Jumat, 05 September 2008

Fair Play


Fair play. Sportivitas. Dua kata yang erat dalam dunia keolahragaan bahkan ‘kemanusiaan’ pada umumnya. Pasalnya manusia sebagai makhluk paling bermartabat, paling rasional yang seharusnya perilaku hidupnya sejalan dengan hal di atas. Maksudnya adalah fair play atau semangat sportivitas merupakan nilai-nilai yang dekat sekali dengan manusia. Keduanya tak ubahnya bukan saja sebagai nilai ‘kemanusiaan’ melainkan juga moralitas dan spiritual juga. Itulah mengapa tindak-tanduk semacam rasisme, seksisme, dan sekian semangat menindas atau mengaggap remeh orang/kelompok lain karena mereka berbeda dengan kita. Melihat orang lain bukan sebagai manusia yang seharusnya berposisi sejajar. Hal yang sama muncul ketika belakangan kekerasan atas nama agama, atas nama kelompok, suku, ideology,dll terjadi di Negara kita. Pun yang sama terjadi beberapa waktu lalu saat final ‘Piala Kemerdekaan’ di Jakarta. Pasalnya sebagai tuan rumah official Timnas kita sudah berlaku tak wajar terhadap pihak lawan, Libya. Insiden memalukan itu terjadi saat turun minum karena pihak Libya dalam hal ini pelatihnya dipukul oleh official kita setelah tim Libya unggul 1-0 (Kompas, 31/08/08). Sayang sekali. Disaat kita sedang mati-matian berusaha meningkatkan citra persepakbolaan tanah air yang masih saja terpuruk di tingkat regional maupun internasional, juga dunia olah raga tanah air secara umum. Saya selalu heran dengan kondisi bangsa ini, disisi lain kita selalu berteriak mengagung-agungkan budaya ketimuran kita, yang katanya santun, berbudaya luhur dibadingkan budaya barat yang katanya amoral,dsb. Kita marah dan mudah menuduh budaya asing jelek. Namun apakah kasus-kasus diatas yang banyak terjadi di Negara kita benar-benar menggambarkan kondisi manusia Indonesia yang sudah kian jauh dari martabatnya? Jangan bilang jika semua ini terjadi karena budaya asing seperti yang selalu kita koar-koarkan, mudah untuk menyalahkan orang/pihak lain ketimbang berintrospeksi diri, bercermin.
Kejadian sepekan lalu sungguh tak bermoral, sama sekali tidak mencerminkan semangat sportivitas. Jelaslah jika kasus diatas menggambarkan kondisi bobroknya kepemerintahan/birokrasi terutama di PSSI yang mewadahi persepakbolaan tanah air, betapa tidak sang ketua umum masih bertahta dari bilik penjara! Gambaran tak ada kewibawaan sama sekali. Pemimpin yang jelas-jelas egois.
‘‘Bagaimana mungkin para petinggi PSSI bisa memberikan wejangan soal sportivitas,moralitas atau faair play jika ketua umumnya saja berada di penjara,’’ kata Isfhani, pemerhati sepak bola dalam Kompas (31/08/08).
Banyak hal yang terjadi di Negara kita, ketidakberesan birokrasi, KKN, pro kekerasan, segala tindak yang atas ulah seorang atau sekelompok orang kemudian mengorbankan martabat dan citra Bangsa yang luhur, sebagai bagian dari masyarakat Timur yang selalu digambarkan sangat ‘humanis’, menjunjung tinggi sikap kemanusiaan.
Ah, semakin hari saya menjadi begitu prihatinya, sampai-sampai terkadang saya sudah pada titik pesimisnya yang amat tajam atas kondisi bangsa ini. Meski demikian saya bersyukur karena nurani saya masih lebih kuat untuk bangkit dan optimis. Buat teman-teman generasi muda, sama seperti saya, beberapa kata ini buat kita: saatnya kita berubah, optimis, dan bangkit karena kalau bukan kita siapa lagi? Sama seperti saya, andapun pasti tak akan mau jika sepuluh, duapuluh hingga lima puluh tahun kedepannya kita masih saja terpuruk seperti sekarang ini atau bahkan lebih dari ini. Jangan pernah! So lakukan sesuatu dari terkecil dengan dasar menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, keselarasan hidup dalam dunia, jujur dan penuh kasih kepada sesama. Simpel memang tetapi bukan barang mainan…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Beta tunggu lu pung komentar di sini, danke...