. (bagiku ada dua hal ketika seseorang dibicarakan dalam rapat guru, baik atau buruk. Baik jika ada prestasi, buruk jika ada masalah yang dibuat siswa tersebut. Dan aku bukan keduanya. Aku selalu pemalu dan itu menutup diriku!.)
Aku selalu ingin menjadi nakal tapi tetap tak bisa. Menurut Freud seorang ahli Psikoanalisa terkenal di dalam diri seseorang ada yang namanya Superego (das ueberich) yaitu tataran nilai moral, suara hati terdalam. Nurani manusia. Salah satu yang disebut-sebut membangun tubuh psikis seseorang, system kepribadian manusia. Ia yang membantu seseorang memilih baik atau buruk, boleh dan tidak boleh. Mungkin inilah salah faktor tersendiri yang bertanggungjawab atas diriku. Superego adalah nilai atau aturan yang sifatnya evaluatif. Masih menurut Freud, superego terbentuk dari internalisasi nilai atau aturan dari sejumlah figur yang berperan, berpengaruh seperti orang tua dan guru. Dan aku memang sejak lahir sudah terjeba dalam pengasuhan orang tua atau guru yang serba sopan. Kelak ketika aku remaja aku rindu ketidaksopanan. Suatu keawajaran bagi seorang remaja yang selalu membandingkan pengasuhan orang tua dengan lingkungan nyata di luar keluarga, teman bergaul misalnya. Beruntung atau tidak toh aku tetap kokoh dalam balutan superegoku. Rindu dan benci sekaligus. Aku memang punya ayah yang bijaksana dalam mendidik. Sopan dalam mendidik. Maklum sejak kecil kami tak pernah dididik dengan kekerasan meskipun ayah adalah seorang polisi. Militeris tetaplah militeris. Tetapi bagi kami militeris itu tetaplah manusiawi. Lantas mengapa aku ingin ketidaksopanan? Karena aku berada dilingkungan yang ‘rawan’ ketidaksopanan-kenakalan. Aku rindu itu.
Lantas setelah aku bertemu bruder aku masih punya dua tigakali pikiran soal itu. Teringat dulu ketika aku kecil. Aku diasuh oleh ayah yang pemaaf, aku ditimang ibu yang njawani, karena pengaruh nenek yang memang orang Jawa. Tak heran meski kami lahir di Timor tapi bau tubuh kami tak lepas dari pengaruh budaya Jawa. Kerap aku disangka lain oleh teman-temanku. Aku ini blasteran buadaya (dan pola asuh) punya beberapa sisi pribadi berbeda tinggalah respon itu lahir ketika dimana aku berpijak. Fleksibel, kawan he-he-he.
Dekat dengan Bruder Simpli sama dengan mengenal bacaan lebih mendalam. Aku semakin menyukai sastra. Aku tahu Psikologi.(tahun 2006 aku mengirim SMS ke Bruder, ..apa itu psikologi? Aku hendak kuliah psikologi. Doakan yah.) Aku juga akrab dengan Frater Erno yang menjalani tahun orientasi pastoralnya di Syuradikara. Kami adalah sesama insan pencinta buku, gila baca. Aku semakin akrab dengan buku, dan jatuh cinta pada sastra. Ada satu buku yang membangkitkan semangat menulisku adalah novel terbaik dari Ayu Utami, Saman. Aku membacanya hampir tiga kali. Pertama aku bergelut dengan bacaan dewasa dan berisi. Kini Ayu adalah novelis favoritku disampin bung Pramudya AR dan Mangunwijaya. Aku beruntung bisa mengenal mereka ketika aku masih SMA bahkan masih di kelas satu. (novel Ayu yang terakhir, Bilangan Fu, sampai kubaca 5 kali juga masih tak puas.)
Mengenal dua sosok diatas adalah mengenal diriku, dimana aku menemukan sisi lain dalam diriku terlampau khusyuk dan bercahaya ketika aku membaca dan menggeluti sastra. Aku punya bakat untuk itu. Syuradikara sudah memberi kesempatan baru buatku. Perlahan aku mulai mengetahui siapa aku ini. Terima Kasih Bruder, thanks Pater Erno (beliau ditahbis tanggal 29 Juli 2008, barusan).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Beta tunggu lu pung komentar di sini, danke...