Jumat, 29 Agustus 2008

BADE

Secuil asa buat BADE Crew.
Kau pasti tahu betapa remaja ABG senang membentuk kelompok-kelompok bergaul, manusia lain yang sejenis dalam hal karakter, kebiasaan, dan hobi. Akupun tak luput akan hal itu. Memilih teman yang nyaman di hati, nyaman dalam curhat-curhatan, nyaman dalam tawa,tangis dan takut. Nyaman dalam hal fasilitas dan duit juga termasuk. Ini jika ada teman segengmu yang selalu berperan sebagai donator berhati mulia. Aku mengalaminya saat SMP hingga SMA kini. Hanya saja bentuknya lebih beragam dan punya warna tersendiri. Syuradikara mempertemukan aku dengan beberapa manusia yang punya bentuk hati yang kira-kira mudah untuk ditautkan. Itulah teman-teman yang dengan bangga menamai gengnya BADE Crew. BADE yang kemudian kembali menautkan hati bersama dua makhlik dengan dua karakter berbeda, tapi punya hati dan misi yang sama, yakni aku sendiri dan Melus Kandars yang lainnya.
Pramukalah yang awalnya mempertemukan kami. meski sebelumnya aku sudah sekelas dengan dua anggota BADE lainnya Elsa Rea dan Chintya Aten. Pramukalah yang menguatkan persahabatan kami, Pramukalah yang membuat ide-ide segar, brilian dan gila hadir sekaligus dalam satu rupa dengan tiga sisinya.
Aku harus mengenalkan dahulu personel BADE ini. B dari BASIS alias Marsi Seda. Hingga kini aku belum tahu secara jelas mengapa harus BASIS. (dia begitu bangga dengan nama barunya itu, kelak kami suka menggantinya secara sepihak dengan Bu Asiz, Bhasizh,dll, dia selalu menerima dengan aneka komplain.)
Dia adalah anak yang cukup nyentrik dan memiliki sejuta potensi yang wah untuk digali. Hanya saja sikap slengeannya kurang mendapat sambutan positif di lingkungan yang masih terbilang tidak moderat, terlalu tradisional yang memandang perempuan adalah sosok kemayu, feminine, sopan dan lain-lain. Sebagai sosok yang tomboy, nyentrik dilingkungan berhaluan terbalik cukup menguras tenaga dan cepat memanggil stress jika tak ada kekuatan dan segenap rasa percaya diri yang kau punyai. Temanku yang satu ini terbilang sukses untuk melewatinya. Meski awalnya cukup terseok-seok juga. Kami masing-masing tak tahu banyak soal teman-teman se-geng tapi kami masih punya hati untuk care, hanya saja kami masih menghormati privasi sesama kami.
Dia punya tahi lalat yang cukup kasat mata persis di pinggir bibirnya, mungkin inilah yang membuatnya cerewet (maafkan jika aku masih akrab dengan mitos-mitos tradisional itu). Ia selalu benci dengan sebutan ‘tompel’ yang sengaja dilontarkan teman-teman. Suatu kali kelak dia terplih menjadi ketua pramuka alias PRADANA angkatan 2004-2005. Aku selalu bangga dan iri dengan sikap PDnya.
A adalah Athalia atau lebih dikenal dengan Telly Rohi atau Non dalam lingkup privat. Sosok yang manja. Manja sekali anak ini. Manja yang dikenal dengan bahasa lain ‘umet’. Cerewet juga dan hitam kulitnya. Di BADE Tellylah yang aling sedikit kukenal.
D atau Dream alias Chintya Aten. Seperti Marsi yang berubah menjadi Basis, akupun tak paham betul mengapa Chintya bisa berubah Dream. Tak jauh dari istilah itu jika aku boleh menggambarkan dirinya sebagai sang pemimpi. Bagiku ia adalah sosok pekerja keras, penikmat buku sejati, kritis-cerdas,berpendirian dan erat dengan hidup teratur. Bermimpi akan sesuatu yang lebih baik. Dan ia selalu bisa mewujudkan mimpinya. Dulu sewaktu berkenalan pertama, Chintya selalu bersikap galak dan cuek padaku. Sempat kami dipasangkan dalam setiap pembicaraan kelas. Maksudku karena nama kami mirip, Christianto dan Kristianti, menjadi korban bulan-bulanan ‘perjodohan’ anak remaja malu-malu merona. Aku sempat punya hati ke dia hanya saja waktu kemudian mengijinkan hadir sebuah kenyataan jadi keadaan yang begitu berbeda. Beberapa kalangan mengetahui hal ini. Rahasia yang tertunda untuk diungkapkan meski kini kami sudah berada di haluan yang berbeda. Namun masih mungkin untuk garis kami dipertemukan entah kapan. Waktu depan selalu menjadi misteri tak terpecahkan.
E alias Elsa Rea, anaknya Om Herman Rea salah satu pejabat penting di kabupaten Ende. Tanpa sadar kami selalu menggunakan kesempatan ‘basah’ itu. Maksudnya toh kemudian kami menikmati persahabatan dan nilai plus dari setiap kami, dan dari Elsa aku jujur dia begitu baik pada kami dan dalam hal menyenangkan sahabat-sahabatnya dia tak pernah memperhitungkannya. Dia terdidik sebagai pribadi yang murah hati namun cukup keras dalam berpendirian. Dia seolah batu karang lautan yang kadang sulit untuk dilunakan. Cerdas dan berkeamuan keras. Beruntunglah dia lahir dalam keluarga yang berkecukupan dan dia sama sekali terdidik untuk kikir terhadap orang lain. Sikap yang tanpa dia tahu kucuri ilmu itu.
