Rabu, 10 Juni 2015

Menonton Kesurupan Masal




Aku melihat ratusan remaja SMP sedang kesurupan sejak pagi di kota ini. Mereka tumpah ruah ke jalanan kota seperti robot yang baru saja ditumpahi beraneka warna cat. Mereka sudah tak menjadi manusia lagi, mereka tak polos tapi memang bodoh. Yah, bodoh!
Aku sedang mengantar seorang teman dari ibukota untuk berbelanja oleh-oleh dan kami melihat kesurupan masal remaja SMP di kota ini begitu memprihatinkan bahkan hampir menjijikkan. Kau bayangkan rupa mereka yang kurus-kurus dan kulit terbakar matahari, lalu tubuh dipenuhi berbagai cat warna-warni lalu mereka cengengesan di tepi jalan berdebu memamerkan gigi kuning mereka. Uh. Dimana rasa kasihanku pada mereka aku bertanya sendiri pada diriku. Bulan lalu aku merasakan hal yang sama ketika remaja SMA merayakan hal yang sama; pameran kebodohan masal di jalanan kota dengan tubuh dan pakaian sudah tak karu-karuan.
Tapi apa yang barusan kulihat ini memang sudah parah. Aku mampir ke warung bakso langganan di salah satu gang dekat tumpahan kesurupan masal siang ini. Warung bakso itu tertutup punggung gedung percetakan negara yang kini jadi lokasi anak sekolahan bolos dan pacaran. Di sebelahnya berderet hotel kelas melati yang terkenal punya simpanan pelacur. Diantara gedung percetakan negara dan hotel berpelacur itulah kulihat segerombolan remaja SMP laki-laki dan perempuan sedang ngumpul. Rupa mereka lebih menyeramkan lagi menjijikan dari kawanan lainnya yang bertebaran di tepi jalan utama. Jadilah makan siangku kali ini diberi tontotan seperti ini: mereka yang berteriak histeris sembari memaki satu sama lain, lagi-lagi seperti orang kesurupan. Wajah mereka kosong (bukan polos) bahkan nyaris bodoh. Baiklah kuhapus saja kata ‘nyaris’ itu. Semua remaja lelaki memegang rokok, beberapa remaja perempuan juga melakukan hal yang sama. Rok mereka bahkan sudah digulung pinggangnya sehingga bawahanya sudah tak lagi menutup lutut. Mereka masih saja memaki, mengeluarkan kata bermakna alat kelamin dalam berbagai ragam bahasa daerah. Kulihat nasfu mereka sudah memuncak, seperti ingin telanjang saja dan berlarian keliling kota. Tadi pagi ketika aku bersama temanku mampir beli kain tenun di dekat pelabuhan lama, remaja di sana sudah lebih parah lagi. Mereka sudah mabuk sopi, memaki lalu memeluk mesra teman perempuan mereka di tepi pantai. Tukang parkir sibuk mengatur motor sementara beberapa pedangang kali lima melihat itu sebagai tontonan baru setahun sekali.
Siang ini polisi sibuk menilang motor dan mobil yang lewat di depan katedral. Masih di jalan yang sama dekat katedral, remaja SMP dari penjuru kota kian tumpah ruah. Kulihat mobil patroli polisi berkeliling dan mengeluarkan himbauan agar remaja yang sedang kesurupan masal itu pulang saja ke rumah dan berdoa mengucap syukur pada Tuhan karena sudah lulus. Remaja-remaja itu tak menggubris sama sekali. Cat dan rokok makin membanjiri trotoar. Pedagang kali lima senang-senang saja sebab hari ini rokok dagangan mereka laris manis. Dibeli anak-anak usia duabelas tigabelas tahunan.
Bakso tak habis kusantap. Beberapa remaja yang mabuk dan berpelukan mesra dibalik tembok gedung percetakan negara seperti memaksaku berhenti makan. Beberapa pengunjung warung keluar dan memarahi mereka yang kemudian berlalu dengan tertawa cekikan tanpa beban. Ya, tanpa beban sebab kepala mereka sedang kosong. Hati mereka adalah ruang hampa. Lalu kemana orang tua mereka? guru mereka?
Aku bisa memastikan, orang tua mereka sedang sibuk di perkantoran di timur dan selatan kota. Mereka memang harus bekerja hingga larut malam. Kebutuhan hidup meningkat beberapa tahun terakhir ini. Sedangkan anak-anak mereka kerap merengek minta diajak jalan-jalan ke mall dan dibelikan ini itu. Di kantor-kantor, para orang tua itu juga kesurupan masal. Mereka seperti robot, mengejar berbagai target hidup sampai lupa kalau mereka pernah menjadi manusia. Mereka memang sudah menjadi robot yang kesurupan di kantor hingga tengah malam. Rumah bukan lagi menjadi rumah. Rumah adalah peternakan anak-anak, sehingga orang tua cukup menggaji asisten rumah tangga yang setia mencecoki anak-anak dengan berbagai game dan sinetron. Orang tua harus bekerja keras agar akhir pekan bisa membalas kesedihan anak-anak yang rela ditinggali di peternakan selama lima hari dengan main dan berbelanja sepuasnya di mall. Kau tahu, di mall pun dengan mudah kita melihat kerumunan manusia kesurupan.
Lalu ke mana guru-guru mereka? Di sekolah, mereka sedang tersenyum karena beberapa minggu yang lalu sudah berhasil mengatrol sebagian besar nilai siswanya, dengan demikian harapan lulus seratus persen sudah di genggaman. Siapa yang tak senang sekolahnya lulus seratus persen? Kepala sekolah senang, kepala dinas senang, menteri senang, presiden pun senang. Horee, ujian nasional kita berhasil, mutu pendidikan kita meningkat. Tapi diam-diam siapa melihat di dalam pengapnya ruang guru, rapat rahasia dilakukan, semua nilai semester gampang saja dirubah. Menjadi guru hari ini toh tidak sulit. Mengajar secukupnya, yang lebih biar diatur orang tua ke Primagama dan sejenisnya. Mengajar secukupnya, yang lebih biar diatur salesman buku dari penerbit mayor. Toh para guru pun bisa mendapat sekian persen dari hasil penjualan buku ke siswa yang lebih bersifat pemaksaan, buku tak berkualitas pun okelaah. Lalu bisakah kita menyebut para guru juga sudah kerusupan? Mereka akan lebih kesurupan lagi jika dana sertifikasi diendapkan pihak dinas berbulan-bulan di bank. Bunganya memang menggiurkan pak kepala dinas dan jajarannya. Apakah mereka juga sedang kesurupan?
Aku keluar dari warung bakso dan menjadi orang asing di tengah lautan remaja SMP yang sedang kesurupan masal. Pikiran mereka kosong dan mereka bodoh. Semua dipertontonkan dengan tanpa beban. Polisi akhirnya datang melerai, mereka berlarian seperti pasir yang dilempar ke segala arah. Beberapa bahkan lari bersembunyi ke halaman katedral.
Katedral yang kulihat dari pinggir halte, seperti kakek tua yang sudah kehabisan daya. Sementara pasir-pasir remaja tak karuan terus belari kocar-kacir dikejar polisi. Sungguh tontonan siang yang memuakkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Beta tunggu lu pung komentar di sini, danke...