Selasa, 03 Mei 2016

Mollo dan Pertanyaan-Pertanyaan dari Masa Lalu


Suatu hari ketika pulang dari sekolah saya mendengar ada suara memanggil nama saya datang dari arah pohon beringin besar di depan gereja Katolik Santa Maria Immaculata di kampung saya, Mollo. Ketika itu sedang hujan lebat dan saya menggunakan daun pisang untuk melindungi kepala dan buku-buku saya. Saya terus berjalan, mulai takut tapi saya juga penasaran dengan suara dari pohon beringin itu. Ah, itu halusinasi atau apa, sebab hujan sedang turun dengan derasnya, kabut menebal dan saya sedang lapar. Ketika tiba di rumah saya mulai berpikir bahwa sudah beberapa waktu saya mulai terus bertanya tentang beberapa keanehan sekaligus rasa takjub akan fenomena yang ada di kampung saya. Saat itu saya baru kelas 5 SD, kerap didongengi ayah dan ibu saya tentang Timor. Saya juga sedang semangat berkegiatan di gereja baik itu paduan suara, drama, latihan doa menjelang komuni pertama. Di rumah pastor persis di samping gereja ada televisi juga perpustaan dengan banyak koleksi majalah Bobo dan Kunang-Kunang juga beberapa seri biografi bergambar para santo dan santa—orang-orang kudus dalam gereja Katolik yang selalu saya baca.

Saya beruntung berada di lingkungan sekolah dan gereja yang kental dengan tradisi misionaris yang kental. Saya menghabiskan masa kecil hingga remaja di Mollo, kabupaten Timor Tengah Selatan, sekitar 130 km dari Kupang. Selanjutnya merantau ke Pulau Flores, tepatnya di Ende, kampung bapak saya untuk melanjutkan sekolah. Banyak pertanyaan yang merupakan buah dari proses mendengar dan mengamati itulah yang kemudian memotivasi saya untuk menulis, dimulai dari buku catatan berisi pengalaman harian, puisi juga cerita-cerita pendek, sebab saya anak bungsu, anak rumahan yang suka dunia seni tapi tak suka olahraga. Saya lebih suka menulis, membantu mama memasak di rumah atau mengobrol sejarah dengan bapak saya.


Pertanyaan-Pertanyaan dari Masa Kecil
Pertanyaan-pertanyaan awal yang saya ingat kala itu adalah mengapa pohon beringin menjadi penting di kampung saya. Mengapa selalu ada pohon beringin di depan sekolah, kantor camat, puskesmas, gereja, lapangan umum, rumah raja, pekuburan dan gerbang kampung. Atau pertanyaan lain, mengapa dua gunung purba yang bisa saya lihat dari bingkai jendela kamar saya serupa dengan kakek tua dan satunya lagu serupa payudara perempuan. Pertanyaan itu lantas saya simpan untuk diri saya, lalu menjawab sendiri dengan imajinasi dan ide yang saya tumpahkan ke buku harian. Ada yang berbentuk tulisan, ada yang berupa gambar. Puisi pertama yang saya tulis, seingat saya berbicara tentang kabut yang kerap turun ke kampung di sore hari hingga matahari terbit. Saya membayangkan kabut adalah sosok malaikat, kawan yang tulus. Sementara itu ketika bermain petak umpet bersama kawan-kawan di halaman gereja, saya dengan sedikit penasaran mulai berani untuk memanjat dan bersembunyi di atas dahan pohon beringin yang pernah memanggil saya. Di bawah batang pohon itu pernah ditahtakan sebuah patung Maria sebelum akhirnya dipindahkan ke bukit Napi di belakang biara susteran. Nasib saya sedikit naas kali itu. Saya pernah terjatuh dari dahan pohon beringin. Lutut dan lengan saya sedikit memar. Orang tua mulai khawatir karena saya mulai jarang di rumah. Mungkin untuk menakut-nakuti saya, mama mulai berkisah beberapa pengalaman realisme magis, tentang suanggi (tukang teluh) bermata merah yang bisa terbang dan putri salah satu kerabat yang pernah diculik mahkluk gaib, ditemukan dua hari kemudian sedang terikat di pohon beringin dengan mulut tersumpal rerumputan. Entah mengapa saya tidak takut sama sekali. Saat itu saya sudah kelas 6 SD dan mulai suka bertualang ke hutan bersama beberapa kawan akrab. Keinginan untuk dekat dengan alam, mencari tahu dan menjawab sendiri dengan imajinasi mulai tumbuh subur, didukung dengan kebiasaan mendongeng dari orang tua. Di sisi lain, kegiatan Sekami (semacam perkumpulan anak-anak di lingkungan gereja) masih terus dilakukan. Hari minggu diisi dengan menjadi misdinar (putra altar) di gereja lalu bertualang ke hutan dengan alasan hendak mengambil air atau cari kayu bakar supaya tidak dimarahi orang tua. Menonton televisi juga menjadi kebiasaan baru. Tahun 90an, baru satu dua orang yang sudah punya TV di kampung. Saya lebih suka serial Xena dan Wiro Sableng ketimbang Power Rangers atau Doraemon. Barangkali karena lebih nyata dan dekat dengan alam, sama seperti saya. 