Semua terlewati dengan indah dan kami begitu akrabnya. Memang setelah aku dan Melus bergabung, tak ada perubahan. BADE tetaplah BADE, hanya saja terlontar ide pembaharuan nama, BADE plus maksudnya ‘plus’ adalah tambahan dua personel lelaki, karena hidup takkan berarti jika tak ada kelengkapan jenis kelamin (bukankah perempuan diciptakan dari rusuk lelaki?.) hari-hari semakin solid. Jika istirahat maka ngumpul sambil makan pisang goreng hangatnya Ka’e Lus dan Ka’e Ani adalah pilihan terbaik. Jika kesempatan untuk bolos ada dan menikmati kesenangan sesaat di rumah Elsa memungkinkan terjadi maka kami tak mau kehilangan momen tersebut. Seperti kubilang, Pramuka selalu mempertemukan kami. Disaat rapat dadakan sehabis kegiatan sekolah, hiking Pramuka ke gunung meja (aku sudah 6 kali naik gunung khas ini selama 3 tahun berada di Ende.) latihan sore atau persiapan menjelang camping sabtu minggu. Kami akan sibuk bersama. Ketika itu kami mempersiapkan camping di Wolotopo, selalu ada semangat tak terduga untuk ini. Menikmati makan malam seru nan malu-malu’in di tempat langanan MM CafĂ© bisa jadi pengalaman tak terlupakan dari kami semua. Jika sudah kenyang maka kegilaan itu akan semakin bertambah. Sedih dan beban studi terlupakan sesaat.
Pernah suatu saat setelah libutan Paskah telah tiba, kami melakukan perjalanan teraneh ke pantai depan pulau Koa, pantai dengan papan besar bertuliskan ‘dengerous’ bahaya! Bergambar kepala tengkorak dan dua tulang menyalip. Pantai terlarang. Seperti bias aide selalu datang disaat tak terduga dan kami selalu menikmatinya dengan eupforia khas anak remaja. Tanpa pikir panjang. Waktu itu Melus telah berlibur sebelum waktunya karena kapal laut ke Alor terbilang sulit dibandingkan menuju Kupang yang selalu ramai sepanjang minggu. Ada ferry, ada kapal, ada pesawat. Posisi Melus digantikan oleh Deni Sino. Karena rute awal kami melewati rumah Megah Bintarany, maka ia pun kami ajak. Lewat jalan menuju Wolotopo awalnya kami hendak ke bengkel ayahnya Chintya dengan maksud ada banyak kelapa muda disana yang nikmat jika itu dimasukan ke lidah (bagi kami tak ada yang tak enak dimulut, jika dimakan beramai-ramai. Jika ada efek samping toh dirasakan bersama-sama, sikap solidaritas ala anak remaja. Tanpa pikir panjang!.)
Sebelum menikmati kelapa muda kami melanjutkan perjalanan ke arah muara sungai persis di depan pulau Koa, tak jauh dari ujung landasan pacu bandara Aroebusman. Kami selalu nekat untuk hal yang dilanggar. Bukankah ini juga cita-citaku untuk sesekali berbuat onar-nakal, jauh dari imej sopan yang selalu dilontarkan bruder kepala sekolah. Kami punya cara tersendiri dalam menikmati persahabatan ini. Dan berdekatan dengan pantai landai berbahaya seolah adalah bentuk perayaan yang senyatanya. Berbekal kamera dan sekantong makanan ringan yang sebenarnya cocok dimakan anak-anak TK kami bawa. Semakin banyak hal gila dan tak wajar yang kami lakukan atas pilihan spontan dirayakan dengan gemuruh tawa panjang, euforia tanpa henti. Dan memilih bergerombol di pantai berpasir kasar dan sepi, sambil menikmati snack penuh MSG adalah wajar bagi kami. Tawa dan bergaya di depan kamera, di perahu bolong milik nelayan sekitar makin membakar kegirangan kami. setelah pulang kami masih menyempatkan berfoto tanpa rasa bersalah di depan papan tanda bahaya dengan tengkorak-berpalang dua tulang, seolah menandaskan kemenangan kami menyalahi aturan dan kembali dengan badan yang utuh. Bukan tengorak. Sekali lagi remaja seperti kami selalu berpikir pendek.
Menikmati kelapa muda di bengkel ayahnya Chintya tak lama karena kami sudah membaca tanda ketidaksenangan beliau karena keributan dan kecerewetan kami selama di tempat itu. Egois khas anak remaja.
Di Wolowona, Megah harus kembali ke rumah. Tinggalah BADE plus dan Deny Sino. Kita harus pulang. Dengan angkot Wolowona-Kelimutu kami menumpang pulang. Setelah itu singgah di warung depan rumahnya Anita Lenggo untuk makan sore, gado-gado. Berpisahlah kami setelah itu dengan kesenangan yang memuncak di ubun-ubun tanpa berpikir apa yang terjadi di depan, di jejak langkah selanjutnya. Sama sekali tak ada pikiran sedih sedikitpun. Meski sedih mungkin sudah mengintip dari depan sana. Ah,…perjalanan indah bersama BADE.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Beta tunggu lu pung komentar di sini, danke...