Selasa, 26 April 2016

Memento


Kau harusnya ada di sini, duduk di kursi sebelahku. Dari balkon hotel ini kita sepuasnya mengagumi masa lalu: senja memeluk teluk, bau laut selatan dan lukisan-lukisan yang tak pernah selesai. Kau memang telah meninggalkan kota ini untuk beberapa kali purnama sama halnya denganku meninggalkan pekerjaan demi menemui dirimu. Aku tak bisa melarang karena kau punya urusan penting lainnya. Apakah aku juga penting? Jika aku mengharapkan kau ada di sini, aku sejatinya sedang berlawanan dengan kata hati. Dan rasa kagumku surut seketika di tepi selat Gonsalu.
***
Pesawat yang membawaku dari Kupang harusnya tiba di bandara Gewayantana, di Larantuka pukul 07.30 WITA. Namun cuaca pagi ini sedikit menghambat penerbangan. Ada badan khusus yang memprediksi cuaca, tapi namanya alam ya tetap alam yang tak bisa dibantah dan dikendalikan manusia seutuhnya. Kami harus berputar-putar di atas langit kelabu lalu menikmati sejenak 2 menit menegangkan sebelum roda pesawat menyentuh landasan.
Ini kali perdana aku datang melalui bandara mungil dekat pantai perawan berbibir bakau. Bunga asoka berwarna kuning dan merah cerah bersuka-ria dibawah langit muram bulan Februari. Masih ada jejak hujan di bandara. Aku tentu saja kurang beruntung mendapatkan wujud surga yang lain berupa laut dan langit membiru dengan gugusan pulau dan gunung api, sementara perahu kecil nelayan menari lembut ditingkah riak laut. Teringat perahu kertas di masa kecil.
Masa kecil.
Ingatan tentang Larantuka adalah ingatan tentang kapal feri Ile Mandiri dari Kupang setiap musim liburan sekolah. Bapak selalu mengajak aku berlibur ke kampungnya di Maumere, melewati Larantuka. Ketika pagi buta, kami sudah masuk ke teluk diapit pulau Flores dan Solor. Puluhan ekor lumba-lumba akan berkejaran mengiringi tubuh kapal. Seperti anak-anak ikan yang mengiringi ibu mereka pulang ke teluk yang hangat, pemukiman terbaik dengan sejuta plankton.
Ingatan tentang Larantuka adalah ingatan tentang Gunung Api Perempuan dan Gunung Api Lelaki yang menghujam langit biru. Ada selubung asap yang menari teduh ke atas langit, mengingatkan kita pada dongeng percintaan manusia dan puisi yang dipersembahkan orang-orang Lamaholot bagi Ibu Tuhan. Ingatanku berganti kepada seribu kapela yang menyambut ketika aku dan Bapak mampir ke kota sebentar, menengok sepupuku di salah satu biara suster yang asri. Bapak bilang padaku, “di sini ada prosesi masyur bernama Semana Santa. Suatu saat kau harus menghadirinya dengan atau tanpa saya.” Bapak berkata dengan suara agak parau persis ketika kami berpapasan dengan patung Mater Dolorosa di depan kapela Tuan Ana. Aku menjadi sedih mendengar perkataan Bapak seperti halnya melihat wajah sedih Ibu Tuhan. Dan aku mengingatmu melebihi ingatan akan masa kecil kita di Kupang dulu.
Kepadamu, aku menulis begini: pulang ke Flores itu seumpama pulang ke rumah dengan kamar berisi lemari tua berukiran naga. Di dalamnya ada berlembar-lembar dongeng milik Bapak, perjalanan menakjubkan semalam suntuk bersama feri Ile Mandiri kadang feri Rokatenda, mampir makan siang di Boru. Orang-orang menjual buah segar dan aku lebih memilih manisan buah kom. Kami tiba di Maumere, Bapak langsung mengajakku berkeliling kota. Di sebuah toko yang kuingat namanya Kuda Mas, beliau membelikanku beberapa potong baju bergambar Batman, tokoh favoritku. Kami bahkan harus bergegas ke Paga dengan angkutan umum terakhir. Bapak besarku—Guru Da—punya sebuah rumah di pinggir pantai tempat orang sekampung turun ketika laut surut. Mereka menangkap sejenis ikan karang kecil yang diawetkan dengan garam dan dimasukan ke dalam botol. Wogi. Salah satu produk ikan terbaik dari Paga.
(Kau ingat rencana kita untuk mendirikan kemah di atas bukit di pantai Koka dekat Paga?)