Siapakah Orang Mollo itu?
Mollo tempat saya lahir dan besar adalah sebuah wilayah bekas kerajaan Oenam (lalu menjadi kerajaan Mollo saat Belanda masuk). Mollo menjadi sangat penting bagi orang Timor karena di sana ada sebuah gunung tertinggi di pulau Timor bahkan di NTT, namanya gunung Mutis. Orang Dawan yang merupakan suku asli di Timor Barat percaya bahwa di sanalah salah satu titik peradaban tumbuh, yang dalam gambaran beberapa sejarawan dan antropolog, para manusia Timor pertama itu berciri tubuh pendek, berkulit hitam dan berambut keriting mirip seperti orang Aborigin dan Austronesia lainnya. Kelak ketika saya dewasa dan pergi ke kampung-kampung di lereng gunung Mutis untuk bertanya langsung ke tua-tua adat ihwal pertanyaan masa lalu saya, mereka bilang bahwa nenek moyang mereka benar berciri demikian. Orang-orang yang hidup di gua dan tebing-tebing, makan buah dan madu. Mereka sangat dekat dan mampu berkomunikasi dengan binatang melalui seruling dari kulit kayu, merayu lebah madu dengan puisi dan menitip makanan untuk hantu baik penjaga kebun dan mataair. Mereka juga percaya bahwa batu-batu kediaman mereka dulunya berjalan dari arah timur, menuju satu bintang di tenggara. Hingga kini pintu ume kbubu atau rumah bulat mereka menghadap ke bintang yang mereka percayai itu. Mereka juga percaya bahwa gunung Mutis yang ‘bercahaya’ itu adalah tempat berkumpul semua arwah orang mati, masuk akal sebenarnya bahwa hingga tahun 1800-an, gunung Mutis masih berstatus gunung api aktif. Saya kemudian dibuat sangat takjub dengan serentetan jawaban yang saya temui langsung ketika sudah dewasa, mulai giat meriset dan menulis cerpen juga puisi dari memori masa kanak saya.
Bapak saya orang Flores, setelah lulus polisi kemudian bertugas di Mollo bertemu dengan mama saya yang seorang peranakan Timor-Belanda dan Jawa. Mereka sangat berbeda, namun itu turut memperkaya hidup saya. Bapak saya Katolik tulen, mayoritas orang Flores memang begitu. Sedangkan mama saya anak tunggal dari ayah yang Protestan taat dan ibu yang Muslim garis keras. Tentu saja mereka juga datang dari latar budaya yang berbeda, maka beruntunglah saya hidup dengan mitos dan dongeng-dongeng yang beragam. Lengkap sudah. Di dua buku cerpen saya, Kanuku Leon dan Hau Kamelin dan Tuan Kamlasi, kalian akan menemukan kekayaan kultural dan alam ini menjadi sorot utama yang memberi warna tersendiri. Saya seakan menemukan kekuatan saya dalam menulis. Tema-tema keluarga, mitos, dongeng dan kekayaan alam Timor dan Flores secara sadar saya pilih. 
