Aku
melihat ratusan remaja SMP sedang kesurupan sejak pagi di kota ini. Mereka
tumpah ruah ke jalanan kota seperti robot yang baru saja ditumpahi beraneka
warna cat. Mereka sudah tak menjadi manusia lagi, mereka tak polos tapi memang
bodoh. Yah, bodoh!
Aku
sedang mengantar seorang teman dari ibukota untuk berbelanja oleh-oleh dan kami
melihat kesurupan masal remaja SMP di kota ini begitu memprihatinkan bahkan
hampir menjijikkan. Kau bayangkan rupa mereka yang kurus-kurus dan kulit
terbakar matahari, lalu tubuh dipenuhi berbagai cat warna-warni lalu mereka
cengengesan di tepi jalan berdebu memamerkan gigi kuning mereka. Uh. Dimana
rasa kasihanku pada mereka aku bertanya sendiri pada diriku. Bulan lalu aku
merasakan hal yang sama ketika remaja SMA merayakan hal yang sama; pameran
kebodohan masal di jalanan kota dengan tubuh dan pakaian sudah tak karu-karuan.
Tapi
apa yang barusan kulihat ini memang sudah parah. Aku mampir ke warung bakso
langganan di salah satu gang dekat tumpahan kesurupan masal siang ini. Warung
bakso itu tertutup punggung gedung percetakan negara yang kini jadi lokasi anak
sekolahan bolos dan pacaran. Di sebelahnya berderet hotel kelas melati yang
terkenal punya simpanan pelacur. Diantara gedung percetakan negara dan hotel
berpelacur itulah kulihat segerombolan remaja SMP laki-laki dan perempuan
sedang ngumpul. Rupa mereka lebih menyeramkan lagi menjijikan dari kawanan
lainnya yang bertebaran di tepi jalan utama. Jadilah makan siangku kali ini
diberi tontotan seperti ini: mereka yang berteriak histeris sembari memaki satu
sama lain, lagi-lagi seperti orang kesurupan. Wajah mereka kosong (bukan polos)
bahkan nyaris bodoh. Baiklah kuhapus saja kata ‘nyaris’ itu. Semua remaja
lelaki memegang rokok, beberapa remaja perempuan juga melakukan hal yang sama.
Rok mereka bahkan sudah digulung pinggangnya sehingga bawahanya sudah tak lagi
menutup lutut. Mereka masih saja memaki, mengeluarkan kata bermakna alat
kelamin dalam berbagai ragam bahasa daerah. Kulihat nasfu mereka sudah
memuncak, seperti ingin telanjang saja dan berlarian keliling kota. Tadi pagi
ketika aku bersama temanku mampir beli kain tenun di dekat pelabuhan lama,
remaja di sana sudah lebih parah lagi. Mereka sudah mabuk sopi, memaki lalu
memeluk mesra teman perempuan mereka di tepi pantai. Tukang parkir sibuk
mengatur motor sementara beberapa pedangang kali lima melihat itu sebagai
tontonan baru setahun sekali.
Siang
ini polisi sibuk menilang motor dan mobil yang lewat di depan katedral. Masih
di jalan yang sama dekat katedral, remaja SMP dari penjuru kota kian tumpah
ruah. Kulihat mobil patroli polisi berkeliling dan mengeluarkan himbauan agar
remaja yang sedang kesurupan masal itu pulang saja ke rumah dan berdoa mengucap
syukur pada Tuhan karena sudah lulus. Remaja-remaja itu tak menggubris sama
sekali. Cat dan rokok makin membanjiri trotoar. Pedagang kali lima
senang-senang saja sebab hari ini rokok dagangan mereka laris manis. Dibeli
anak-anak usia duabelas tigabelas tahunan.
Bakso
tak habis kusantap. Beberapa remaja yang mabuk dan berpelukan mesra dibalik
tembok gedung percetakan negara seperti memaksaku berhenti makan. Beberapa
pengunjung warung keluar dan memarahi mereka yang kemudian berlalu dengan
tertawa cekikan tanpa beban. Ya, tanpa beban sebab kepala mereka sedang kosong.
Hati mereka adalah ruang hampa. Lalu kemana orang tua mereka? guru mereka?
Aku
bisa memastikan, orang tua mereka sedang sibuk di perkantoran di timur dan
selatan kota. Mereka memang harus bekerja hingga larut malam. Kebutuhan hidup
meningkat beberapa tahun terakhir ini. Sedangkan anak-anak mereka kerap
merengek minta diajak jalan-jalan ke mall dan dibelikan ini itu. Di
kantor-kantor, para orang tua itu juga kesurupan masal. Mereka seperti robot,
mengejar berbagai target hidup sampai lupa kalau mereka pernah menjadi manusia.
Mereka memang sudah menjadi robot yang kesurupan di kantor hingga tengah malam.
Rumah bukan lagi menjadi rumah. Rumah adalah peternakan anak-anak, sehingga
orang tua cukup menggaji asisten rumah tangga yang setia mencecoki anak-anak
dengan berbagai game dan sinetron. Orang tua harus bekerja keras agar akhir
pekan bisa membalas kesedihan anak-anak yang rela ditinggali di peternakan
selama lima hari dengan main dan berbelanja sepuasnya di mall. Kau tahu, di
mall pun dengan mudah kita melihat kerumunan manusia kesurupan.
Lalu
ke mana guru-guru mereka? Di sekolah, mereka sedang tersenyum karena beberapa
minggu yang lalu sudah berhasil mengatrol sebagian besar nilai siswanya, dengan
demikian harapan lulus seratus persen sudah di genggaman. Siapa yang tak senang
sekolahnya lulus seratus persen? Kepala sekolah senang, kepala dinas senang,
menteri senang, presiden pun senang. Horee, ujian nasional kita berhasil, mutu
pendidikan kita meningkat. Tapi diam-diam siapa melihat di dalam pengapnya
ruang guru, rapat rahasia dilakukan, semua nilai semester gampang saja dirubah.
Menjadi guru hari ini toh tidak sulit. Mengajar secukupnya, yang lebih biar
diatur orang tua ke Primagama dan sejenisnya. Mengajar secukupnya, yang lebih
biar diatur salesman buku dari penerbit mayor. Toh para guru pun bisa mendapat
sekian persen dari hasil penjualan buku ke siswa yang lebih bersifat pemaksaan,
buku tak berkualitas pun okelaah. Lalu bisakah kita menyebut para guru juga
sudah kerusupan? Mereka akan lebih kesurupan lagi jika dana sertifikasi
diendapkan pihak dinas berbulan-bulan di bank. Bunganya memang menggiurkan pak
kepala dinas dan jajarannya. Apakah mereka juga sedang kesurupan?
Aku
keluar dari warung bakso dan menjadi orang asing di tengah lautan remaja SMP
yang sedang kesurupan masal. Pikiran mereka kosong dan mereka bodoh. Semua
dipertontonkan dengan tanpa beban. Polisi akhirnya datang melerai, mereka
berlarian seperti pasir yang dilempar ke segala arah. Beberapa bahkan lari
bersembunyi ke halaman katedral.
Katedral
yang kulihat dari pinggir halte, seperti kakek tua yang sudah kehabisan daya.
Sementara pasir-pasir remaja tak karuan terus belari kocar-kacir dikejar
polisi. Sungguh tontonan siang yang memuakkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beta tunggu lu pung komentar di sini, danke...