Aku tak suka berlama-lama di Paga. Guru Da terlalu protektif. Ia selalu mengira jika keponakan-keponakan yang baru datang dari Timor akan diserang sekelompok suanggi. Aku hanya dibolehkan mampir sebentar melihat pantai. Aku benci aturan yang melarangku berlama-lama di pantai. Aku lalu merengek kepada Bapak untuk segera membawaku ke Seroara, kampung tempat Bapakku lahir. Di sana aku bisa jadi raja untuk beberapa hari. Bapak punya empat adik perempuan yang setia menjaga kampung. Dari merekalah aku biasanya akan mendapatkan pelayanan terbaik bak pangeran; makan enak, didongengi serta diberi senandung lirih betapa mereka begitu mencintai saudara lelaki mereka yang sudah merantau ke Timor sejak tahun 63. Tak lupa sepiring filu, kibi dan kopi Flores panas disuguhkan ke atas pusara Mamo Ndona, kakekku. Tradisi pati ka—memberi makan kepada leluhur. Ketika pulang dari liburan, aku biasanya paling bersemangat membacakan cerita liburanku di depan kelas. Kutahu banyak teman yang iri. Dan aku makin bangga jika ada yang iri. Apakah mereka betul-betul iri atau barangkali saya yang terlalu berlebihan?
Kepadamu, aku menulis begini: pulang ke Flores adalah pulang ke rumah, dan kau adalah tetanggaku di masa kecil yang paling baik. Tentu saja kau lebih tahu banyak tentang Flores dan barangkali kita bisa merencanakan sebuah petualangan gila. Pun ketika kau bicara saja seharian tanpa kita pergi ke mana-mana, kurasa pemikiranmu telah membawaku ke mana-mana. Melampaui segala pengalaman dan bahagia yang ingin kita cari. Ajaran untuk bermimpi paling menyebalkan karena aku ketagihan.
Di pantai Metingdoeng yang hidup, obrolan kita bisa seirama arus teluk.
***
Aku sedang berada di rumah, Flores. Hingga tengah malam, aku masih menulis dan melenyut di balkon hotel. Aku mengingat Bapak yang selalu mengajakku berpetualang dan tak bisa menunaikan Semana Santa bersama. Aku mengingatmu. Aku mengagumi Bapak yang sudah pergi ke Surga. Aku kecewa karena tak sempat ber-Semana Santa bersamanya. Kini kau sendiri pergi jauh, dimulai dari suatu sore yang teduh di atas kursi tali sice di ruang keluarga. Kau sendiri yang menghitung denyut terakhir jantungmu. Apa ini kehilangan besar? Aku dikejar mimpi: Aku harus segera memeriksakan jantungku.
 Kursi di sebelah masih kosong. Kau mengirim pesan singkat, “Aku pusing dengan banyak tuntutan pekerjaanku di sini. Memilih mengerjakan proyekku, proyek temanku atau pulang ke rumah dan menemanimu berpetualang. Tapi kau bisa pergi ke rumahku dan melihat lukisanmu di dinding kamarku.”
 Kubilang, kamu lakukan pekerjaanmu saja, petualangan kita bisa dilakukan lain waktu. Meski dalam hati aku ingin bilang sebaliknya. Kamu harusnya ada di Larantuka. Kita seharusnya berada di Metingdoeng yang hidup dan obrolan kita bisa seirama di tepi arus selat Gonsalu. Kita bisa tertawa sejenak di taman kota dan membiarkan seribu kapela di belakang kita merenungi senja. Atau kita putar saja waktu: masa kecil, bau laut pantai Selatan dan lukisan-lukisan yang tak selesai kita garap.
Nelayan masih hilir mudik dengan sampan kecil mereka. Aroma asin-amis menguar ke seantero kamar hotel. Aku ingin tidur saja, berharap besok pagi ada kau duduk minum teh di kursi kayu di balkon kamarku. Atau sebaliknya, cerita ini kututup dengan kenyataan bahwa aku hanya mengagumimu dari jauh, rindu yang menggebu dan bersiap kecewa karenanya. Atau kusurutkan saja rasa itu ke arus Gonzalu?
***
Selalu ada rutinitas yang sama seperti ini. Seorang lelaki akan terbang ke kota ini dan menunggu seseorang di balkon hotel langganannya. Lalu esoknya ia akan mengunjungi rumah berdinding biru di seberang kapela mungil. Seorang ibu dengan wajah dingin akan membukakan pintu, memeluk lelaki itu dan mengantarnya ke kamar di lantai dua. Ibu itu akan membiarkannya mengamati setiap lukisan dan tidur semaunya hingga kapanpun. Ia akan mencium tangan ibu itu lalu pulang ke hotel dan penuh rasa kecewa di dada. Sementara di kamar sang ibu, ada potret perempuan cantik diapit patung Maria dan sebuah salib. Lilin akan terus menyala sepanjang hari. Dua bulan lagi genap setahun perempuan cantik itu pergi langit. Dia adalah salah satu korban kapal tenggelam ketika berlangsung prosesi laut Semana Santa. Dan hingga kini jenazahnya belum ditemukan. Gonsalu masih menyembunyikan jasadnya.  
Lalu lukisan setengah jadi di kamar lantai dua: potret kuyu lelaki bermata elang. Dan seseorang yang biasa tidur di kamar itu telah menambahkan gambar seutas tali yang melilit leher pemilik wajah setengah jadi itu. Ia menambahkan namanya sendiri di pojok lukisan: Leon.
Tunggu aku di langit, sayang...


2015


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Beta tunggu lu pung komentar di sini, danke...