Tentang Proses Menemukan Pertanyaan
Dalam proses mencari jawaban sebenarnya dari pertanayaan masa kanak, saya akhirnya menemukan diri saya sendiri. Setelah bertumbuh dengan berbagai dongeng menakjubkan juga keindahan alam Mollo yang memantik imajinasi, saya pindah ke Ende di Flores untuk melanjutkan SMA. Di sana saya bersekolah di sebuah sekolah misionaris SVD yang sebangian gurunya adalah pastor dan suster dan tinggal di asrama yang model pendidikannya mirip seminari (sekolah khusus untuk calon pastor). Nuansa akademisnya terjaga, budaya membaca dan diskusi tercipta dan yang paling penting saya menemukan beberapa sosok guru yang sangat memotivasi. Mereka juga pembaca dan penikmat karya sastra. Seperti orang Mollo yang memuja bintang sembilan di langit tenggara, saya pun seperti menemukan energi dan arah yang lebih jelas tentang proses kreatif tersembunyi saya. Dari kepala sekolah dan bapak asrama, saya dipinjami beberapa buku sastra penting. Tahun 2002 di sebuah kota kecil di Flores, saya tahu juga ada penulis bernama Rendra, Seno Gumira Adjidarma, Ayu Utami, Dewi Lestari, Paulo Coelho dan JK Rowling. Kebiasaan menulis terus saya pupuk, menulis untuk diri saya sendiri. Meski sebenarnya saya yang jauh dari kampung halaman merasa kehilangan momen berinteraksi dengan alam dan budaya Mollo yang sangat kuat, juga dengan berbagai tuturan sejarah dan dongeng dari orang tua saya. Di asrama saya menjadi seperti kecil dulu; introvert, pelamun dan menulis adalah pelarian saya dari budaya senioritas dan bullying yang kental di asrama.
Ketika pergi kuliah di Jogja, saya menemukan keasyikan lebih terhadap membaca banyak buku sastra. Jogja dengan budaya literasi yang tinggi dan akses ke bahan bacaan juga kesenian yang mudah sehingga itu jadi sebuah kenikmatan yang mahal. Di Jogja saya banyak menulis puisi, lebih banyak bicara soal pertanyaan dan gugatan saya soal cinta, agama, politik dan ideologi. Ketika kembali ke Kupang, saya sudah menerbitkan buku puisi pertama, Cerah Hati. Buku inilah yang mempertemukan saya dengan pegiat-pegiat sastra di Kupang, misalnya Mario F Lawi, Romo Amanche Frank, Ragil Sukriwul, Januario Gonzaga, dlsb. Mereka sudah membentuk Komunitas Sastra Dusun Flobamora kala itu. Bergabung dengan komunitas ini menjadi satu titik baru dan penting dalam karir kepenulisan saya. Tiap kami bertemu, berdiskusi dan bertukar buku, saya menemukan hal lain yang lebih besar yang sudah dilakukan teman-teman ini. Mereka terbuka, saling membaca karya teman, mengkritik, berdiskusi dan menerbitkan antologi bersama. Saya beralih dari menulis untuk diri saya sendiri ke menulis untuk lingkungan dan pembaca di sekeliling saya. Karya saya mulai dikenal lalu diundang ke beberapa festival sastra sebagai emerging writers. Kesempatan itu juga membuka wawasan dan perhaulan sastra saya dengan penulis dari daerah lain. Di Dusun Flobamora, saya mengalami lompatan-lompatan yang progresif. Saya merasa medan bacaan saya semakin lebih baik, termotivasi dengan banyak penulis dan berimbas ke perubahan kualitas karya saya sendiri. Tentu saja ini sebuah berkah mengingat bertumbuh di bidang sastra di NTT tentu saja bukan hal yang mudah. Sastra dan kesenian masih tersegmentasi, umumnya di kalangan seminari atau komunitas kecil. Kampus, sekolah dan media lokal belum menjadikan sastra dan kesenian sebagai sebuah tradisi yang terus berkembang.
