Sabtu, 05 September 2015

5 Hari Bersama Chef Rahung Nasution

bersama penjual ikan di TPI Oeba Kupang
Seseorang yang wajahnya begitu familiar di media sosial sedang duduk santai sambil minum air mineral di depan sebuah kios di seberang kantor Imigrasi. Beberapa waktu sebelumnya kami saling janjian untuk ketemu. Kak Olin Monteiro sebelumnya telah memperkenalkan saya dengan dirinya via media sosial.
“Halo bang, saya Dicky Senda.” Sapa saya.
    “Hi bro. Apa kabar?” sahutnya.
    Bang Rahung Nasution sang chef nyentrik penuh tato yang lebih suka menyebut dirinya koki gadungan. Kami pernah bertemu di Asean Literary Festival tahun 2014 lalu tapi belum saling kenal. Tapi saya sudah follow dia di Twitter (tergolong yang ‘cerewet’ di Twitter selain Arman Dhani hahaha). Saat itu dia hadir dengan nona cantik Jasmine Noor.
    “Urusan di kantor Imigrasi belum selesai, tapi kita bisa atur rencana ke Mollo sambil minum sopi dan sikat se’i babi ya?” Ia langsung naik ke motor saya. Kami lantas menuju tempat penjualan tuak lontar di Naimata lalu menuju warung Beta di Oebobo. Targetnya: jagung bose dan se’i.
    Kami lantas mengobrol banyak hal. Soal kehadirannya di Lembata dalam sebuah event #PesonaLembata yang diprakarsai oleh Kementrian Pariwisata, pengalaman tinggal di Timor Leste selama 6 tahun dan pandangan dia tentang kuliner Nusantara. Sangat menarik pengalamannya keliling Indonesia dan belajar memasak langsung ke ibu-ibu di kampung, termasuk wawasannya akan antropologi dan sosiologi yang berkaitan dengan kuliner lokal.
    Menemani orang seperti ini susah-susah gampang, jika melihat bahwa tempat makan di Kupang yang menawarkan menu lokal sangat terbatas/susah ditemui. Oke benar warung se’i sudah bertebaran di mana-mana, tapi kebanyakan sudah dimodifikasi. Di warung Beta, ada jagung bose dan se’i sapi tapi karena pemiliknya orang Manado, ya rasanya jadi sangat Manado. Barangkali untuk sebagain orang lain ini lumrah. Yang penting makan. Tapi bagi Rahung Nasution ini masalah! Benar saja dalam perjalanan ke Lasiana, dia mulai menyampaikan curhat bernada kecewa terhadap kota Kupang. Misalnya kritik dia terhadap pasar malam Kampung Solor. Seafoodnya beragam dan segar tapi pengolahannya sama dari ujung ke ujung. Ya benar saja karena yang jualan di sana mayoritas orang Jawa. “Kecap semuaaa!” ujarnya berkali-kali.
    “NTT banyak menghasilkan kopi terkenal. Kopi Timor, kopi Manggarai, kopi Bajawa., dll. Tapi kok susah ya ketemu warung kopi di Kupang?”
    Malam itu saya berpikir panjang terkait apa yang dia sampaikan. Ada benarnya juga. Di Kupang mudah sekali ketemu bakso, warung penyetan, warung padang ketimbang warung kopi Flores, warung makanan khas NTT juga kios-kios yang menjual kue-kue lokal. Makanan juga identitas sosial budaya, lalu ketika kita lebih familiar dengan makanan dari daerah lain, identitas macam apa yang mau kita tunjukkan? Di sisi lain, gaung ayo makan pangan lokal dari pemerintah sebatas omongan, sebatas muncul di pameran pangan lokal setahun sekali. Sedangkan di pusat kuliner seperti Kampung Solor dan Taman Nostalgia sonde ada se’i, jagung katemak, jagung bose, kua asam, dll. Yang berjaya adalah ikan bakar bumbu kecap, kecap, kecap, kecap... salome, salome, salome. Duh.
    “Aku bukannya anti Jawa. Tapi kalau dibiarkan akan mematikan khazanah kuliner lokal. Apalagi saat ini orang lebih banyak makan di luar. Ya lupa sudah dia sama resep-resep masakan turun-temurun di rumah. Hal yang sama terjadi di Papua. Bahaya.”
