Minggu pagi di Jakarta adalah mewujudkan kenekatan tersendiri. Polusi yang membayangi bahkan menghadang dari muka dan keinginan untuk berjalan tanpa banyak bertanya. Kita yang punya kekuatan visual harusnya bisa memanfaatkan itu. Minggu pagi di Jakarta adalah perjalanan dari Salihara menuju stasiun Pasar Minggu dengan angkot nomor 16 lalu dilanjutkan dengan kereta menuju stasiun Juanda. Dari sana ada berpuluh abang ojek yang bisa kau pilih dan kau negosiasikan berapa harga yang layak untuk menuju ke Museum Nasional di sebelah barat Monumen Nasioal. Ada kawan-kawanmu menunggu di sana. Kawanmu yang akan mengisi acara diskusi #LajurRempah: Perdagangan Cendana dari Timor menuju Makau. Kawanmu itu pertama kali kau temui di sebuah rumah makan dekat Bandara di Kupang. Ia seorang fotografer terkenal, berkontrubusi untuk majalah National Geographic. Ia lantas memperkenalkan rekan penelitinya, seorang dosen yang spesifik mengkaji sejarah dan budaya Cina. Ia yang disebut Sinolog itu bernama Agni. Hampir dua tahun sudah kami berkenalan dan melanjutkan obrolan di media sosial. Kali berikutnya ketika mereka mampir lagi ke Timor untuk keperluan penelitian, kami bertemu dan bertemu lagi. Oya kawanku yang fotografer itu namanya Ferry.
Aku tiba di museum yang besar. Ada rekan lain menungguku di sana. Mas Dede, seniorku di Gerakan Mari Berbagi, sebuah komunitas anak muda dari berbagai daerah di Indonesia bahkan dari luar Indonesia seperti Australia, Jepang dan Belanda, yang punya forum rutin tahunan Youth Leaders Forum. Tentang GMB aku pernah menulis secara lengkap di sini. Ketika masuk ke dalam ruang diskusi, mas Dede langsung berdiri dan melambaikan tangannya ke arahku. Kami mengobrol sejenak dan acara dimulai. Acara dibuka oleh seorang moderator yang menurutku tak pas. Mas Dede mengiyakan. Ia seorang komedian di TV dan membawakan acara bertema sejarah dan budaya, dan ia lebih banyak tidak tahunya. Untunlah dua kawan saya itu berhasil 'merebut' mic dan berbicara panjang lebar selama sesi kurang dari dua jam.
Mbak Agni bercerita tentang apa itu Cina Timor, khususnya yang mendiami daerah Atapupu di pesisir utara Belu. Dilengkapi dengan foto-foto keren dari mas Ferry, kita seperti sedang diajak mendengarkan sebuah dongeng. Bagaimana orang-orang Cina datang ke Timor dan mulai berdagang cendana, menikah dengan anak raja lokal dan meneruskan keturunan juga pengaruhnya tidak saja di pesisir Timor, bahkan hingga ke gunung dan pedalaman Timor. Ada satu hal, kata kak Agni yang menarik, bahwa orang Cina di Timor enggan untuk menyebut diri mereka Tionghoa. Mereka lebih nyaman menyebut diri mereka Cina. Mbak Agni lantas menguraikan sebabnya, bahwa selain terlepas dari isu politik orang Tionghoa di Jawa mislanya, para Cina Timor ini sebenarnya datang dengan jalur yang berbeda dengan kelompok lain yang awalnya melewati Malaka. Cina Timor ini datangnya lewat jalur Filipina, Sulawesi, Laut Flores lalu tiba di Timor. Ada banyak hal lain yang membuat Cina Timor ini spesial. Dan selanjutnya dongeng-dongeng tentang cendana bagi suku Tetum menjadi sangat penting.
Dan diakhir sesi, mas Ferry memberi kesempatan kepadaku untuk berbicara. "Ini Dicky Senda, kawanku dari Timor. Kita harus memberikan kesempatan untuknya bercerita tentang apa yang sebenarnya terjadi dengan cendana di Timor." Saya hendak berdiri dan seorang panitia menyebut bahwa sesi telah selesai. Aku duduk lagi dan rasanya agak kecewa karena ingin melengkapi beberapa informasi mbak Agni dan mas Ferry terutama soal cendana dalam pemaknaan orang Dawan Timor. Mas Ferry tetap bersikeras mempersilahkan aku maju dan bicara. Aku pun maju dan mengungkapkan beberapa poin yang saya tahu terutama soal cendana di Mollo.
