Senin, 02 November 2015

Saok Nate untuk Ayah


Christian Senda

“Aku melihat segerombolan manusia dengan setengah badan berupa akar pohon,
sedang menari bonet penyambutan bagi arwah Ayah. Di dinding gua 
yang lembab, kisah miris tentang kematian dilukiskan.” 


sumber: news.thaivisa.com
Namaku Sani. Ketika berusia sebelas tahun, secara tak sengaja, aku menemukan gambar tentang kematian Ayah di dinding bukit di dalam hutan keramat. Kisah kematiannya terlukis seperti tiga dimensi sehingga begitu mencekam sadarku. Aku berteriak histeris. Sontak menarik perhatian rombongan pemburu madu yang tak sadar sudah jauh meninggalkanku. Mereka berbalik segera dan mendapatiku meromok di kaki pohon ampupu (eucalyptus urophylla) dengan wajah pucat pasi dan mata sembab.
“Nansa hom kae?!”1 seru Ayah dengan agak kasar.
“A-ayah ma-masih hidup?” Aku mengangkat muka dan bersuara dengan gemetar.
Mereka segera memberi tatapan aneh disusul tertawaan yang keras. Aku bingung lantas melepas tangisanku lagi.
“Heh, lu diam! Anak lelaki sonde boleh menangis,” gertak Ayah sambil mengetok kepalaku kuat-kuat. Matanya melotot tajam ke dalam mataku. Jangan bikin aku malu, anak!
Tiba-tiba angin bertiup dengan amat kencang, memecah kesunyian hutan ampupu. Dedaunan koyak-moyak oleh amarah angin. Seperti ada selumbar yang menusuk ruang dengar. Bagai kemarahan, bagai pertanda yang tak biasa nan membahayakan. Teman-teman Ayah bergegas pergi. Ayah menarik lenganku dengan cengkeraman kasarnya. Kami menerobos hutan dengan amat tergesa seperti sedang dikejar setan.
Aku menoleh ke belakang. Ringkik setan melesap bersama angin mengejar rombongan kami. Akar-akar ampupu dan bebatuan raksasa mendadak mengaum geram. Mereka mempertontonkan amarah dari wajah mengerikan yang abadi. Aku merinding. Bau anyir tanah merebak.
Aku sadar, tak seorangpun dalam gerombolan kami yang bisa melihat kengerian yang mengejar kami, selain aku seorang.
Aku mendengar Ayah masih mengumpat seperti hendak menyalahkanku. Kami tiba di kampung dan merasa dipaksa untuk menanggung segala kejanggalan sebelumnya. Kejanggalan yang dipercaya membawa sial. Maka jadilah aku Sani si anak sial!
*
Siapa yang ingin dalam hidupnya ia bisa melihat setan? Bisa melihat masa depan sama gampangnya dengan kembali bersua dengan masa lalu? Aku tak pernah meminta, namun energi itu toh tiba-tiba datang sendiri. Ia yang awalnya kerap menganggu karena datang seperti pencuri yang meninggalkan mimpi buruk menahun. Jadilah aku, Sani si anak sial. Sani si anak gila. Aku yang kerap berbicara pada bebatang pohon kopi di halaman belakang rumah semenjak aku pertama kali belajar bicara. Sani si tukang kesurupan. Aku, Sani yang pernah hilang semalaman dan ditemukan terikat pada janggut pohon nunuh, beringin tua di tengah pekuburan umum.
“Aku sedang bermain, Ibu,” dalihku ketika diinterogasi.
Maka genaplah sudah dugaan dan tuduhan yang dilimpahkan warga sekampung kepadaku.
Usia 9 tahun, aku dikunci dalam ume kbubu, rumah tradisional suku Dawan dengan kaki terikat supaya tak kabur. Aku tak lagi sekolah dan bermain. Meski dipasung, aku tetap mengoceh seperti sedang memimpin rapat. Aku membuat pintu dan tiang-tiang perempuan di empat sudut mata angin ikut bersuara, atap dan jagung kering yang bergelantungan ikut menari bersamaku.
Ibu menangis dan menyodorkan sepiring jagung bose kepadaku.
“Ibu jangan sedih ya. Aku baik-baik saja,” ucapku menghibur. Pipi Ibu kian basah dan aku melihat ketulusan dari dalam matanya.
“Ibu, di mana Ayah? Ayah akan tersesat di hutan akibat perbuatannya. Tapi ibu akan kuat selamanya...” ucapku dengan tatapan mengawang.
“Hus! kamu makanlah dulu...” Kutahu Ibu tak suka dengan pembicaraanku.
“Aku akan menemukan jalanku dan jubahku. Aku tak lapar Ibu...” ucapku sambil menggeser piring jagung jauh dari dudukku.
Ibu memelukku. Malaikat itu memelukku.
*
