Kamis, 04 Juni 2009

Long Road to Mangkubumi Street

terlempar. aku pergi ke sudut kota penuh asap
berjalan. aku sepi. aku diam. hatihati. sadarku di perempatan tugu yang berkilau.
aku sedang melewati sepasang muda-mudi merangkai sulursulur diam berwarna kelabu. kusut panjang di sudut bangkutaman hijau tua. katanya kepada pasangannya:

‘’kau berjibaku dalam lelah, dan kau tak tahu itu. artinya kau tak cintai aku!’’

aku mengira saja. jangan terlalu percaya. aku tak selalu putih.
sejurus kemudian, mataku mati langkah pada sepasang suami istri – saya kira (atau pasangan selingkuhnya!). hari yang remang membuatku berpikir yang tak putih. makanya jangan terlampau percaya padaku. mereka bercengkrama mesra, kulihat dari jendela mataku.

aku membaca:

‘‘esok pagi aku akan membawamu ke puskesmas. aku khawatir dengan kandunganmu, sayang.’’

aku melihat perutnya membuncit. gumpalangumpalan cinta membucah di dalam sana. mereka mengisinya saban malam tanpa lelah.
aku hanya mengira saja. jangan terlalu percaya. mataku tak selalu cerah melihat.

aku harus pergi meninggalkan kemesraan mereka. nuraniku selalu cemburu pada unsur kimia pasangan bercinta ini.
ke selatan lagi aku menghitung sunyi hatiku. duabelas, tigabelas. aku tak punya cinta lagi. sampai mataku tertumpah pada dua pria kirakira tigapuluhan tahun, mengobrol disela kunyahan nasi kucing. aku di dekat griya kedaulatan rakyat. di dekat dua lelaki berjaket kulit hitam.
aku membaca:

‘‘aku golput karena aku mimpi buruk. aku golput karena nyatanya aku mengalami hal yang sama di mimpiku. hari-hari yang buruk soal kesejahteraanku. nasi kucing tetaplah obat ketika kesadarannku stagnan – beras mahal, kau tak punya pekerjaan lagi. aku tukang parkir. kita sama!’’

aku hanya mengira. jangan terlampau percaya. aku kadang abu-abu lho.

aku tak kuat berjalan. aku mati langkah. hanya mataku yang berjalan. di selatan lagi, aku membatin,

‘‘hidup baik, hidup buruk, semua punya itu’’

di depan emperan toko penjualan sepeda motor, aku melihat dengan letih:
segerombolan kau tunawisma berkumpul.

‘’sekian hari kami tak mandi. kami lebih lapar soalnya’’

ada seorang gadis cilik yang tak kenal sisiran.

‘‘aku mendapatkan sebungkus sisa pewarna rambut, dan lihatlah, rambut usangku masih nampak menguning seperti bule-bule itu’’

seorang wanita kurang waras memegang perutnya. tubuh menghitam. astaga, dia hamil.

‘‘aku diperkosa sekelompok pria di dekat rel kereta. aku sudah gila sebelumnya dan mereka bebas atas tubuhku’’

dua bocah delapan tahunan sedang menikmati makan malamnya. dengan asap mengepul. sebatang rokok di sela jarinya.

‘‘lumayan, sebatang buat malam yang akan dingin nantinya. aku benci sekolah, karena aku terlahir untuk tidak menyentuh bangku sekolah.’’

sepelemparan batu ke selatan lagi. tiga abang becak tertidur di kendaraan masingmasing.

‘‘istriku berteriak. anakku merengek. sedangkan keringatku mengering tanpa uang ribuan tersangkut di saku celanaku.’’

aku berusaha menyentuh mimpi mereka. aku adalah patung tanpa hati.
dua puluh langka ke selatan lagi, dekat stasiun, puluhan pasangan remaja sedang melewati malam minggunya di pelataran warung kopi joss.

‘‘posting yuuuk foto-foto kita ini ke facebook. tahu gak sih, semalam aku facebookan hingga jam 3 pagi. senang banget, tapi capek sih...’’

oh, tuhan. sepi hati sudah membawaku menelusuri jalan mangkubumi, dari tugu ke stasiun tugu. dari cinta ke tawarnya makna cinta. apa aku sudah salah menilai? jangan percaya kata-kataku. percaya saja bahwa suatu saat kau akan menelusuri jalan mangkubumi, dan jogjakarta begitu asing terpampang disana. aku masih sepi. aku bisa jadi akan malu. tapi aku mau menulis. bahwa sepi mewarnai malam mingguku seperti kelabu-merah-kotor.
terlempar. aku pergi ke sudut kota penuh asap
berjalan. aku sepi. aku diam. hatihati. sadarku di perempatan tugu yang berkilau.
aku sedang melewati sepasang muda-mudi merangkai sulursulur diam berwarna kelabu. kusut panjang di sudut bangkutaman hijau tua. katanya kepada pasangannya:

