Jumat, 12 September 2008

Jejak Spiritualitas


Tak henti-hentinya saya terpukau atas tulisan atau isi novel Ayu Utami, Bilangan Fu. Buku ini tak bosan-bosannya saya baca hingga yang keepat kali dan sepertinya tak ada habisnya untuk dibaca, dicerna, ditelaah sekaligus dipikir-pikir lagi. Sampai saya senyum sendiri dan bergumam, gila yah novel ini, idenya kok segitu maksudnya dunia khayal seorang Ayu begitu luasnya. Saya seolah terbuai dan mengikuti kemana saja keinginan penulis membawa saya (dan pembaca lainnya) untuk menyelami hingga yang terdalam, ikut merasakan sedih, marah, tawa atau kegelian juga kecewa yang dialami para tokoh. Saya bahkan seolah merasa sayalah si Parang Jati, paling tidak ada satu sisi pribadinya yang begitu mengena dan saya terus bergumam kok mirip yah, mirip yah…
Saya memang menemukan sedikit yang selama ini bergelayut di hati saya,tentang keimanan saya. Saya termasuk orang baru yang mencoba ‘peruntungan’ dengan bergaul sekaligus memuaskan keingintahuan saya atas dunia filsafat, filsafat eksistensialime terutama. Saya sadar keimanan saya, atau kekatolikan saya ini lebih tepatnya tak lebih dari sebuah given, yang terberikan, yah karena sedari lahir saya dididik, dibina dan dipahamkan dengan tradisi Katholik yang taat, tanpa saya memilih atau sekedar diberi kesempatan oleh orang tua saya untuk menimbang-nimbangnya. Dan kini setelah berusia 21 tahun, saya sudah sampai pada titik ‘yang menantang’(yang saya kira umum dialami oleh setiap orang), memahami lebih dalam, mengkritisi keimanan saya, kepercayaan yang sudah menemani saya selama kurun waktu tersebut. Benar jika ini adalah titik rawan karena sadar atau tidak saya mulai secara rasional dan spiritual bertanya atau memepertanyakan apapun yang ada dalam diri saya atau sesuatu yang sudah ada selama ini, agama saya, yang saya jalani tanpa tahu betul, kenal betul atas ini semua. Saya sadar tak selamanya saya bisa mempercayai sesuatu secara 100% atau 0%. Apalagi yang saya yakini itu selama ini masih sebatas saya dengar, resapi,tahu konsekuensinya dan jalankan tanpa saya diberi kesempatan bertanya dan hanya karena ‘keyakinan’ bahwa yang orang tua atau guru saya berikan sudah pasti benar, padahal belum tentu. Dan benar yang bagaimana? Benar versi siapa? Itu yang hendaknya saya cari tahu. Jangan sampai saya hanya asal ‘terima bersih’, menjalankan lalu menilai jelek orang lain yang berbeda dengan cara saya, pemahaman saya atau keprcayaan saya.
Kini saya harus banyak berterima kasih kepada novel ini, karena dengan ini saya setidaknya sudah sedikit dan semoga lebih lagi dalam memahami diri saya, agama/kepercayaan saya, memahami orang lain dan lingkungan secara untuh dan menyeluruh tidak dari satu sisi saja melainkan dari berbagai sudut pandang. Toh saya sebagai manusia sudah diberikan sejumlah kemampuan untuk itu sehingga tak ada salahnya untuk mencoba, mencari tahu yang sebanyak-banyaknya, berlaku kritis seperti yang diinginkan Ayu.
Dengan novel ini pun saya sudah terbantu untuk melihat diri saya sudah sejauhmana saya melangkah, sejauhmana saya berperilaku, sejauhmana saya berpikir atau sejauhmana saya memandang diri saya sekaligus memperlakukan diri saya. Saya kira ini paling dasariah bagi semua manusia. Beruntung juga jika saya sudah dibolehkan oleh yang Maha Pencipta sedikit mengenal sesame manusia dan dunia secara luas. Ah, saya mau membaca lagi. Saya mau membiarkan imajinasi saya terbang sejauh dan seluas dunia Ayu dalam Bilangan Fu-nya. Saya mau melihat dunia dengan cara Ayu sekaligus belajar untuk melihat dunia dengan cara saya sendiri, kacamata saya, cara pandang saya sebagai manusia yang otonom. Biarkan saya terbang, saya diam, saya marah, saya tersenyum lalu berlari lagi, terbang lagi dan tersenyum puas, tersenyum pada novel Ayu yang sudah membolehkan (dan mengajarkan) saya melihat dunia secara bijaksana/manusiawi: laku-kritis!
Bumijo Lor No.1215, Jetis Yogyakarta
12 September 2005

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Beta tunggu lu pung komentar di sini, danke...