Sosok malaikat yang pernah memelukkulah yang membawa aku kembali ke rumah, setelah berpuluh-puluh tahun aku terpisah darinya. Aku dibawa seorang pria asing berkulit putih, semenjak Ayah ditetapkan sebagai tersangka karena melanggar aturan adat. Ah, sudahlah. Aku akan cerita nanti saja. Pastinya aku senang karena bisa pulang ke kampung, bertemu Ibu sebagai Sani yang sudah jauh berbeda. Orang-orang mengira aku telah mati diculik nitu yang sama yang telah membunuh Ayah sebelumnya. Begitu kisah Ibu ketika aku baru saja mencium tangannya dan duduk tersungkur di kakinya. Aku tertawa dan satu dua warga kampung mulai berdatangan. Kebanyakan mereka menampakan wajah keheranan (atau kehati-hatian?). Mungkin mereka mengira aku masih gila.
“Ibu, mana kubur Ayah?”
“Di kebun kita...”
“Kok di kebun kita? Bukannya di pekuburan umum?”
“Ayahmu punya dosa berat. Ia tak bisa dimakamkan di pekuburan umum.” Aku terdiam sesaat.
“Tapi Ayah perlu didoakan, biar jiwanya abadi. Besok tanggal 2 November, aku rindu pengalaman saok nate, Bu...”
“Muhan neu ho Bapa...”2 Malaikat itu mengulum senyum senjanya dan memberikannya padaku seutuhnya.
*
Namaku Sani. Umurku kini 48 tahun. Aku merasa tak pernah gila seumur hidupku ketika akhirnya aku berdamai dengan tubuh-jiwaku. Tak ada ketakutan atas hidupku, melainkan kawan baik untuk melihat dunia dan manusia dari berbagai macam sisi; ruang dan waktu. Tubuh dan jiwa. Karunia tak bisa serta merta ditolak. Karunia diberikan karena ada maksud. Khayal adalah tanda, ketika tubuh-jiwamu dipakai untuk berbagai selubung rahasia yang baik. Termasuk panggilan untuk mendoakan ayahku saat ini.
Aku ingin Ayah jadi perantara terbaik antara sang Uis Neno, Apinat Aklahat3, aku, dan Ibu. Monit fua Uis Neno, Monit fua nitu dan Monit moe alekot.4 Untuk itulah aku pulang dan merayakan sebuah perjamuan saok nate5 yang kudus bagi Ayah. Ibu memintaku memasak nasi, menyembelih seekor ayam kampung dan merebusnya tanpa banyak bumbu. Tak lupa sebotol sopi melengkapi nampan dari anyaman daun lontar. Semua diawali dengan misa kudus nan sederhana.
Aku rindu Ayah, rindu saok nate. Aku ingat, dulu Ayah pernah mengajakku sekali ke penyelenggaraan saok nate di makam kakek. Ayah mabuk sopi dan aku berulah dengan seribu sosok dalam kepalaku setelah kenyang melahap potongan besar ayam rebus. Ibu pusing tujuh keliling, lantas segera menyeret suami dan bocah kurusnya pulang ke rumah. Kala itu aku sudah dicap Sani si tukang kesurupan.
Kau tahu, aku menulis ulang kisah ini dengan dada yang sesak, setelah melihat malaikatku yang sudah lontok berkeriput tersenyum menatap senja. Kutanyakan padanya, apakah ia melihat Ayah? Ia diam saja. Tetapi tiba-tiba ia bilang jika Ayah sering menarik-narik tanganya namun masih ia tepis.
Umur 9 tahun aku dipasung Ayah karena dianggap berlagak seperti anak gila, suka mimpi buruk, berbicara sendiri terkadang kesurupan. Sebenarnya aku dipasung kala itu agar memudahkan seorang dukun untuk merawat aku. Ia bilang pada Ayah jika aku sakit ayan. Aku sempat terpaksa menikmati betapa aneh rasa air rebusan akar marungga dan meniran.
Setahun kemudian aku diselamatkan seorang Padri berkulit putih yang bertugas di kota kecamatan, enam puluh kilometer jaraknya dari kampungku. Ia berhasil membujuk Ayah untuk tidak lagi menawanku. Aku ingat, tiba-tiba rambut para lelaki dewasa di kampungku tak lagi bergelung, setelah didoakan di mata air Nefolete. Padri mengajar orang tua kami dengan bahasa yang tidak aku pahami kala itu sembari mengobati orang-orang yang sakit lepra. Kepada anak-anak seusiaku, ia ajari menyanyi dan cara membersihkan tubuh dan gigi. Ia pendongeng hebat meski aku kadang hanya muncul sesaat disekitarnya dan lebih menikmati waktuku mengoceh sendiri di kebun kopi.
Ketika usiaku 11 tahun, Ayah menaruh kekhawatiran baru atas diriku. Aku dianggap lelaki yang terlampau lemah. Maka kemudian aku diajak ikut berburu rusa, mencuri cendana, mencuri madu... Ia sukses menyeret aku ke dalam kegilaannya. Lelaki tulen harus berani mengambil risiko, katanya. Meski perasaanku tak sedemikian utuh. Aku senang karena di dalam hutan, aku bertemu banyak pah nitu (aku memastikannya kelak, ketika di bangku kuliah). Aku diberi banyak petunjuk. Aku menemukan adanya relasi yang kuat antara manusia dan alam semesta, antara yang hidup dan yang mati. Tubuh dan jiwa.