Kampung Halaman dalam Cerita Pendek
Kembali ke kampung halaman, masa kanak saya juga tradisi orang Mollo yang terus melekat kuat hingga kini. Tahun 2013 saya pertama kali menerbitkan buku kumpulan cerpen saya Kanuku Leon. Berisi belasan cerpen yang sebenarnya lahir dari sebuah proses refleksi atas sejumlah pertanyaan dan pengalaman saya akan kampung halaman, rumah dan keluarga. Cerpen Kanuku Leon sendiri adalah upaya saya menuliskan kembali perjumpaan dongeng masa kecil saya dengan pertanyaan yang akhirnya terjawab setelah saya bertemu dengan berbagai literatur dan informasi langsung dari mafefa atau amaf, para penutur adat dalam strata sosial suku Dawan Timor. Frasa Kanuku Leon sendiri bermakna raja yang melindungi dan mengayomi, dalam bahasa kuno di Timor, yang dilambangkan serupa pohon beringin. Itulah mengapa selalu ada pohon beringin dalam situs-situs penting di kampung. Dan bagi orang Mollo sendiri, praktik menggantung ari-ari bayi di atas pohon beringin adalah sebuah ritual doa yang sangat penting, sebab keteduhan dan kebijaksanaan pohon beringin adalah harapan dan siapa yang menaruh ari-ari tersebut juga sebuah pertimbangan, sebab dipercaya kelak anak itu akan punya sifat dan karakter yang sama dengan orang tersebut. Para kakek dan neneklah yang biasanya diserahi tugas untuk menaruh ari-ari ke atas pohon beringin. Di cerpen Kanuku Leon saya mencoba menggabungkan dongeng tentang penguasa Mollo perdana yang punya misi menguasai sejumlah mata air di lereng gunung-gunung di Mollo. Lalu saya mencoba menghubungkan misi penyelamatan lingkungan oleh raja dulu dengan usaha perempuan Mollo masa kini dengan keturunannya yang berhasil mengusir penambang asing dari tanah Mollo. Cara orang Mollo mempertahankan alam dari kerusakan adalah membuat hukum adat yang ketat, menamai mata air (oekanaf) dan batu (fatukanaf) sesuai dengan marga/fam dengan demikian mereka punya beban moral dan spiritual untuk menjaga mata air, tanah dan bebatuan di kampung mereka. Saya terinspirasi dari perjuangan mama Aleta Baun, pejuang lingkungan asal Mollo, penerima Goldman Prize 2013. Saya meramu dongeng dan kisah nyata itu dengan beberapa mitos orang Timor tentang pohon, burung, roh-roh dan konsep penguasa langit (uis neno) juga penguasa bumi (uis pah/uis nitu). Kritik saya bukan saja kepada para penambang melainkan juga kepada para amaf (tua adat) yang silau oleh uang sehingga mau menggadai oekanaf dan fatukanafnya. Keinginan untuk menguasai tanah, hutan cendana dan gunung marmer juga dilakukan oleh para raja Mollo dulu yang memonopoli perdagangan cendana dan pemerintahan Orde Baru lewat aturan pemutihan cendana (PP No. 86), dalam cerpen Hau Kamelin dan Tuan Kamlasi. Hukum adat yang kuat juga saya gambarkan dalam cerpen.

