Jumat, 15 Agustus 2008

Say to cigarette! Mungkinkah?

Say to cigarette! Mungkinkah?

Belum lama ini LSM Internasional Tobacco Free Kids yabg bergerak dalam kampanye antirokok menginginkan surat kepada penyanyi Alicia Keys dan kantor pusat Philip Morris dedengkot pemegang saham terbesar PT. HM Sampoerna,Tbk di USA. Pasalnya konser Alicia di Indonesia (31/7/08) disponsori oleh A Mild salah satu produk dari HM Sampoerna itu. Akhirnya diputuskan konser tetap berjalan meski tanpa embel-embel nama rokok tersebut. Salut buat LSM tersebut. Sebagai warga Indonesia seharusnya kita berterima kasih kepada mereka. Toh, di dalam negeri masalah rokok masih adem ayem saja.

Pemerintah terbukti belum bertindak tegas soal yang satu ini ( ah,saya harus meralatnya, dalam banyak hal pun pemerintah kita selalu lamban saking banyak mikirnya kan?). Kita masih berkutat dengan alasan ‘lahan basah’ bagi datangnya devisa Negara. Terbukti dengan Perda Larangan merokok di tempaat umum hingga kini tak jelas rimbanya. Ditengah ketidakjelasan nasib, tak ada control iklan rokok 24 jam di TV, di radio, Koran, majalah,baliho,dinding halte yang penuh tempelan poster rokok,dimana-mana serba rokok.Bahkan di kota-kota besar ada rokok masuk kampus (mungkin juga sekolah) dengan penjajanya perempuan-perempuan seksi ‘ronda’dari kampus satu ke kampus lainnya. Dibungkus dengan game dan program yang menghibur tapi intinya yah ‘…coba deh mas yang ini, produk baru, rasanya lebih nikmat,beli yah mas?. Bahkan bagi Anda warga Jogja atau yang pernah ke Jogja dan melihat TV raksasa di taman Garuda, sebelum Malioboro, dibuat oleh sebuah produsen rokok besar. Alih-alih menghibur toh TV yang ‘hidup’ 24 jam itu toh ada iklan rokoknya.

Indonesia memang pasar rokok yang sangat bagus. Jumlah penduduk tentu menjadi pasar yang menjanjikan. Sikap pemerintah yang selalu ‘lunak’ untuk hal-hal yang berbau kapitalis itu sudah pasti. Kemiskinan bagi saya juga berpengaruh, yah, secara rokok bisa membuat seseorang sejenak lupa akan beban hidupnya, apalagi kini rokok telah sukses dimodifikasi dengan hal-hal yang menghibur yang notabene sangat manjur mengobati (meski untuk sejenak) masyarakat yang miskin. Pada titik yang paling krusial adalah kita benar-benar ‘kecanduan’ dengan rokok.Dengan kekuatannya rokok mampu membuat masyarakat Indonesia seolah tidak bisa hidup tanpa rokok. Mengapa saya katakan demikian. Hei, lihat saja event-event yang diselenggarakan mau kesenian/kebudayaan,politik,ekonomi semuanya melibatkan campur tangan atau tepatnua suntikan dana sebagai sponsor. Sudah dipastikan konser music, Film, festival seni/budaya,dari yang berskala besar hinggaa yang setingkat kelurahan memnafaatkan ‘kebaikan’ dari sponsor rokok. Wajar karena dengan sponsor perusahaan rokok beban dana penyelenggaraan bisa diringankan dan sekaligus meringankan penonton (masyarakat berkantong tipis!).Kita sungguh sudah dikepung habis-habisan oleh Kapitalisme. Pilihannya mau berninabobo selamanya atau berani melepaskan diri dari ‘kecanduan’ ini. Keduanya sama-sama punya konsekuensi. Namun jika memutuskan dengan kejernihan logika-moral saya yakin ada pilihan terbaik dan itu yang seharusnya sudah dilakukan Pemerintah kita, masyarakat juga. Sudah saatnya kita memikirkan orang lain, dunia yang lebih luas. Saya berkata demikian karena sampai sekarang saya masih tidak terima dengan perilaku para perokok, banyak sekali yang sangat-sangat egois, menyembulkan asap rokok dimana-mana tanpa sedikit peduli dengn orang-orang sekitar. Pilihan untuk merokok adalah hak asasi pribadi, namun menghargai orang yang tidak merokok juga suatu perilaku yang sepatutnya diutamakan.

Menarik jika masalah ini dikaitkan dengan industri hiburan (seni-budaya) di Indonesia. Satu pertannyaan saya kepada para seniman /pelaku seni tanah air yang selama ini ada, besar dan eksis oleh rokok, beranikah bersikap, dan memikirkan orang lain secara menyeluruh untuk menolak disponsori oleh perusahaan rokok?. Sebagai catatan sebagaian besar Negara di luar sana sudah berani berkata tidak untuk campur tangan industry rokok dalam kaitannya dengan pentas seni/kebudayaan. Berbeda jauh dengan yang terjadi di Negara kita. Kita benar-benar telah ‘kecanduan’ oleh rokok. Tulisan ini dibuat ketika Soundrenalin dilaksanakan di kawasan candi Prambanan, suatu pentas music akbar yang diprakarsai oleh produsen rokok yang sama ketika mensponsori Alicia Keys kali lalu. Konon melibatkan ratusan musisi dalam dan luar negeri. Tak ada yang salah namun bahwa penikmat music tidak monopoli orang dewasa. Apalagi dengan kondisi music anak-anak yang mati suri, tak heran jika kemudian anak-anak mengidolakan music dari musisi orang dewasa, yang eksis dengan bantuan ‘rokok’, tak pelak lagi ‘pesan’ atau imej dari rokok itu bisa nyantol di kepala anak-anak/remaja, artinya euforia music masuk sekaligus dengan euforia rokok ke mental/bawah sadar generasi muda karena proses modeling tadi, panutan. Secara tidak langsung merokok sama dengan meniru gaya sang idola, dengan segala atributnya (terkenal,hebat,ganteng,macho,dikelilingi cewek-cewek cantik,PD,dll).

Sekali lagi, mental kapitalis sungguh membuat manusia egois, tamak, individualistis, konsumtif, rakus tanpa memperdulikan orang lain, alam atau lingkungan sekitarnya. Yang dipikirkan adalah diri sendiri, keluarga dan koleganya. Neoliberalisme jika tidak dimanfaatkaan dengan bijak maka yang terjadi seperti ini, chaos! Pemanasan global, kanker paru, adalah dua contoh yang menggambarkan betapa bumi para manusia ini sebentar lagi akan lenyap! Mungkin saja jika manusia-manusianya tidak sadar dan berubah.

(ketika tulisan ini akan dimuat, saya membaca sebuah tulisan soal festival musik besar yang baru saja berakhir di 'taman perdamaain' Prambanan akan berakhir...ada apa gerangan? yang pasti kita menunggu keseriusan Pemerintah menanggulangi pengaruh rokok yang kian bebeas merajalela tanpa pandang bulu!)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Beta tunggu lu pung komentar di sini, danke...