Darah di Bukit Kapur
: buat Mollo yang galau
Ambil darahku demi pengetahuan, demi hidup
bukan rakusmu
Bunuh. Bunuhlah jiwaku jika kau mampu, demi mata air yang
Bertuah. Berdarah dari seribu dewa tanah. Sudah kau perkosa itu.
Tangkap tubuhku lalu ikat dengan tali malammalam.
Penjarakan citraku demi perut laparmu. Lakukan dengan tambunmu
Sampai. Kulit bukitbukit meleleh. Tulang dewa kini jadi lantai
mewah kaum berduit
Jangan bilang ada nurani ditudung hati mereka!
Hei, semua orang tersumpal mulutnya
Dengan uang. Mereka menggadai tubuh dewadewanya demi perut
saja, mungkin Dengan sedikit otak tanpa nurani. Mereka meracau dasyat
atas nama hidup, apa itu hidup? Hidup adalah darah, membentuk
selsel ketamakan
Oh, demi tuhan, demi mahadewa yang adil, hisap darahku tapi
jangan tinggalkan nanah, darah otak perutmu. Hei, dimana letak otakmu?
Tusuk jantungku sampai kaus berkeringat kejang
Demi bumi, jangan kira aku kalah (yakinlah itu menang rakus)
Demi tuhanku, dewa bumi ruhku melawan ruhmu, dengan tuhanmu.
Siapa tuhamnu?
Aku tak gentar melingkari seribu malam dengan berdarahdarah, sudah kubilang
Darahku demi pengetahuan, pengetahuan letaknya bukan di perut. Sama sekali.
‘Aku membaca ruh saudaraku terpasung pada sebuah pagi yang prematur
Tiba saatnya ruh perempuan itu bergejolak: …dengan payudara kami
Mau tanah dewa dikembalikan. Dengan payudara kami mau mengambil
Air susu bumi yang dicuri’
Aku mendapat kabar dari matahari, mereka mencuri kemanusiaan perempuan itu.
Hanya karena mereka bukan manusia lagi. Lantas mereka apa?
Mereka memasungnya dalam semak duri, tanpa malam yang hangat.
Demi jidat dibawah dadamu, kau kirim kawanan topeng menyebar lolongan
Kematian bagi perempuan itu. Mereka bukan manusia.
Aku yakin kata perempuan itu,
manusia sekarang gemar memakai perut
Ketimbang dada dan isi kepala. Tanah tercipta oleh darah, dan untuk tanah
Darah harus tertumpah. Bukit harus terpercik darah.
Hutan bermandikan darah
Air yang berlumuran darah. Demi hidup yang terampas,
Yah, demi musuh. Kau. Harus ada darah.
Tahu-darah:
Tahu hidup dari darah
Gnosis sanguinis.
Sedangkan kau. Mereka. Tidak! Kau tak tahu-darah. Kau punya
darah dari perut: nafsu belaka. Yang mencemari
pengetahuan dan budi
lewat gigitan beludak, tanpa isi kepala. Memalukan.
Aku menangis karena tuhanmu tak mencintai bumi
Mengapa kau membunuh dewa tanahku?
Mengapa kau mencuri tubuh mezbahku?
Mengapa kau larang aku menyembah batu
Sedangkan kau membunuh bumi?
Bunuh aku demi tuhanmu jika kau mampu: jagad akan bersorak
Luluh lantak berkobar, kemudian selesai.
Chaos! tuhanmu tak mampu menjaga bumi
Sungguh, saudara!
Jika kau tak puas dengan aku, jemput aku.
Tapi jangan gelap. Aku bukan binatang
Aku manusia. Oya, jangan lupa isi otakmu dahulu dengan kekritisan
Tanah Tinggi, 2008
catatan : Mollo adalah suatu daerah di dataran Tinggi pulau Timor, menjadi bahan pembicaraan karena daerah perbukitannya yang mengandung marmer yang konon katanya bisa 'dipanen' untuk puluhan tahun kedepan, nanum apa sejatinya yang diinginkan?toh kita sudah dihadapkan dengan masalah lingkungan yang cukup serius, global warming. kita tahu bahwa perbukitan kapur/karst adalah daerah resapan air terbaik dan itu sudah terbukti telah menghidupi ratusan ribu jiwa di pulau Timor.apa jadinya jika bukit itu 'gundul'. Masalah kedua adalh kita tak bisa terlepas dari yang namanya KEARIFAN LOKAL. sudah sekian tahu pro kontra itu terjadi. yang kontra berasal dari masyarakat adat yang begitu kukuh memegang budayanya, bahwa bukit Mollo ibarat payudara ibu, sumber kehidupan jika diganggu maka alam akan marah. kiranya itu filosofi yang baik demi keselsatarian alam,Toh masih ada anak cucu kita yang akan hidup 10, 20 50 bahkan 100 tahun lagi. cobalah untuk tidak serakah sebagi manusia. herannya yang pro, berlaku arogan dengan menjadi preman, mengancam keselamatan hidup warga yang menolak. Saya yakin mereka dibayar. ada permainan politik dari leit di DPRD juga pengusaha kaya raya yang hanya mementingkan perutnya! dan saya tegas menolak penambangan marmer itu!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beta tunggu lu pung komentar di sini, danke...