Minggu, 03 April 2016

Mok dan Kucing-Kucing Tak Bernama

Tak ada yang tahu pasti mengapa Kakek selalu menamai anjing jantan peliharaannya dengan nama Mok. Mok bagi kami di rumah bisa diartikan secara langsung sebagai mug atau gelas bertangkai khususnya yang terbuat dari bahan kaleng, namun Kakek punya rahasia sendiri tentang nama itu. Ketika Mok mati, Kakek akan memelihara lagi anjing jantan lainnya dan menamai anjing itu Mok. Begitu seterusnya. Yang kuingat, Mok akan menjadi anjing jantan paling pintar dan setia bagi Kakek. Setiap anjing yang diberi nama Mok akan mirip perangainya, dengan sorot mata sok yang dominan. Ekspresi angkuh-tapi-juga-bijaksana. Anjing-anjing itu sepertinya tahu betul siapa guru terbaik dalam hidup mereka dan kepada siapa mereka harus tunduk, memberikan jilatan mesranya dan mengibas-ngibaskan ekor untuknya. Mok akan sangat jahat bagi tamu asing dan acuh tak acuh pada seluruh anggota keluarga, kecuali kepada Kakek, tempat Mok melabuhkan kepatuhan seutuhnya. Mok seperti seorang asisten jenderal yang tahu betul cara terbaik untuk meladeni tuannya. Dan Kakek, kerap memberikan perintah kepada Mok seperti ia sedang memerintah anak buahnya di medan perang. (Kakek mantan tentara yang pernah bergerilya di hutan lebat Gunung Leuser saat ikut memperkuat garda Belanda). Aneh memang ketika melihat pola komunikasi anjing dan tuannya. Kakek mendidik dan memperlakukan Mok seperti memperlakukan seorang pangeran yang dipersiapkan menjadi penerus di kerajaan entah berantah.
Tak tahu kapan persisnya Kakek mendidik Mok. Tahu-tahu saja Mok sudah besar dan gagah, mengelilingi rumah semalam dua kali, saat tengah malam dan saat dini hari sebelum masjid depan rumah Kakek memanggil warga dari kampung Bugis untuk datang salat subuh. Mok juga punya kebiasaan lain menjelang kedatangan kami ke rumah Kakek. Mok akan berlari menyambut Bobi, anjing peliharaan Ayah dan Ibu, dengan lolongan yang aneh sekaligus khas di dekat WC yang terpisah dari rumah. Dengan begitu Kakek dan Nenek tahu bahwa sebentar lagi anak, menantu dan cucu mereka akan berkunjung. Bobi memang selalu datang duluan lewat jalan pintas untuk memberi kabar kepada Kakek dan Nenek, lalu kembali pulang jaga rumah kami yang jaraknya 1 km dari rumah Kakek. Bobi jugalah yang akan berlari menjemput para tuannya yang berjalan kaki, 100 meter menjelang tiba di rumah.  Tentang Bobi, akan diceritakan kepadamu lain waktu.