Sastra dan Kemanusiaan
Saya percaya, sastra menyuarakan sisi kemanusian. Maka sebagai penulis karya sastra, saya ingin mengangkat isu-isu humanis dimulai dari diri saya, keluarga, rumah dan kampung halaman. Selain pengaruh budaya di tempat saya bertumbuh, pengaruh lain yang turut memperkaya pemahaman saya akan sastra yang humanis adalah gereja Katolik. Seperti yang sudah saya singgung di atas bahwa saya bertumbuh dalam tradisi kekatolikan yang sangat kental baik dari rumah maupun di sekolah, asrama dan lingkungan gereja saya. Perjumpaan dan interaksi saya dengan para misionaris di masa kanak saya turut menginspirasi hadirnya tokoh-tokoh pemimpin yang hangat dan bijaksana. Misalnya pengaruh tokoh Romo Agustinus dalam kehidupan koster (pelayan di gereja) yang menggugat Tuhan setelah diterpa serentetan peristiwa kepergian dan kematian pacarnya yang seorang TKW di Malaysia (cerpen Gugur Sepe Usapi Sonbai). Tokoh Romo bijaksana lainnya ada di cerpen Ada Kisah tentang Lukisan Ikan di Fetonai, tentang satu keluarga nelayan yang dikucilkan umat sebuah kapela, atau tentang misionaris indigo di antara dua tradisi besar ketika melihat kematian dan arwah baik dalam gereja Katolik maupun kepercayaan suku Dawan Timor (cerpen Saok Nate untuk Ayah). Atau topik inkulturasi iman Katolik dengan kepercayaan suku Lio di Flores dalam cerpen Kisah Ana Sonda dari Seroara. Para misionaris itu adalah persepsi langsung dan memori masa lalu saya akan sosok pastor yang saya kenal di masa kecil dulu di kampung. Namun saya juga mengkritisi perilaku sebagian (oknum) pastor/pendeta kini yang begitu individualis dan cenderung menghakimi umat, saya singgung di cerpen Suanggi. Atau bagaimana mereka yang punya kuasa di gereja ikut terlibat dalam ‘memanfaatkan’ kesempatan peristiwa 65 untuk mengkristenkan masyarakat suku Dawan penganut aliran kepercayaan lokal, halaika secara paksa, dengan ancaman kalau menolak artinya komunis, ateis dan layak dibunuh. Kritik ini coba saya singgung di beberapa cerpen saya di buku terbaru, Sai Rai, yang akan terbit bulan Agustus nanti. Tema 65 bagi saya menarik, sebab begitu kuatnya doktrin itu berhembus jauh dari Jakarta, hingga ke Mollo yang kala itu masih sangat udik. Konflik tanah antara warga dengan pemodal dan raja kala itu, ditambah persaingan kelompok guru yang progresif di PKI versus para tokoh agama di partai kristen juga persaingan persaingan ekonomi antar kelas memicu pengadilan jalanan antar warga masyarakat tak bisa terhindar. Aparat kemudian menghembuskan teror ke masyarakat lewat dongeng ‘petrus’, orang potong kepala (OPK), dsb. 
Realisme Magis dan Penokohan dalam Tradisi Orang Mollo
Saya ingin menutup catatan saya ini dengan sebuah tradisi betutur, bersastra yang sudah mendarah daging dalam kehidupan orang Mollo. Seperti kebanyakan suku di NTT, orang Mollo tidak mengenal tradisi menulis. Buah-buah pemikiran, hukum adat, silsilah keluarga dan dongeng, diteruskan ke generasi berikutnya lewat tradisi bertutur (puisi, pantun dan lagu yang dikenal dengan nama natoni), juga disimbolkan lewat tangan terampil penenun. Dalam lembar kain mereka menceritakan silsilah keluarga dan klan/marga (biasanya dilambangkan dengan motif binatang), situs fatukanaf dan oekanaf, dan keadaan geografis kampung (peta yang disimbolkan dengan bentuk bujusangkar, garis, dan gradasi warna). Dan yang paling menarik perhatian saya adalah upaya orang Mollo menokohkan setiap elemen alam semesta dan isinya. Misalnya, fetonai (feto: perempuan, nai: agung) untuk menyebut lebah madu. Ungkapan itu merujuk juga ke bagaimana cara mereka memperlakukan lebah madu, menggiring lebah ke sarang dengan doa, kemudian merayu lebah dengan lagu dan puisi sebelum panen. Atau bagaimana orang Mollo melihat gunung Fatunaususu yang menyembut seperti payudara perempuan. Fatunaususu dalam arti harafiah adalah batu besar yang menyusui batu-batu kecil di sekiarnya. Ia adalah ibu dari segala batu. Ketika investor tambang masuk dan memotong Fatunaususu yang mengandung marmer berkualitas nomor 1, orang Mollo berbaris menentang. Para perempuan Mollo bahkan menghadang alat-alat berat dengan dada telanjang membusung sebagai penegasan bahwa ketika payurada ibu diambil, ke mana lagi anak-anak akan menyusu. Jelas saja di kaki Fatunaususu ada begitu banyak sumber mata air.