Di belakang rumahku ada lebih dari 5 pohon cendana yang tumbuh secara bebas tanpa ada yang pernah menanam. Kata ayah cendana memang susah-susah gampang dan untuk sampai ke masa panen butuh waktu yang tak sedikit. Salah satu pohon di rumahku yang paling besar bahkan diperkirakan berusia lebih dari 40 tahun. Ketika cendana itu dijual, saya SMP dan kisah-kisah tentang cendana saya tulis di buku Hau Kamelin dan Tuan Kamlasi. Orang Dawan menyebut cendana sebagai hau nitu, kayu setan, artinya kayu itu punya kekuatan magis/spiritual. Sejak dulu ia sudah dipakai sebagai bagian dari ritual penting, pelengkap doa dan sesaji. Kayu cendana dengan beberapa akar tanaman yang dibungkus kain merah dan doa-doa adalah pelindung seseorang ketika menuju medan perang. Dan ketika kembali dari medan perang, tubuh para pejuang itu harus diukup dengan asap cendana yang dipercaya bisa menghilangkan kekutan negatif dari medan perang. Sejak kecil bapak atau kakek saya biasa menaruh secuil cendana dengan kulit bawang dan gaharu ke atas bara api. Asap yang ditimbulkan bisa mengusir kekuatan jahat. Orang Dawan sendiri punya kearifan untuk memelihara dan mengelola cendana. Ada istilah Banu Haumeni, soal pengaturan kapan waktunya cendana dipanen, siapa yang memanen dan apa saja yang boleh dan tidak boleh dilakukan saat proses pemotongan pohon cendana. Ia begitu sakral dan terhormat. Masalah mulai datang, menurut saya ketika pemerintah mengintervensi lewat dinas Kehutanan lewat beberapa peraturan pemutihan cendana. Negara kemudian ikut mengontrol kepemilikan cendana warga. Penebangan pohon cendana secara massal dilakukan karena ketakutan dan ketidakinginan rakyat atas haknya dikuasai pemerintah. Aku ingat ketika masih SD, di tahun 90an menjadi puncak dari peristiwa penebangan pohon secara massal dan penjualan cendana di pasar-pasar gelap. Polisi dan tentara melakukan razia di jalan dan rumah ke rumah. Cendana menjadi hilang makna kesakralannya. Orang lantas lupa dengan banu haumeni, dan segala mitos tentang cendana. Kini ketika dinas Kehutanan bikin program reboisasi dengan anakan cendana, selain sulit karena cendana itu lebih mudah tumbuh alamiah (dengan penyebaran biji oleh burung-burung, dsb), rakyat sendiri menjadi takut untuk menanam dan memelihara cendana. Nanti ketika sudah besar, negara mengklaim itu punya negara. Ini yang dalam buku saya Hau Kamelin saya sebut bahwa cendana kini menjadi hau mamalasi, kayu bermasalah. Ia bukan lagi kayu yang punya kekuatan spiritual, kayu yang mampu mengusir energi jahat. Aku berbicara itu dengan lantang.
Ketika selesai bicara dan kembali ke tempat duduk, seorang datang menghampiri. Ah aku tentu saja kenal orangnya. Romo Mudji Sutrisno! Dia mengajak salaman dan memuji apa yang saya kritik tadi. Kami bertukar nomor kontak, aku beri buku cerpenku Hau Kamelin dan Romo Mudji memberi bukunya. Ia bilang akan mengubungi untuk kopdar ketika nanti ia ke Jogjakarta.
Selesai acara kami menuju ke Mall Amabasador, makan sore bersama kawan baruku, Denty, seorang wartawan Kompas, temannya mbak Agni dan mas Ferry. Jam 6 sore mereka mengantarku kembali ke Salihara. Sejam lagi aku harus baca cerpen di malam penutupan Bienale Sastra Salihara.
Baca juga: Ishack dan Perjalanan Menuju Fantasi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beta tunggu lu pung komentar di sini, danke...