Nenek sangat benci anjing dan lebih mencintai kucing tanpa syarat seperti halnya ia mencintai Kakek. Lelaki asing yang datang dari pulau yang sangat jauh dari Jawa, berbeda agama pula dengan dirinya. Nenek punya tiga ekor kucing yang kerap bikin Kakek naik darah. Setiap kali ia melayani Kakek di meja makan selalu saja ada keributan kecil hingga besar diselanya. Di atas meja makan, di hadapan Kakek selalu ada piring putih besar, sendok, gelas bertangkai dengan tulisan ‘papa’ dan seruas rotan. Lagu keroncong dari tape butut di atas lemari kayu bercat hijau tua akan menemani Kakek. Lagu keroncong akan menyusup keluar dari sela dinding bebak, terbawa angin hingga rumah pak Benyamin Lola, tetangga asal Rote yang piawai bermain biola. Setiap kali Nenek hendak menuang air ke dalam gelas ‘papa’ atau hendak menaruh makanan ke piring, dua atau tiga kucing akan menyanyi serempak. Satu dari kolong meja makan, satu dari balik pintu yang menghubungkan ruang makan dengan dapur sedangkan satunya memantau meja makan dari atas lemari kayu persis di sebelah tape. Kakek biasanya langsung bereaksi, diawali dengan batuk kecil, memaki sambil lalu hingga yang paling kasar adalah mendamprat dalam bahasa Belanda disertai ayunan rotan ke kaki meja. Prak! Prak! Berkali-kali Kakek mengancam akan menaruh kucing-kucing itu ke dalam karung, menitipkannya ke bis Jabalsur menuju Kupang. Kalian bisa hidup sejahtera di pantai Ketapang Satu, seru Kakek dengan suara nyaring setengah kesal. (Kakek punya sepupu yang tinggal di daerah Tode Kisar dekat pantai itu). Nenek biasanya diam saja seperti sudah mahfum. Kucing- kucing itu sudah diajari etika untuk tidak mencuri makanan di atas meja. Mereka kucing terdidik, kata Nenek kepadaku suatu sore ketika ia mengajariku bikin empal goreng. Hanya saja untuk kebiasaan mengeong, mereka masih suka lepas kontrol. Suara-suara itu seperti suara seorang pembangkang dan itu sangat dibenci si pensiun tentara. Tahu sendirilah.
Kalau sudah begitu, Nenek akan pergi ke dapur, sambil menembang lagu Jawa sebagai sebuah kode yang sudah dipahami tiga ekor kucing kesayangannya. Di sana, nasi campur kuah sayur dan kepala ikan teri mentah menanti. (Setiap kali membeli ikan teri di pasar kamisan, di Kampung Sabu, Nenek selalu menyisihkan kepala ikan-ikan halus itu khusus untuk bekal kucing tak bernama). Kucing-kucing melahap dengan suara halus seolah tak ingin mengalahkan nyanyian Nenek, sementara Kakek bisa tenang menikmati gulai labu siam dan paru goreng harum ketumbar kesukaanya. Di luar rumah, Mok gelisah setelah mencium aroma makanan dan hanya mampu menggaruk-garuk dinding bebak. Sebenarnya Mok tahu betul bahwa tak lama lagi akan terdengar siulan tuannya dan pintu dapur akan terbuka lebar baginya. Mok tahu di mana keajaiban kecil tersedia baginya; di dalam sebuah bokor plastik hijau kecil yang diletakkan persis di sebelah tungku. 
Mok juga tahu waktu makannya tak boleh lama. Nenek lebih suka jika dirinya berada di luar rumah meski Nenek tahu bahwa Mok bukanlah anjing nakal pencuri makanan atau penjilat segala peralatan di dapur. Mok adalah anjing terdidik, sekalipun tak mendapat tempat di hati istri tuannya. Ia harus rela. Seperti juga kerelaan yang dipertontonkan kucing-kucing setiap hari. Mok merasa sedikit lebih beruntung, sebab tak ada rotan untuknya. Ketidaksukaan Nenek cukup halus diperlihatkan. Toh itu sudah cukup memberatkan hati Mok.