Di Mollo setiap marga/fam punya lambang sendiri. Kakek saya punya nama Soleman Kamlasi, ia punya totem kalajengking dan nama kampung Sae. Ketika beliau wafat, rumah kami sering kedatangan kalajengking dan anehnya kalajengking itu tidak menyerang kami. Di kampung bapak saya di Flores, mereka punya totem ular. Ular itu tinggal di matair kampung dan sesekali masuk ke kebun untuk menyuburkan tanah. Ketika ular itu masuk ke pemukiman, mereka akan menyiram tubuh ular itu dengan beras, jagung atau sorgum dan berucap, ‘pulang sudah, kami tahu kau itu siapa.” Namun ketika ada anggota klan bapak saya yang punya tanda lahir di tubuh seperti naga, maka artinya bencana. Ia tak bisa punya istri/suami atau punya anak. Itu kutukan sampai kapanpun. Sampai sekarang dongeng itu terus hidup di kampung bapak saya.
Penokohan lain misalnya cendana disebut kayu setan. Setan bagi orang Mollo tidak selalu yang negatif. Penguasa bumi juga digambarkan sebagai uis nitu atau raja setan. Nitu punya sifat baik jika manusia pun bersikap baik terhadap alam semesta. Ladang akan subur ketika manusia menghormati dan menjalankan segenap ritual adat buka kebun, tanam benih hingga panen dengan baik. Uis Nitu akan marah ketika manusia mencuri madu sebelum saatnya panen. Begitu pun juga konsep Nitu dalam tubuh kayu cendana. Ia dianggap punya kekuatan spirtiual yang tinggi. Ketika para prajurit pulang dari medang perang, mereka akan diurapi dengan asap cendana untuk mengusir roh jahat dan mendatangkan roh baik. Ketika cendana dipanen di masa yang tidak tepat dan tanpa ritual penghormatan terhadap tubuh pohon cendana maka dipercaya kayunya akan mendatangkan masalah bagi manusia yang memotongnya.
Batu nama (fatukanaf) dan air nama (oekanaf) yang saya sebut di atas, adalah cara setiap marga melindungi asetnya (tanah, air, batu dan hutan). Penamaan benda-benda alam dengan nama atau karakter yang lekat dengan manusia dianggap sebagai cara penghormatan bagi benda alam tersebut. Benda alam tersebut merepresentasikan tubuh dan karakter pemilik fam/marga. Jika benda alam itu dirusak maka artinya marga itu pun ikut rusak. Di Timor sangat familiar nama tempat selalu diawali dengan oe (air) dan fatu (batu), jenis pohon, warna dan nama binatang. Misalnya, Fatunaususu atau batu payudara, Oehala (air terjun yang bentuknya seperti tempat tidur), Fafinisin (gigi babi), Panmolo (hidung kuning), Ajaobaki (pohon cemara yang tumbuh berbaris), dsb.
Demikian alam dan budaya Mollo yang telah memperkaya imajinasi saya sejak kecil hingga saat ini, menjadi penting bagi warna sastra saya. Dengan tugas sastra yang saya percayai yakni sebagai jalan untuk menyuarakan kemanusiaan, seperti yang selalu dilakukan orang-orang Mollo, menyuarakan kemanusiaan dan hidup selaras dengan alam maka saya ingin bahwa karya sastra saya mengandung pesan kemanusiaan juga pesan ekologis. Sebab saya orang Mollo, saya kira saya harus ikut bertanggungjawab menjaga tradisi leluhur saya lewat karya sastra saya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Beta tunggu lu pung komentar di sini, danke...