‘’kau berjibaku dalam lelah, dan kau tak tahu itu. artinya kau tak cintai aku!’’

aku mengira saja. jangan terlalu percaya. aku tak selalu putih.
sejurus kemudian, mataku mati langkah pada sepasang suami istri – saya kira (atau pasangan selingkuhnya!). hari yang remang membuatku berpikir yang tak putih. makanya jangan terlampau percaya padaku. mereka bercengkrama mesra, kulihat dari jendela mataku.

aku membaca:

‘‘esok pagi aku akan membawamu ke puskesmas. aku khawatir dengan kandunganmu, sayang.’’

aku melihat perutnya membuncit. gumpalangumpalan cinta membucah di dalam sana. mereka mengisinya saban malam tanpa lelah.
aku hanya mengira saja. jangan terlalu percaya. mataku tak selalu cerah melihat.

aku harus pergi meninggalkan kemesraan mereka. nuraniku selalu cemburu pada unsur kimia pasangan bercinta ini.
ke selatan lagi aku menghitung sunyi hatiku. duabelas, tigabelas. aku tak punya cinta lagi. sampai mataku tertumpah pada dua pria kirakira tigapuluhan tahun, mengobrol disela kunyahan nasi kucing. aku di dekat griya kedaulatan rakyat. di dekat dua lelaki berjaket kulit hitam.
aku membaca:

‘‘aku golput karena aku mimpi buruk. aku golput karena nyatanya aku mengalami hal yang sama di mimpiku. hari-hari yang buruk soal kesejahteraanku. nasi kucing tetaplah obat ketika kesadarannku stagnan – beras mahal, kau tak punya pekerjaan lagi. aku tukang parkir. kita sama!’’

aku hanya mengira. jangan terlampau percaya. aku kadang abu-abu lho.

aku tak kuat berjalan. aku mati langkah. hanya mataku yang berjalan. di selatan lagi, aku membatin,

‘‘hidup baik, hidup buruk, semua punya itu’’

di depan emperan toko penjualan sepeda motor, aku melihat dengan letih:
segerombolan kau tunawisma berkumpul.

‘’sekian hari kami tak mandi. kami lebih lapar soalnya’’

ada seorang gadis cilik yang tak kenal sisiran.

‘‘aku mendapatkan sebungkus sisa pewarna rambut, dan lihatlah, rambut usangku masih nampak menguning seperti bule-bule itu’’

seorang wanita kurang waras memegang perutnya. tubuh menghitam. astaga, dia hamil.

‘‘aku diperkosa sekelompok pria di dekat rel kereta. aku sudah gila sebelumnya dan mereka bebas atas tubuhku’’

dua bocah delapan tahunan sedang menikmati makan malamnya. dengan asap mengepul. sebatang rokok di sela jarinya.

‘‘lumayan, sebatang buat malam yang akan dingin nantinya. aku benci sekolah, karena aku terlahir untuk tidak menyentuh bangku sekolah.’’

sepelemparan batu ke selatan lagi. tiga abang becak tertidur di kendaraan masingmasing.

‘‘istriku berteriak. anakku merengek. sedangkan keringatku mengering tanpa uang ribuan tersangkut di saku celanaku.’’

aku berusaha menyentuh mimpi mereka. aku adalah patung tanpa hati.
dua puluh langka ke selatan lagi, dekat stasiun, puluhan pasangan remaja sedang melewati malam minggunya di pelataran warung kopi joss.

‘‘posting yuuuk foto-foto kita ini ke facebook. tahu gak sih, semalam aku facebookan hingga jam 3 pagi. senang banget, tapi capek sih...’’

oh, tuhan. sepi hati sudah membawaku menelusuri jalan mangkubumi, dari tugu ke stasiun tugu. dari cinta ke tawarnya makna cinta. apa aku sudah salah menilai? jangan percaya kata-kataku. percaya saja bahwa suatu saat kau akan menelusuri jalan mangkubumi, dan jogjakarta begitu asing terpampang disana. aku masih sepi. aku bisa jadi akan malu. tapi aku mau menulis. bahwa sepi mewarnai malam mingguku seperti kelabu-merah-kotor.

Jogja, 30 MEI 2009

aku berjalan pulanbg ke rumah dan menulis ini di hati:

''ngapain coba masih ributin harga kudanya Prabowo. Mendingan ngurusin Porong, Ambalat atau saudara-saudara di sepanjang jalan Mangkubumi ini dan mereka yang lain, yang nasib dan ceritanya sama''

aku dijalan pulang: masa lalu lebih baik

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Beta tunggu lu pung komentar di sini, danke...