Sampai ketika aku menemukan kisah kematian Ayah di dinding bukit marmer katika rombongan kami baru saja selesai mencuri madu di hutan adat. Aku menangis histeris, langkah pencurian terhenti dan terbitlah murka dari gerombolan pah nitu. Semenjak itu aku punya predikat baru, Sani si anak sial! Ayah hampir saja menyembelihku, tentu bukan atas perintah Tuhan seperti laku Abraham terhadap Ishak. Aku bukanlah bahan persembahan. Aku hanyalah bahan protes ayah pada Tuhan yang dianggap menganugerahinya anak gila. Lalu datanglah pria tinggi menjulang berkulit putih menyelamatku. Ayah tentu saja senang, tapi tak seberapa lamanya. Ia tentu punya tuaian kesialannya sendiri. Ia dan gerombolan pencuri lainnya ditangkap dan didakwa telah mengambil cendana dan madu di hutan adat yang memang belum saatnya dipanen (lais nasaehe banu mana maluat). Setiap hasil hutan di kampung diatur dengan sangat ketat untuk mencegah segolongan manusia yang suka maruk.
Kala itu aku tahu Ayah akan dihukum berat namun dengan cara apa, aku tak tahu karena sudah dibawa pergi beribu-ribu mil dari kampung. Kata Ibu, Ayah ditawan di rumah tetua adat, namun pada tengah malam secara tiba-tiba tubuhnya menghilang. Tidak hampir sehari, jasadnya ditemukan terkubur hingga batang leher saja, sedangkan kepalanya telah menghilang. Mungkin kepalanya sengaja ditonjolkan di atas tanah, supaya segala kengerian yang bergentayangan di balik semak gulita akan menerobos dan menghancurkan tubuhnya; mata dan otaknya. Ia mungkin dihukum sekawanan pah nitu. Aku ingat lukisan tiga dimensi di dinding batu dulu. Ibu yang syok berat lantas meminta tubuh tanpa kepala milik suaminya dikubur di kebun kopi kami di pinggir kampung.
Aku dibawa pria berkulit putih bersekolah di Jawa, masuk sekolah khusus Katolik yang seluruh muridnya adalah lelaki kemudian dengan pakaian putih kebanggaan aku dikirim kuliah filsafat dan ilmu kedokteran ke Jerman. Sejak 15 tahun terakhir, aku bertugas di beberapa gereja di pedalaman Kenya.
Aku, Sani, yang dulu kerap dicap pembawa sial, kini telah menjadi Sani yang bertangan dingin, bermata kucing teduh, padri dan tabib bagi para pesakitan di Afrika.
**
Pusara Ayah adalah kebun kopi yang harum saat musim berbunga, tempat aku berceloteh dulu. Aku melihat Ayah seperti orang bingung di kebun ini. Wajahnya lusuh bak musafir kesasar. Aku memimpin misa kudus untuk Ayah. O ya, rambutnya sudah berkonde lagi. Selesai misa kami duduk makan bersama Ibu dan orang-orang sekampung, setelah petisi-petisi luhur untuk para arwah sukses kami madahkan. Terutama untuk Ayah.
Tak boleh ada suara, air putih terteguk (kecuali sopi, setelahnya) dan remah yang terbuang dalam perjamuan saok nate sebab sebuah kehormatan bagi kami bisa makan dengan Ayah yang sudah tiada. Ayah dalam dua bungkus harapan: jiwanya selamat dan pendoa bagi yang hidup. Ayah tersenyum padaku. Diam-diam ia ingin meraih jemari Ibu.
Lilin kian meredup. Aku ikhlaskan Ibu. Malaikat itu.
O ya, namaku Sani. Padri dari Societas Verbi Divini.

Liliba, 15 Mei 2014 (untuk Patris Allegro)
Keterangan:
1Mengapa engkau menangis?
2Masaklah untuk ayahmu
3 Yang Ilahi, yang bertakhta lebih tinggi dari bumi, yang bercahaya namun menghanguskan.
4Filsafat hidup suku Dawan Timor: dalam hidup ini, manusia diwajibkan untuk menyembah Yang Ilahi, menghormati roh arwah nenek moyang (pah nitu) sebagai perantara hubungan manusia dengan Yang Ilahi dan melaksanakan hal-hal yang baik bagi sesama dan lingkungannya.
5Tradisi suku Dawan membersihkan kubur, berdoa-membaca mantra dan makan bersama di area kubur sebagai penghormatan untuk arwah yang telah meninggal. Tradisi ini kemudian berpadu dengan tradisi gereja Katolik yang secara khusus mendoakan arwah setiap tanggal 2 November.

1 komentar:

  1. SVD= Societas Verbi Divini
    (jadilah misionaris sejati bagi diri dan semua orang).

    BalasHapus

Beta tunggu lu pung komentar di sini, danke...