    Saya pada akhirnya semakin sulit untuk mengajak bang Rahung cari tempat makan di Kupang. Saya harus berpikir keras, tempat makan mana di Kupang yang menawarkan makanan yang sangat khas dan asli NTT. Malamnya saya mengantar bang Rahung memenuhi undangan dari kru Trans Nusa untuk memasak di kontrakan mereka di Kota Baru. Akhirnya kenallah saya dengan nona-nona pramugari Dea, Debby, dkk juga dua pilotnya. Di sana bang Rahung memasak sejenis ikan woku, sotong yang digoreng dan disiram sambal matah, wuih! Malam itu kami makan besar, ngobrol sambil ngebir hingga jam 1 pagi.
Esoknya saya dan bang Rahung menuju ke Baun yang terkenal dengan se’i babinya yang masih diolah dengan cara tradisional, dipanggang di atas kayu kosambi dan ditutup dengan rimbunan daun kosambi segar. Rasanya memang fenomenal. Di Baun, saya lihat bang Rahung puas, bahkan mabok se’i-nya Om Ba’i. Se’i sekilo tak bisa kami habiskan. Bahkan dalam perjalanan pulang. Bang Rahung sudah sempoyongan karena kekenyangan dan ngantuk berat. Asli mabok daging se’i hahaha.
    Sampai di penginapan (di rumah salah satu diver asal Kupang, Pinneng) sudah ada Tekno Bolang dan Swastika Nohara. Dua orang travel blogger yang juga baru kembali dari Festival Nuhanera di Lembata. Saya mengantar bang Rahung pergi beli ikan di Kelapa Lima lalu mampir ke Hypermart. Malam itu sotong dengan sambal dabu-dabu, se’i babi sisa dari Baun plus ikan tuna dimasak arsik (masakan khas Batak, diberi andaliman yang memang selalu dibawa kemana-mana oleh chef Rahung).
    Banyak hal dilakukan selama menunggu proses perpanjang pasport. Menemani Tekno dan Tika ke Goa Kristal lalu ke pantai Namosain. Mengantar Tika ke bunker Penfui dan Lasiana, mengantar bang Rahung ke Lasiana. Di hari Minggu sebelum Tika kembali ke Jakarta, saya ajak mereka makan siang di Oesao. Saya ingat, di warung Anugrah Oesao ada jagung katemak pulut dimasak dengan labu pempung, terong dengan sambal lu’at, aneka jajan pasar seperti kue solo (sejenis cucur), jagung rebus, kue abu, kue perut ayam, dll. Dari Oesao, kami harus ke bandara mengantar Tika, tapi sebelumnya mampir ke bunker Penfui untuk foto-foto.
Dari Penfui, saya mengajak bang Rahung menikmati sunset yang berbeda di Bolok. Kami mampir sebentar ke pantai Namosain, menyaksikan para warga meting (memungut kerang, siput, rumput laut, dll saat laut surut), mengobrol dengan seorang penyadap nira lontar yang akan dibuat laru (rendaman nira lontar dengan akar-akar, mengandung alkohol). Lalu ngebut ke pantai Bolok karena matahari hampri terbenam. After sunset di sana memang super, sambil bercanda dengan anak-anak yang turun meting.
    Bang Rahung akhirnya pulang ke Jakarta. Saya sendiri berniat menulis info tentang beberapa tempat makan yang bisa jadi referensi karena menawarkan kekhasan kuliner lokal. Sei babi Baun dan jagung katemak Oesao dengan sayur rumpu-rampe (tumis bunga pepaya, jantung pisang, daun singkong dengan ebi) tentu saja masuk ke dalam daftar itu. Dan ingin menulis ulang resep warisan keluarga. Dan tentu saja memasaknya supaya tidak lenyap. Tapi apakah saya dan anda masih sadar akan permalasahan di atas?
    Saya senang karena belum bekerja lagi jadi bisa mengantar seorang Rahung, 5 hari keliling Kupang. Belajar masak juga langsung sam ahlinya. Mengobrol dan mendapat banyak hal baru. Rasanya ingin terus belajar masak.
    “Apa lagi yang bisa kita lakukan di dunia ini selain menikmati makan enak, bro?” pesannya.
    Luar biasa!

merekam penyadap lontar

jagung katemak, kue perut ayam, dkk

ke terminal kota Kupang, berburu tulisan unik di angkot

merekam om Bai, pemilik se'i babi Baun


merekam para mama turun meting ke pantai Namosain


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Beta tunggu lu pung komentar di sini, danke...