Rabu, 10 September 2008

Industri KKN!


Perjalanan panjang menuju Indonesia yang bersih dari KKN. Yah, tak dipungkiri memang. Barusan saya menonton TV yang menayangkan kasus dugaan suap oleh deputi gubernur BI terpilih waktu itu, MG. Sontak tayangan ini kembali memancing memori lama soal sepak terjang KKN di negeri ini. Banyak kasus bergulir, ditindak namun hukum di Indonesia terbukti masih belum mempan dalam penindakannya, masih ujung-ujungnya persoalan hukum menghukum masih diliputi skandal suap menyuap. Kata orang hukum kita ibarat sarang laba-laba, mempan bagi nyamuk namun bagi tikus atau singa sekalipun akan lolos begitu saja. Ada juga istilah maling ayam dihukum (bahkan disiksa) penjara, namun maling uang rakyat suap sana sini lolos deh. Ah, betapa hatiku kian pesimis!
Sudah saatnya perangi korupsi namun hal ini sudah keburu membudaya jika tak berlebihan. Betapa colonial dulu bagi saya meninggalkan tatanan hidup yang kompleks juga termasuk hal KKN. Jika dulu dilakukan oleh penjaja maka kini saudara sendiri, orang setanah air sendirilah yang melakukan. Dan agama sekali lagi seolah tak bisa menunjukan keeksistensinya membantu mengatasi masalah-masalah ini. Yang terjadi dinegara kita sudah sedemikian kompleksnya sehingga upaya pemberantasannya butuh waktu juga komitmen bersama, menguatkan kembali sendi-sendi hukum, salah satunya, juga nilai-nilai luhur budaya dan agama.
Saya jadi ingat juga dengan pengalaman saya juga teman-teman saya. Dulu saya ingin sekali masuk STPDN, karena kemudahan setelah tamat, ada ikatan dinasnya. Namun kenyataanya kemudahan tersebut disalahgunakan demi kepentingan pribadi. Bayangkan jika nama saya ingin lolos dalam tes seleksi di tingkat kabupaten maka saya harus memberikan uang pelicin (baca:suap) kepada oknum petugas tertentu. Saya yakin dalam peraturan pemerintah tak membahas hal tersebut. Sama halnya dengan teman-teman saya yang ingin mengikuti tes menjadi perwira Polisi, saya mendengar pengakuan orang tua teman saya itu yang memberikan uang pelicin sebesar Rp. 35 juta. Teman saya itu lulus. Di daerah rekrut propinsi NTT nominal transaksi konon beragam ada yang tak segan-segan memberikan kunci mobil sekalian kepada oknum petugas jika ada jaminan sang anak bisa lulus tes. Justru banyak yang datang dari daerah luar NTT, mengikuti tes, membuat KTP palsu sebagai warga NTT, surat keterangan palsu,dll, lantas lulus deh. Dan semua itu berjalan melibatkan uang. Sekali lagi UANG. Betapa lagi, dijaman sekarang uang sungguh-sungguh berkuasa di Negara ini, tak heran ada slogan yang miris memang ‘ sila Pancasila pertama: Keuangan yang maha esa’ yang popularitas uang melebihi popularitas Tuhan. Karena orang lebih tergiur pada ‘yang pasti-pasti aja’ seperti bunyi salah satu iklan provider seluler, maksudnya UANG terasa lebih real, rasional ketimbang Tuhan yang memang secara fisik tak kasat mata.
Lucunya soal cerita teman saya yang lulus polisi, ayahnya dengan sedikit bangga bercerita ke saya, ‘yah saya sudah menghitungnya, saya rugi sekarang 35 juta namun dengan kalkulasi jika gaji anak saya sebulan 2 juta lebih maka perlu ….dst’. Saya Cuma tersenyum, dalam hati waduh..
Di jalan petugas Perhubungan suka pungli. Di kelurahan banyak pungli. Ngurus KTP pakai uang pelican, mau urus ini pakai duit juga. Mau tes pekerjaan, tes kuliah, sekolah,dll uang yang berperan. Pungli dan suap menyuap tak terelakkan. Polisi di jalanan kerap meminta lebih, berlaku menyalahi aturan, seperti pengalaman teman saya, ‘sudah dek, mau kasih duit aja trus adek bisa pergi aja, atau pake acara sidang segala..ayo, yang mana?’ kata sang polisi. Temanku pun tergiur dengan usulan polisi. Karena tanpa birokrasi yang rumit sang oknum tersebut meminta uang lebih. Sekali lagi ini oknum, begitu kita selalu berkelit namun tak sadar jika kita juga sudah membiarkan ‘keoknuman’ itu bertambah besar malah mungkin kita juga salah satu oknumnya dan sudah ketagihan dengan hal tersebut. Saya tak munafik jika saya pernah berlaku demikian, ingin bermain aman, meski dalam skala kecil namun saya pun sadar juga kahirnya bahwa meskipu kecil jika itu dilakukan se-Indonesia yang jadi kelihatan sebukit atau segunung juga. Hal kecil inilah yang kadang masih menjebak kita dan membuat bagsa ini seolah lari di tempat. Dilematis juga karena disisi lain KKN justru dilakukan karena factor kemiskinan dan kesenjangan social yang sangat kelihatan di Negara ini yang mendorong orang miskin pun kalap mata di depan uang karena mereka sudah tersihir juga muak dengan penderitaan juga kesombongan orang kaya. Jika terjadi demkian sungguh bangsa ini sedang dan sudah mungkin meengarah ke bangsa yang sakit bukan saja fisik melainkan juga psikis.
So, masalah pemberantasan KKN sebenarnya dimulai dari diri sendiri, dari lingkup terkecil yakni keluarga. Keluarga berperan dalam pembentukan nilai-nilai moral dan spiritual atau superego. Dan Negara dengan segala kebijakannya seharusnya mulai memetingkan kesejahteraan dan keadilan di dalam masyarakat. Jika ada pemerataan atau keadilan secara sosial di masyarakat maka pasti KKN itu pun akan menjadi minim. Pemerintah pun harus berkomitmen untuk benar-benar menegakan hukum yang adil di masyarakat. Jadi jangan karena saya pemimpin berterika-terika soal pemberantasan korupsi namun kemudian seolah mendiamkan karena BESAN saya terlibat kasus KKN. Jelas saya bukan pemimpin yang adil dan bijaksana sehingga sepantasnya adan tak usah lagi memilih saya.

Bumijo Lor 1215 Jetis Yogyakarta, 10 september 2008
Dicky Senda

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Beta tunggu lu pung komentar di sini, danke...