Tapi ada satu momen di akhir pekan yang selalu disukai Mok juga kucing-kucing tak bernama itu. Sebuah senja mahal (matahari akan jatuh terkulai di sela menara kembar masjid) dengan sebuah peran sederhana; di ruang tamu rumah bebak itu, duduklah Kakek dan Nenek di atas sice anyaman tali plastik, bersebelahan sambil menikmati kopi Mollo dari kebun menantu dan rokok-bentoel biru-sebatang-berdua. Di sana ada cucu kesayangan mereka yang datang menginap khusus setiap akhir pekan. Biasanya Kakek akan meminta sang cucu untuk membantu tofa kebun, yakni pekerjaan membersihkan rumput liar di pekarangan rumah. Kakek punya obsesi terpendam akan kebersihan kintal rumah. Sepohon rumput liar kecil pun tak boleh tumbuh di pekarangan rumahnya. Setiap bangun pagi ia akan berkeliling di pekarangan rumah dengan tongkatnya, lalu gelisah setiap melihat matahari dan tanah mulai bersekongkol menumbuhkan rerumputan. Tugas lain dari sang cucu adalah membacakan biografi Soeharto―sang diktator—yang diperoleh Kakek dari keponakannya yang seorang guru olahraga. Suatu ketika berpuluh eksemplar buku yang ditulis Ramadhan KH itu dikirim oleh Dinas Pendidikan ke perpustakaan sekolah tempat keponakannya bekerja. Khusus di halaman bergambar yang akan dibolak-balikan Nenek setiap malam sebab ia buta huruf. Tiga ekor kucing tak bernama menjilat-jilat kaki Nenek. Sementara Mok akan berselonjoran sambil memamerkan wajah angkuh-tapi-juga-bijaksanannya di dekat kaki Kakek entah kepada siapa. Mungkin kepada roh-roh yang sedang bertamu di sana.
Sang cucu akan melakukan ritual itu setiap akhir pekan. Tapi ia tentu saja tidak bosan. Sebab ada hadiah mahal setelahnya yang ia nanti-nantikan dengan sabar. Kakek atau Nenek bergantian menutup malam dengan beberapa potong dongeng untuknya, atau ia akan diajari memasak oleh Nenek dan diajari Kakek bahasa Belanda. Mereka bertiga akan lelap di dalam kelambu yang sama dan bergantian kentut dari balik selimut. Di loteng, kucing-kucing tak bernama bermimpi tentang musim kawin dan inses yang tak pernah usai sementara Mok akan meronda keliling rumah dua kali, pertama di tengah malam di antara jam sebelas hingga duabelas dan pagi buta ketika bergerombolan orang Bugis dari perkampungan mereka di Pasar Lama menuju ke masjid depan rumah Kakek.
Begitulah suasana rumah mungil yang selalu bercat hijau yang didiami mantan tentara KNIL dan istrinya masih aktif sebagai dukun beranak. Mereka menghabiskan hari tua bersama binatang kesayangan masing-masing di rumah yang hangat di Embun Mollo.
Kakek meninggal dunia karena komplikasi prostat, ginjal, dan paru-paru (ia menjalani terapi rebusan daun kumis kucing dan daun meniran lama sekali). Kala itu sang cucu baru saja menyelesaikan pentas drama di sekolah. Ia tentu saja sangat sedih. Tiada lagi akhir pekan yang indah bersama Kakek, menghafal lagu Jembatan Merah hingga lagu kebangsaan Jepang. Tiada lagi tumpukan dongeng di dalam kepalanya. Mok juga mati beberapa bulan kemudian. Sonde ada orang yang berani menamai anjing dengan nama Mok. Untuk mengobati rasa sedihnya, sang cucu membuat sebuah patung anjing dari tanah liat, menamainya Mok lalu menyembunyikannya di celah batu persis di kepala makam Kakek.
Oya, sang cucu kesayangan, tentu saja yang menulis kisah sederhana ini untukmu sambil terus menduga-duga mengapa Kekeknya selalu menamai anjing jantannya dengan nama Mok. Ia bahkan masih memelihara kepercayaanya bahwa Kakek menyelipkan ramuan khusus beserta jampi-jampi ke dalam piring makan Mok. Makanya semua anjing yang bernama Mok pintar dan anehnya punya ekspresi angkuh-tapi-juga-bijaksana yang sama. Barangkali untuk menunjukkan kepada roh-roh yang bertamu ke rumah Kakek.

2015

Christian Senda, suka memasak dan nonton film. Lahir di Mollo Utara, Timor Tengah Selatan persis di hari Ibu. Menulis buku Cerah Hati, Kanuku Leon dan Hau Kamelin dan Tuan Kamlasi. Kini tinggal di Kupang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Beta tunggu lu pung komentar di sini, danke...